Pagi itu, suasana di ruang rapat utama perusahaan terasa berbeda. Biasanya, rapat mingguan bersama Avia dipenuhi dengan tekanan, tetapi kali ini, ada aura antusiasme yang tidak biasa.
Dirga duduk di kursinya dengan tenang, sesekali mencatat sesuatu di laptopnya. Di hadapannya, para manajer tim pemasaran dan analis keuangan tampak menunggu dengan penuh semangat.
Tak lama kemudian, Avia masuk ke dalam ruangan. Seperti biasa, dia tampil elegan dalam setelan formalnya, dengan ekspresi tegas yang tak mudah diterka.
“Baik, kita langsung mulai,” ucapnya sambil membuka laptop. “Bagaimana laporan keuntungan bulan ini?”
Salah satu kepala bagian keuangan, Pak Herman, segera berbicara. “Luar biasa, Bu Avia. Omset perusahaan naik sebesar 40% bulan ini.”
Dirga menyunggingkan senyum tipis. Dia sudah memperkirakan hasilnya, tetapi mendengar langsung angka tersebut tetap memberikan rasa puas tersendiri.
Avia mengangkat alis, tampak tertarik. “Faktor utamanya?”
“Kampanye pemasaran baru yang diterapkan oleh Pak Dirga,” jawab salah satu manajer pemasaran. “Strategi digitalnya sukses besar. Kami mendapat lebih banyak engagement di media sosial, dan konversi penjualan meningkat drastis.”
Avia menatap Dirga, kali ini dengan ekspresi yang sulit ditebak.
Dirga menyesuaikan posisi duduknya dan berkata dengan tenang, “Target pasar kita berubah. Saya hanya menyesuaikan strategi agar sesuai dengan tren saat ini. Dan, seperti yang kita lihat, hasilnya cukup memuaskan.”
Avia tidak langsung membalas. Matanya menatap layar laptopnya, membaca data dengan saksama. Akhirnya, dia mengangguk pelan.
“Kerja yang bagus,” tuturnya singkat, namun cukup untuk membuat seluruh ruangan merasa lega.
Dirga hanya tersenyum tipis. Dia tahu mendapatkan pujian dari Avia bukanlah hal yang mudah.
Namun, sebelum rapat ditutup, Avia menambahkan, “Aku ingin strategi ini dievaluasi dan diperbaiki untuk skala yang lebih besar. Jika ini berhasil dalam jangka panjang, kita bisa memperluas pasar.”
“Baik, Bu,” jawab tim pemasaran serempak.
“Ada satu hal lagi yang perlu saya sampaikan,” ucap Avia, semua orang menatap ke arahnya.
“Brand Heartlive, skincare dari Perancis sudah mendapat izin edar di negara kita dan mereka ingin Maharain yang menjadi pelopor pemasaran, mereka sudah menyetujui penawaran harga dari kita untuk slot lusa, menjadi yang paling utama. Saya ingin mereka puas dengan kinerja perusahaan kita dan juga, penjualan mereka bisa menguasai pasar skincare, jadi saya minta kalian membentuk satu tim untuk menangani project ini, dari bagian pemasaran, talent live, show dan lain sebagainya,” tutur Avia.
Para karyawan saling tatap, beberapa karyawan wanita mengangguk antusias dengan kedatangan brand tersebut.
“Saya mau Dirga yang memimpin project ini, tunjukkan bahwa kamu benar-benar mampu, bagaimana?” tanya Avia.
Raka yang berada di ruangan itu menoleh ke arah Dirga yang tersenyum pada Avia, dia sudah tahu ini sebelumnya kan? Penunjukkan ini bukanlah hal yang mengejutkan.
“Saya akan berusaha melakukan yang terbaik, Bu.”
“Oke, silakan lanjutkan rapat dengan pembentukan tim baru,” ucap Avia lalu meninggalkan ruangan rapat itu.
Setelah rapat selesai, para peserta rapat mulai keluar satu per satu. Saat ini hanya tersisa Dirga, Raka dan juga beberapa karyawan yang ditunjuk.
“Gila, kamu memang berbakat,” ucap Raka.
Dirga tertawa kecil. “Terkadang kita butuh jatuh untuk terbang tinggi,” kekeh Dirga membuat Raka meninju bahunya.
“Ngomong-ngomong, bagaimana Kenzo?” tanya Raka, dia memang semakin dekat dengan Dirga, bahkan dia tak segan membantu Dirga dalam beberapa hal.
“Sudah jauh lebih baik, dan kami akan segera pindah rumah, Kenzo butuh tempat yang lebih baik untuk kesehatannya,” tukas Dirga.
“Syukurlah, semoga rumah baru bawa rejeki baru ya, lanjut dengan jodoh baru,” kekeh Raka.
“Kamu dulu sana nikah! Sudah mapan juga,” kekeh Dirga.
“Ini lagi nyari, kenalin dong sama salah satu teman kamu, siapa gitu?” kekeh Raka.
“Ya nanti kalau ada yang kira-kira cocok sama karakter kamu, aku kenalin deh,” kekeh Dirga. Raka hanya mengangguk senang.
“Pak Dirga, kami sudah menemukan talent yang cocok untuk live streaming, dan sampel produk akan dikirim siang ini,” ucap salah satu staff yang ditunjuk sebagai tim Dirga.
“Yang mana?” tanya Dirga melihat ke arah laptop staff itu, salah satu host muda nan cantik setuju bekerja sama dengan mereka.
“Kalau sudah oke langsung kontrak saja,” ucap Dirga.
“Sore nanti dia akan datang mencoba produknya sebelum live,” ungkap karyawan itu. Mereka masih melanjutkan meeting yang jauh lebih penting dari biasanya, brand ini adalah brand yang rela menggelontorkan dana pemasaran yang cukup besar. Tim sosial media pun ikut bergabung dan mulai menyusun rencana, mereka yakin hasilnya akan sangat memuaskan.
Avia tak pernah meleset dengan perkiraannya, Dirga terlihat sangat kompeten dalam hal ini, penjualan melesat tinggi dan jauh dari angka yang ditargetkan oleh tim mereka sendiri. Avia kini bisa lebih tenang menyambut pernikahannya, mungkin ini adalah hadiah pernikahan untuknya!
***
Hari pernikahan Avia dan Dirga tiba tanpa kemewahan yang berlebihan. Sesuai dengan kesepakatan mereka, acara ini hanya dihadiri oleh keluarga dan beberapa rekan dekat.
Pernikahan diadakan di sebuah gedung kecil yang dihiasi dengan dekorasi sederhana. Tidak ada gaun pengantin berkilauan atau pesta mewah, hanya janji suci yang diucapkan dengan penuh keyakinan.
Avia mengenakan gaun putih yang elegan, meskipun tetap sederhana, mencerminkan kepribadiannya yang tidak suka berlebihan. Sementara itu, Dirga tampil gagah dengan setelan jas hitam.
Saat penghulu mulai membacakan akad, suasana menjadi hening. Semua orang menunggu momen sakral itu.
Dirga menarik napas dalam dan mengucapkan ijab kabul dengan suara mantap.
“Saya terima nikahnya Avia Maharani Santana binti Wishnu Santana dengan mas kawin tersebut, tunai.”
Sejenak, semua mata tertuju pada penghulu yang tersenyum sebelum mengangguk.
“Sah?” tanyanya pada para saksi.
“Sah!” jawab mereka serempak.
Avia tetap terlihat tenang, meskipun di dalam hatinya ada perasaan yang tidak bisa dijelaskan.
Sierra, yang duduk di antara para tamu, tersenyum penuh haru. “Akhirnya, Bang Dirga menikah,” bisiknya pada Kenzo dan Ersha.
Kenzo hanya mengangguk, sementara Ersha tampak lebih tertarik pada makanan di meja.
Setelah acara selesai, Avia dan Dirga duduk berdampingan, menerima ucapan selamat dari para tamu yang memang benar-benar hanya kerabat terdekat saja, termasuk pengacara pribadi mereka. Bahkan tak ada teman kerja dari PT Maharain yang diundang olehnya.
Dia berniat menyembunyikan pernikahan ini agar Dirga tetap nyaman bekerja di perusahaannya. Dia menyadari bahwa dia membutuhkan Dirga untuk bertahan di perusahaan sebagai support systemnya.
Wishnu menatap mereka berdua dengan ekspresi yang sulit ditebak. “Jangan lupa, Dirga. Saya masih menunggu janji tinggal sehari di rumah,” ucapnya dengan nada penuh arti.
Dirga tersenyum kecil. “Tentu, Om.”
Margaretha dan Jasmine tampak kurang senang, tetapi mereka tidak bisa berkata banyak di depan banyak orang.
Saat semua orang sibuk, Avia menoleh ke Dirga. “Jadi … kita resmi suami istri sekarang.”
Dirga mengangguk pelan. “Ya, meskipun dengan cara yang berbeda.”
Avia tersenyum tipis. “Semoga kita bisa menjalani semuanya dengan baik.”
“Aku akan berusaha,” ucap Dirga seraya menatapnya dalam, hari ini Avia tak memakai kaca mata, kontak lensanya mempercantik wajahnya meski senyumnya masih tampak angkuh. Dan tak ada binar bahagia atau haru di matanya sama sekali. Dengan itu, perjalanan baru mereka pun dimulai.
***
Pada malam hari, Avia dan Dirga menuju rumah keluarga Wishnu Santana. Dirga dan adik-adik sudah pindah ke rumah baru mereka beberapa hari lalu diiringi tangis haru Ibu Ros, sang pemilik kontrakan yang begitu menyayangi mereka.
Sebelum Dirga turun dari mobil, Avia memegang tangannya.
“Ada yang harus aku sampaikan sebelum kita masuk ke rumah,” ucap Avia. Dirga menutup kembali pintu dan menoleh ke arah Avia yang memandangnya dengan tatapan serius.
“Kita malam ini akan tidur di kamar tamu dan kamar itu dilengkapi kamera pengawas, papa ingin mengetahui apa kita menikah sungguhan? Jadi dia ingin menyaksikan malam pertama kita,” ucap Avia menggigit bibir bawahnya.
“Ha? Tapi kita harus melakukan itu sambil direkam?”
“Bibi bilang mereka hanya akan melihat sebentar, nanti bibi beri kode jika mereka sudah mematikan kamera pengawasnya, tapi sebelum itu kita harus berpura-pura. Apa kamu bisa berciuman? Dan pura-pura melakukan itu di bawah selimut dan mungkin kita akan sedikit ... hmmm naked,” ucap Avia.
“Kamu enggak apa-apa? Melepas semuanya di depan aku?” tanya Dirga.
“Aku akan melakukan apa pun, yang penting bisa keluar dari rumah ini,” celetuk Avia.
“Oke, mungkin kita ... sedikit bersentuhan, tapi tenang aja aku enggak akan melakukan lebih,” ucap Dirga.
“Ya, aku mengerti, jadi ayo masuk,” ujar Avia dengan dilingkupi kecanggungan yang luar biasa.
Mereka masuk ke dalam rumah, berbasa-basi pada Wishnu yang mengantar mereka ke kamar tamu yagn disulap seperti kamar pengantin itu.
Avia pura-pura tidak tahu ada kamera pengawas, dia mengangguk pelan ketika memasuki kamar itu.
Dirga mengunci pintu dan menghampiri Avia yang berdiri di sisi ranjang, mereka jelas telah mengganti pakaian dengan pakaian lebih santai, bahkan Avia tampak siap dengan baju terusan selututnya.
Dirga memeluk Avia, “maaf, aku akan mencium kamu,” bisiknya.
“Lakukan saja,” balas Avia melingkarkan tangannya di leher Dirga. Dirga menatap wajah wanita itu lembut, tatapannya turun ke bibir Avia, dikecup pelan bibir itu, Avia yang tampak memperdalam ciuman itu hingga melenguh dengan lenguhan yang dibuat-buat.
Dirga mengusap punggung Avia, dengan sedikit gemetar, hingga Avia melumat bibirnya.
“Tambahkan sedikit nafsu, anggap saja kamu begitu b*******h sama aku,” bisik Avia di sela ciumanya.
Dirga melepas ciuman itu dan membawa Avia ke ranjang, dia melucuti pakaiannya sendiri hingga menyisakan celana pendeknya saja. Avia berbaring di ranjang. Dirga memakai selimut menutupi tubuh mereka, dia mengungkung Avia di bawahnya dan wanita itu mengangguk ketika Dirga melepas gaunnya, dengan dramatis melepas hampir seluruh pakaian Avia.
Tangan Dirga gemetar, dia tak tahu apa yang dia lakukan sudah benar?
“Papa pasti masih melihat kita karena bibi belum meneleponku,” bisik Avia.
“Jadi?” tanya Dirga.
“Lepas semuanya,” ujar Avia.
“Ka-kamu yakin?”
“Kita sudah menikah Dirga, pernikahan kita sah,” ucap Avia. Dirga melepas satu-satunya penutup tubuhnya dengan mata terpejam, tak mau melihat tubuh wanita di bawahnya ini.
“Sebentar,” bisik Avia, dia pun menanggalkan seluruhnya dan melemparkannya.
“Buka mata kamu,” geram Avia. Dirga membuka matanya, menatap tubuh wanita yang telah menjadi istrinya, dia mengecup bibir Avia dengan lembut seperti permintaan Avia, dia menurunkan tubuhnya hingga Avia bisa merasakan sebuah benda asing menempel di miliknya, ciuman mereka kian intens yang anehnya justru membuat keduanya semakin hanyut, entah mereka masih beracting atau nafsu mulai menguasai keduanya?
Avia benar-benar melenguh ketika merasakan benda itu menempel di miliknya, seperti sebuah sengatan yang membuatnya berharap lebih. Lalu dia mendengar dering ponselnya. Lalu ciuman mereka terlepas. Wajah keduanya memerah, Avia mengambil ponselnya, bibi Encun meneleponnya tanda bahwa mereka sudah tidak diawasi lagi.
“Jadi, sudah?” tanya Dirga kaku.
“Ehm, ya ... sudah selesai,” ucap Avia.
“Tutup mata kamu, aku mau keluar dari selimut,” ucap Dirga. Avia memejamkan mata dan Dirga keluar dari selimut itu, sempat beberapa detik memandang tubuh molek wanita di hadapannya ini, biar bagaimana pun dia pria normal yang bisa berhasrat.
Setelahnya dia menutupi tubuh wanita itu dengan selimut, lalu memakai pakaiannya lagi.
“Aku ke toilet, jadi ... jadi kamu bisa pakai baju kamu lagi,” ucap Dirga terbata.
“Hmmm, iya,” balas Avia canggung. Sial! Kenapa ada rasa sesak di dadanya, dan udaranya ... mengapa sangat panas? Apakah dia terbawa hasrat sekarang? Lalu dia harus apa?
***