Rahasia Jenggala 3

1349 Words
Jelita menepuk pipinya dengan kasar, ucapan Jenggala tadi pagi terus tergiang di kepala cantiknya. Jelita masih belum percaya jika Jenggala bisa mengatakan hal mengerikan itu. Demi Tuhan! Jelita bahkan tidak pernah mendapat kata-kata itu selama 18 tahun menghirup udara di bumi ini. Sebenarnya banyak yang menyukai Jelita hanya saja mereka tidak bisa mengungkapkannya karena Jelita slalu memberikan batas. Jelita slalu mengatakan pada teman-teman laki-lakinya jika dia akan berpacaran dengan pria yang di cintai nya. Seperti sebuah pengumuman dan para laki-laki itu mendesah kecewa karena untuk mendapatkan Cinta Jelita itu sulit. "Lit, mau ikut nggak?" Jelita terkejut saat pintu kamarnya terbuka lebar. "Apa kak?" "Mau ikut nggak?" "Ikut kemana?" "Mau ke pasar malem." "Emang ada?" "Makanya jangan ngerem terus di kamar, ketinggalan informasi kan Lo." "Seriusan ih kak?" "Itu di lapangan komplek. Ikut nggak?" "Mau." Jelita berdiri lalu berlari ke arah Jemita. Jemita mendorong kening Jelita, "Bawa jaket odong." "Ih panas gini kak." "Di luar angin lagi nggak bagus, udah cepetan di tunggu kak Nita nih." Dengan bibir mengerucut sebal, Jelita kembali berbalik lalu meraih carding coklat dan memakainya. Jemita tersenyum lalu mengusap kepala adiknya, "Anak pintar." "Apaan sih kak." Protes Jelita. Jemita terkekeh, mereka melangkah bersama turun kebawah. Jelita bisa melihat Jenita sudah memakai jaket. Jelita semakin manyun karena Jenita menatapnya dengan tajam. Memang setelah kejadian tadi pagi, Jelita tidak keluar kamar sama sekali. Ibunya sudah berteriak meminta keluar tapi dia tetap dengan pendiriannya. Jelita memang betah tinggal di kamar, dia melakukan apapun sesuka hatinya. Kamarnya yang luas, setengah ruangan di jadikan studio musik. Jelita lebih banyak menghabiskan untuk membuat video atau mengcover lagu. Suaranya yang indah dan unik memang menjadi ciri khasnya. Tuk! Saat sampai di bawah kening Jelita menjadi sasaran Jenita. "Bagus yah baru keluar kamar!" "Di banding aku main ke luar rumah kelayapan terus pulang malem, Kakak milih mana?" "Yah tapi nggak mesti ngerem di kamar juga, Jelita. Bantuin Mama masak kek, berkebun kek atau apa kek kalau di hari libur." "Ish Kaka suka nggak sadar diri, Kaka aja kalau hari libur cuman leha-leha bantuin Mama sana jangan nyuruh Lita terus." Tuk! "Ngejawab terus." Jelita manyun. Jenita kalau ngamuk emang nggak pernah kira-kira, ngomelnya panjang kali lebar, kali tinggi. Jemita kalau ngamuk nyubinya nggak pernah setengah-setengah, ujung-ujungnya badan Jelita biru-biru. Ini kenapa kedua Kakaknya slalu aja bikin Jelita sengsara sih? Kasihkan telinga sama badannya harus menjadi korban. Jemita hanya tersenyum senang, Jelita jika di amuk Kakaknya. Jemita bukan tidak senang pada Jelita tapi adiknya ini benar-benar nakal. Di kasih tahu tidak pernah mau mendengar, Jelita akan terdiam jika Jenita dan Ayahnya yang berbicara. "Jadi kalian pergi?" Pertanyaan dari Papanya membuat ketiga bersaudara itu menoleh. "Pa, Kak Nita nih ngomel terus." Jelita mengadu pada Papanya. Sang Papa yang mendengar aduan anak bungsunya menarik kupingnya lembut, "Itu salah kamu kenapa kalau di suruh keluar kamar susah banget." Jelita cemberut, "Lagian ngapain juga keluar kamar. Papa sama Mama juga kalau hari libur gini mesra aja terus nggak kasihan apa sama dua anaknya yang jomblo." "Heh?" "Selepet nih?" Jenita dan Jemita sudah melotot bersamaan. "Kaya sendirinya nggak jomblo aja." Balas sang Ayah. Jelita berdecak lalu melipat tangan di depan dada, "Lita mah udah ada yang punya Pa. Ganteng, tajir, pinter, ah pokonya mah uwu banget." Ayah 3J itu menatap sang Putri dengan alis terangkat satu, "Papa kira nggak ada yang mau sama Lita." "Buahahahahaha." Tawa Jenita dan Jemita membuat Jelita merengut sebal. Sang Ayah mengusap kepala putrinya dengan gemas, "Papa nggak akan larang Lita pacaran cuman inget satu pesan Papa jangan bikin keluarga kecewa." Jelita mengangguk paham. Papanya sudah berkali-kali mengingatkan Jelita tentang apa yang boleh dan tidak boleh. Hah, Jelita merasa bersyukur atas apa yang Tuhan berikan pada hidupnya. Keluarganya benar-benar yang terbaik. "Papa nggak perlu khawatir, toh calon mantu kita itu nggak jauh." Semua mata memandang ke arah Ibunya yang keluar dari kamar. "Maksudnya Ma?" Tanya Jemita. "Papa setuju nggak sama Nak Jenggala?" Pertanyaan Mamanya membuat Jelita membulatkan mata. "Yang tinggi, cakep itu kan Ma?" "Iya, Pa tetangga sebelah kita itu." "Kenapa emangnya Ma?" "Udah beberapa kali Mama ketemu sama dia, terus Jenggala slalu bilang kalau dia naksir anak perawan Papa." Jelita menggeleng. "Bohong itu Pa!" "Jenggala sendiri loh yang bilang sama Mama." Jelita mendengus. "Mama ini kenapa? Jenggala itu cuman becanda mana ad—" "Udah minta izin juga buat nikahin kamu." Mama tersenyum jahil membuat Jelita menggembungkan pipi. "Terserah!" Jelita langsung pergi meninggalkan keluarganya yang terkekeh. Jemita mendekat lalu melingkarkan tangannya di lengan sang Ibu, "Emang bener Ma?" Juwita-nama sang ibu- menganggukkan kepala. "Mama rasa Jenggala ketularan virus cintanya Jelita." "MAMAAAA NGGAK LUCU!" Jelita berteriak dari depan beranda, membuat mereka tertawa. Jenita melangkah menyusul sang adik, dia melihat Jelita yang sedang berdiri di depan pagar rumah. Mereka berencana akan pergi ke pasar malam, ini permintaan darinya karena sudah lama tidak pernah lagi pergi ke tempat itu. Jenita merangkul pundak Jelita, wajah gadis itu masih cemberut. "Udah sih jangan cemberut, Jenggala ganteng tau." Jelita menoleh ke arah Kakaknya. "Emang Kaka tahu?" "Tau dong, beberapa kali Kaka di anterin ke kantor sama dia." "Ih, ngapain sih Kakak mau di anter sama dia?" "Loh kenapa emangnya?" "Yeah nggak apa-apa sih." Jenita menoel dagu Jelita. "Cemburu yah?" Jelita memutar bola mata malas. "Malesin!." "Nggak boleh gitu loh, benci-benci tar jadi cinta." "Apaan sih Kak." Jelita memalingkan wajah, seketika wajahnya memanas mengingat peristiwa tadi pagi. Ya Tuhan! Ada apa dengannya? Kenapa harus tergiang-ngiang ucapan Jenggala? Tidak! Jelita harus melupakannya, bagaimana pun Jenggala itu Playboy. Jelita tidak menyukai Jenggala. Jenggala sering membuatnya kesal. Tidak. Baginya Jenggala itu pembuat onar. "Ayo Kak kita jalan." Akhirnya mereka satu keluarga jalan menuju pasar malam. Jelita menghela nafas, dia menundukkan kepala di saat kedua orang tua dan kedua Kakaknya sedang bercanda ria. Ada beban di pundaknya tentang pernyataan cinta Jenggala. Jelita berusaha untuk tidak berpikir tentang pernyataan cinta Jenggala tapi tetap saja dia terpikirkan. Hanya beberapa menit akhirnya mereka sampai di tempat tujuan. "Lit mau jajan dulu apa main?" Tawa Jenita. "Kakak mau main apa?" "Nggak deh, Kaka tunggu disini aja sama Mama Papa." Jawab Jenita. Jelita menatap Jemita yang sudah menatap beberapa wahana di depannya, "Elu mau naik apa Kak Mit?" Jemita menoleh lalu tersenyum, "Itu." Jelita memperhatikan telunjuk Jemita, "Demi apa kak? Itu permainan anak kecil anjir." Jemita mendelik, "Suka-suka gua lah." Jemita langsung pergi meninggalkan Orang tua, Adik dan Kakaknya. Dia memilih berkeliling seorang diri. Masalahnya mereka tidak memiliki kesamaan yang sama. Jika mereka ke taman hiburan pasti ujung-ujungnya mereka akan berpisah. Jenita yang lebih memilih duduk menunggu bersama kedua orang tuanya. Jelita, gadis itu jangan di tanya dia akan menaiki wahana yang menurutnya bisa memacu adrenalin. "Kak Mit?" Jelita berteriak, tapi Jemita melambaikan tangan. Jelita menghembuskan nafas, Jenita terkekeh mengusap kepala Jelita. "Udah sana main sendiri aja." "Paaa." Jelita menatap Ayahnya. Sang Ayah menggeleng, "Papa mau pacaran sama Mama." "Ish." Jelita menghentakkan kaki, lalu pergi meninggalkan Kakak dan kedua orang tuanya. "Kalau ngikuti kemauan Lita bisa-bisa pas pulang malah pergi ke rumah sakit. Kalau Lita ngikutin kemauan Mita bisa-bisa tuh anak ngamuk." Ujar Jenita. Ayah dan Ibunya terkekeh, "Udah hayu kita makan aja, Kak." Ajak ibunya. "Tar Lita ngamuk Ma kalau makan duluan." Tegur Suaminya. "Nggak apa-apa, tar juga diem sendiri." Ucap istrinya sambil menggandeng lengan Jenita. Januar-Ayah 3J- hanya bisa menggelengkan kepala, lalu melangkah mengikuti kemana perginya langkah kaki Anak dan Isterinya. Di bagian lain Jelita cemberut, dia menatap sekelilingnya, terlihat rame. Pasti seru. Tapi mengingat dia seorang diri rasanya tidak akan seru. Hah, Jelita akan melangkah pergi namun tangannya di tahan. Jelita menoleh lalu membulatkan mata saat melihat sosok tinggi tersenyum lebar. "Jenggala?!." "Hai."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD