Rahasia Jenggala 2

1557 Words
"Makan aja terus, Lit." Jelita menoleh lalu memutar bola matanya saat melihat Jemita masuk ke dapur. "Nggak boleh?" "Diet dong tuh pipi udah kaya bakpao tau." "Bodo amat!" "Yey di bilangin, tar nggak ada yang mau loh." Jelita yang sedang memasak mie ingin sekali menguyur wajah Jemita dengan air panas yang sedang mendidih ini. "Lo aja cantik belom laku." Celetuk Jelita yang membuat Jemita mencibir. "Gua tuh bukan nggak laku Lit emang lagi pengen berkarir aja." Alibi Jemita. "Alasan aja." "Tanya deh sama Maya, ada banyak yang suka sama gua tapi dia tuh bukan tipe gua banget." Jelita membawa semangkuk mie ramen, tidak hanya satu bungkus isinya tapi dia memasak tiga bungkus sekaligus. Jemita yang melihat kerakusan sang adik hanya bisa menggelengkan kepala. Terakhir dia memakan mie itu 5 tahun yang lalu. Jemita heran, sebenarnya perut Jelita terbuat dari apa? Kenapa dia bisa menampung begitu banyak makanan? Jemita saja memakan beberapa buah sudah terasa kenyang. Anehnya tubuh Jelita bahkan tidak gendut seberapa pun dia makan. Ini yang slalu membuat Jemita iri, Jelita bahkan tidak pernah diet, tidak pernah olahraga, semua makanan masuk ke lambungnya tapi lingkar pinggang Jelita lebih kecil di banding lingkar pinggangnya. Jemita akui, Jelita bahkan tampil cantik tanpa perlu di permak apapun. Bahkan agensinya pernah menawarkan Jelita untuk menjadi Model sayangnya gadis itu menolak dia lebih memilih hidup sesuai ke inginan nya tanpa mau di atur orang lain. Jelita menuruni semua sifat, sikap dan wajah sang Ayah, tidak ada sedikit pun campuran ibunya selain matanya yang berwarna hazel. Jika di lihat Jelita itu sempurna, sayangnya ada satu kekurangan gadis itu, tinggi badannya hanya mencapai 155 begitu mungil di antara semua keluarganya. Jelita mencibir, "Kalau laku ya udah buruan kenalin ke Papa sama Mama. Lo mau di jodohin sama kaya Kak Jenita?" Jemita yang sedang meminum jus tersedak, dia menarik tissue untuk melap bibirnya. "Di jodohin? Serius lo?" Kepala Jelita mengangguk, "Kemarin nggak sengaja gua denger kalau Kak Jenita mau di jodohin. Boleh julid nggak sih gua?" Jemita melemparkan tissue bekas ke arah Jelita, "Biasanya juga lo slalu julid Je." Jelita menyeka bibirnya dengan tangan, Jemita yang melihat kelakuan sang adik menyodorkan tissue. Kenapa Jelita harus sejorok itu sih? "Menurut gua cowok yang mau di jodohin sama Kak Jenita itu jelek." "Heh?" "Sumpah? Gua yakin Kak Jenita nggak akan mau sama dia." "Emang lo udah liat muka cowoknya?" "Nggak." "Terus tau darimana lo?" "Nembak aja gua." "Sialan Lo, Jelita." Jemita sudah siap untuk mencubit Jelita namun gadis itu dengan cepat menarik tangannya. "Aduin Mama yah biar lo di amuk?" Ancam Jelita. "Nggak asik lo mainnya aduan." "Cubitan lo sakit banget kak, sampe biru sumpah." "Nggak sesadis itu juga kali gua." Jemita cemberut. "Tapi boong." Jelita bangkit dari duduknya sambil memelet kan lidahnya. Jemita yang mendengar itu mendengus, Jelita dengan kejahilannya memang tidak akan pernah ada yang bisa menandinginya. Jelita tertawa sambil membawa mangku yang masih penuh dengan ramen nya. Sepertinya duduk di beranda rumah tidak ada masalah. Ini hari Minggu, hari dimana semua orang beristirahat dari segala aktifitasnya. Jelita membuka pintu dan saat itu dia benar-benar merasa menyesal kenapa tidak di taman belakang saja. "Lita ini anak Nak Jenggala." Ujar Mamanya. "Udah tahu kali Ma." "Kalau udah tahu ngapain masih pake baju tidur, bukannya kalian ada janjian mau pergi jalan-jalan?" Mata Jelita melotot. Jalan-jalan kemana? Bahkan Jelita hari Minggu ini tidak ada agenda sama sekali selain leha-leha di kasur. Ingin mencari tempat untuk konten youtube nya saja dia tidak jadi karena moodnya sedang tidak baik. "Janjian apaan orang nggak janjian juga." "Kamu tuh suka pelupa yah, Nak Jenggala dari tadi nunggu kamu loh, Lit." "Bodo amat Ma." Jelita kembali masuk ke dalam tidak memperdulikan teriakan Mamanya. Sepertinya mengurung di kamar lebih baik. Jelita naik ke lantai atas dan berpapasan dengan Kakak Pertamanya, Jenita. "Kenapa sih Mama teriak-teriak?" "Nggak tahu." "Kamu dari depan kan barusan?" "Kakak nggak liat aku bawa apa?" Jenita melihat tangan Jelita yang sedang membawa mangkuk. "Pagi-pagi udah makan Mie, Lita." Jenita kesal sekali jika ucapannya tidak pernah di dengar Jelita. Sudah berulang kali Jenita melarang Jelita memakan Mie tapi adiknya tidak pernah mau mendengarkan. "Laper Kak." "Laper nggak harus makan Mie!" "Terus aku harus makan apa?" Jelita jika sudah berhadapan dengan Kakak pertamanya terasa seperti sedang menghadapi Papanya. "Apa aja yang ada di dapur." "Di dapur cuman ada Mie aja." "Masa sih?" "Coba sana Kakak cek aja." Jenita yang mendengar itu turun ke bawah. Apa benar di dapur hanya ada Mie saja? Bukankah Mama nya tidak pernah lupa untuk mengisi dapur? Jenita membuka setiap Rak dan terakhir Kulkas. "Ngapain Kak?" Tanya Jemita. "Kata Jelita di dapur cuman ada Mie aja tapi kamu liat sendiri semua bahan ada." Jemita menghela nafas mendengar perkataan Kakak pertamanya. "Kakak tuh kaya nggak tahu Jelita aja." Setelah mengatakan itu Jemita pergi berlalu. "JELITAAAAAAAAAAAAAA." Jelita yang mendengar teriakan Jenita terkikik menutup pintu kamar dengan cepat tidak lupa menguncinya. Jelita membuka balkon kamarnya, ah rasanya nikmat sekali di waktu pagi di temanin Ramen berkuah pedas. Jelita duduk di ayunan yang memang dia sediakan. Matanya menatap Mie yang ada di pangkuannya, tidak enak rasanya jika hanya Mie saja di tambah siomay kering sepertinya lebih mantap. Jelita menyimpan mangkuknya di atas meja setelah itu masuk ke dalam, membuka kulkas miliknya. Jelita memang memiliki kulkas sendiri di kamarnya, dia membelinya hasil dari Mukbang. Kulkas Jelita bahkan tidak pernah kosong semua jenis makanan ringan dan minuman tertata rapih disana. Sebenarnya makanan ringan ini tidak Jelita beli dengan uangnya sendiri, dia mendapatkan endors lumayan sih tidak mengeluarkan uang. Perut kenyang uang tersimpan. Begini-begini Jelita itu anak pelit, dia slalu menghitung setiap uang yang di keluarkan. Pokonya hidup Jelita itu makan tapi tanpa mengeluarkan uang. Setelah mengambil apa yang di carinya, Jelita kembali ke balkon tapi matanya membulat saat seseorang duduk di ayunan miliknya dengan ramen di pangkuannya. Jelita melempar somay kering itu ke kepala sang pelaku membuatnya meringis kesakitan. "Sakit anjim." "Itu ramen gua, Jenggala!" Yeah! Siapa lagi manusia yang slalu rusuh dalam hidupnya jika bukan laki-laki itu. "Pelit banget, minta dikit." "Nggak mau ih gantiin." Jelita paling tidak suka jika Makanan miliknya ada yang memakannya. Mana kenyang perutnya. "Kalau mau gua gantiin ayo jalan." "Nggak mau!" "Ya udah." "Lo tuh kenapa sih slalu ngusik hidup gua? Nggak lelah lo?" Jenggala yang mendengar itu, berdiri lalu berjalan menghampiri Jelita yang berdiri di pintu balkon. "Gua nggak akan lelah sebelum lo jadi pacar gua." Bisikan di telinganya membuat Jelita mundur. "Apaan sih lo." Jelita meraup wajah Jenggala. Jenggala meraih tangan Jelita menggenggamnya. Jelita meringis, apa yang di lakukan Jenggala? Dia mencoba melepaskan tangannya namun sia-sia, Jenggala terlalu kuat. Jenggala menyudutkan Jelita membuat mata gadis itu membulat. Ya Tuhan! Jenggala ini kenapa? Apa laki-laki ini baik-baik saja kan? Kenapa tingkahnya semakin membuat Jelita merinding takut? Ayolah, jika Jenggala seperti ini bisa-bisa dia meminta pindah kamar. "Jawaban lo gimana?" "Jawaban apa?" "Nggak usah pura-pura lupa!" Jelita menahan nafas saat wajah Jenggala mendekat. Jelita lebih baik meladeni Jenggala yang tengil dan pecicilan dari pada menghadapi Jenggala yang seperti ini. Ini benar-benar menakutkan. Jelita meneguk ludahnya dengan susah payah. Apa yang harus dia jawab? Jelita sama sekali tidak memiliki perasaan apapun pada Jenggala. Jangankan perasaan untuk berteman dengan laki-laki ini saja tidak terpikirkan. Kenapa Jenggala harus mengatakan ini padanya? Kenapa tidak pada wanita lain? Banyak kok wanita yang lebih cantik, pintar dan hampir sempurna. Jelita bahkan tidak ada apa-apanya. "Jenggala mundur nggak?" "Gua nggak akan mundur sebelum lo jawab pertanyaan gua." "Pertanyaan yang mana?" "Gua perkosa juga nih?" "JANG—" sebelum Jelita menjerit mulutnya sudah di bekap lebih dulu. "Lo teriak gua bener-bener bakal perkosa lo?" Jelita menggelengkan kepala. Kemana jiwa bar-bar Jelita saat di perlukan? Jelita mengutuknya karena rasa takut lebih dominan. Jika Jenggala ada di sifat petakilan dia bisa saja memukul, menjambak, menendang, menamparnya tapi ini bukan Jenggala yang dia kenal. "Sekali lagi gua tanya, lo mau jadi pacar gua?" Jelita menatap mata Jenggala, tidak ada kebohongan di mata itu hanya ada harapan. What harapan? Apa-apaan ini? Harapan apa sih? Jelita menggeleng bodoh. "Lo nolak gua?" Jelita menggeleng. "Jawab?!" Jelita mendengus, dia mengangkat kakinya lalu menginjak kaki Jenggala. Jenggala reflek melepaskan bekapan dan himpitan nya pada tubuh Jelita. Dia meringis saat kakinya berdenyut, Jelita jika sedang marah memang tidak pernah kira-kira. "Gimana gua bisa jawab kalau lo bekap gua? Tangan lo juga ih itu bau banget." Jelita mengusap bibirnya. "Sorry gua lupa cuci tangan abis berak." "Demi apa? Anjir lo jorok banget." Jelita berlari ke arah kaca riasnya, dia mencari tissue basah lalu mengusap bekas bekapan Jenggala. "Becanda anjir. Gua abis makan sambel terasi tadi." "Muka boleh bule tapi lidah tetep indonesia yey." Jenggala tersenyum melihat wajah Jelita yang merengut sebal. "Gua suka sama lo, Je." Ucapan Jenggala membuat Jelita menatap pria itu. "A-apa?" "Lebih tepatnya gua jatuh cinta."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD