4. Antara Bos dan Karyawan

1663 Words
Avia merasa ada sesuatu yang bergerak dalam dirinya, sebuah perasaan yang sulit untuk didefinisikan. Sesuatu yang menembus lapisan kerasnya yang selama ini melindungi dirinya dari segala bentuk kedekatan. Namun, dia segera menepis perasaan itu. Di dunia kerjanya yang serba cepat dan penuh tuntutan, tidak ada ruang untuk perasaan semacam itu. “Ya, oke. Sekarang pergi dan lanjutkan pekerjaanmu. Kita masih punya banyak hal yang harus diselesaikan,” Avia menjawab, berusaha kembali ke sikap profesionalnya. Dirga mengangguk dan berbalik, meninggalkan ruangan dengan langkah ringan. Namun, di belakangnya, Avia tetap duduk termenung, matanya mengikuti sosoknya yang menghilang di balik pintu. Apa yang terjadi pada dirinya? Kenapa dia merasa seperti ini? Avia menggelengkan kepala, mencoba mengusir perasaan-perasaan yang mulai tumbuh dalam dirinya. Tidak ada waktu untuk itu. Tidak ada waktu untuk Dirga. Tetapi entah mengapa, seiring waktu berlalu, rasanya semakin sulit untuk mengabaikan kenyataan bahwa perasaan-perasaan itu semakin menguasainya? *** Hari itu terasa sedikit lebih dingin dari biasanya. Pagi yang cerah di luar kantor kontras dengan ketegangan yang melingkupi ruang rapat perusahaan. Avia duduk di ujung meja, kacamata minusnya memantulkan cahaya lampu neon, sementara matanya menatap serius ke arah layar proyektor yang menampilkan hasil analisis pemasaran. Dirga duduk di sisi lain meja, tangan terlipat di depan d**a, matanya fokus pada data yang disajikan. Ada ketegangan yang tak terucapkan antara mereka. Sejak percakapan mereka beberapa hari lalu, ada sesuatu yang berubah, sesuatu yang mulai memengaruhi cara mereka bekerja bersama. “Kita akan mulai rapat ini,” ujar Avia, memecah keheningan yang menggantung di udara. Suaranya tetap tajam dan tegas, tidak menunjukkan keraguan sedikit pun. “Seperti yang telah kita diskusikan, kita akan fokus pada peningkatan target penjualan di kuartal berikutnya. Dirga, bisa tolong presentasikan ide-ide kamu?” Dirga mengangguk dan berdiri, berjalan ke depan untuk memulai presentasi. Dia sudah mempersiapkan materi dengan matang, menambahkan beberapa ide baru yang dia rasa bisa meningkatkan efektivitas strategi pemasaran perusahaan. Mata Avia mengikuti gerakannya, meskipun dia berusaha untuk tidak menunjukkan terlalu banyak perhatian. “Jadi, berdasarkan analisis data terakhir dan tren pasar, saya percaya kita perlu beralih dari kampanye pemasaran konvensional ke pendekatan yang lebih berani dan inovatif,” ucap Dirga dengan percaya diri. “Kita perlu lebih agresif dalam menggunakan platform media sosial dan memanfaatkan influencer untuk memperluas jangkauan kita.” Avia mengangkat alis, tidak bisa menyembunyikan rasa skeptisnya. “Agresif? Menurutku, kita harus lebih berhati-hati. Kampanye pemasaran yang berisiko terlalu tinggi bisa merusak citra perusahaan jika tidak berhasil. Kita tidak bisa berkompromi dengan stabilitas.” Dirga menatapnya, mencoba menahan diri agar tidak terlalu defensif. “Tapi jika kita terus berpegang pada cara lama, kita akan tertinggal. Persaingan di pasar semakin ketat. Kita harus mencoba sesuatu yang baru, atau kita akan kehilangan peluang besar.” Mata mereka bertemu, dan ada ketegangan yang jelas terlihat. Di satu sisi, Avia merasa semakin frustrasi dengan cara Dirga memaksakan pendapatnya, sementara di sisi lain, dia tidak bisa mengabaikan kepercayaan diri yang dimiliki pria itu. Ada sesuatu yang menarik, tetapi sekaligus menjengkelkan tentang cara Dirga berbicara. “Baiklah,” ujar Avia akhirnya, memutuskan untuk menyudahi percakapan ini dengan cara yang lebih diplomatis. “Kita akan diskusikan lebih lanjut ide ini setelah rapat ini berakhir. Namun, aku ingin kamu ingat, kita harus memastikan setiap langkah yang kita ambil aman dan terukur.” Dirga tidak langsung menjawab, tetapi dia bisa merasakan bahwa ini adalah titik di mana dia harus berhati-hati. Di hadapan Avia, setiap kata harus dipilih dengan hati-hati. Namun, dia juga tahu bahwa jika dia tidak memperjuangkan ide-idenya sekarang, dia tidak akan pernah diberi kesempatan lagi. Bukankah Avia sudah menyetujui gagasan ini sebelumnya? Wanita itu tampak setuju ketika Dirga menemuinya hanya berdua di ruang kerjanya. Lalu mengapa sekarang idenya tampak tertolak lagi? seolah Avia memang tak mau menerima gagasan dari Dirga. Rapat berlanjut dengan beberapa topik lainnya, dan meskipun ketegangan antara Avia dan Dirga masih terpendam, keduanya tampak profesional di depan tim. Namun, dalam hati mereka masing-masing, ada perasaan yang mengganjal. Setelah rapat selesai, Avia kembali ke ruangannya, namun kali ini Dirga menyusulnya. “Avia, bisa kita bicara sebentar?” suara Dirga terdengar lagi, lebih lembut daripada sebelumnya, namun ada rasa penting dalam nada suaranya. Avia menoleh ke arahnya, matanya sudah mulai lelah. “Aku rasa kita sudah cukup berbicara tadi, Dirga. Apa ada yang ingin kamu tambahkan?” Dirga menghela napas, sedikit ragu. “Sebenarnya, aku hanya ingin mengatakan... aku paham kalau kamu merasa ide aku terlalu berisiko. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku enggak bermaksud untuk meremehkan keputusan yang sudah ada. Aku hanya ingin memberikan perspektif yang berbeda.” Avia terdiam, memandangi Dirga. Di dalam dirinya, ada rasa terkejut yang cukup besar. Dia tidak menyangka Dirga akan berbicara sejujur itu. Biasanya, dia mengira pria ini akan menjadi lebih defensif atau bahkan menyerah pada pendapatnya. “Baik,” kata Avia pelan, meskipun dia masih merasa sulit untuk mempercayai bahwa Dirga benar-benar mendengarkan. “Aku menghargai kalau kamu berpikir lebih jauh tentang ini. Tapi tetap saja, kita harus memastikan bahwa setiap perubahan yang kita buat itu dihitung dengan matang.” Dirga mengangguk, lalu menatap Avia sejenak. “Aku akan berusaha keras untuk memastikan itu. Terima kasih sudah memberi aku kesempatan untuk mengungkapkan ide-ide aku.” “Jangan terlalu banyak berharap, Dirga. Ini bukan tempat untuk percakapan pribadi,” ujar Avia, berusaha mengembalikan dinding emosional yang sudah mulai sedikit rapuh. “Jaga profesionalisme, oke?” Tapi meskipun kata-kata Avia terdengar keras, ada kehangatan yang tersembunyi dalam suaranya. Dirga bisa menangkapnya, meskipun hanya sebentar. “Baik, aku paham. Aku akan lebih berhati-hati ke depannya.” Setelah itu, Dirga keluar dari ruangannya, meninggalkan Avia dengan perasaan yang lebih rumit daripada sebelumnya. Ada rasa bangga dalam dirinya karena berhasil menyuarakan pendapatnya, namun juga ada perasaan kesal karena dia masih merasa Avia tidak sepenuhnya terbuka terhadap ide-idenya. Avia duduk kembali di kursinya, menarik napas panjang. Dalam keheningan ruangannya, pikirannya terombang-ambing antara pekerjaan dan perasaan yang mulai berkembang untuk pria yang kini berada di luar sana, Dirga, yang meskipun selalu menantang dan membuatnya kesal, juga menimbulkan rasa penasaran yang tak bisa ia pungkiri. Apakah dia benar-benar benci Dirga, ataukah dia hanya takut dengan perasaan yang mulai tumbuh? *** Avia berjalan melewati lorong kantor dengan langkah tegas, suaranya bergema di atas lantai marmer yang dingin. Dia hendak pulang sore menjelang malam ini. bahkan hampir semua karyawan telah meninggalkan meja kerja mereka. Pikirannya masih melayang jauh, jauh dari rapat terakhir hari ini. Meskipun dia berusaha untuk tetap fokus pada pekerjaan, wajah Dirga dengan ekspresi penuh keyakinan, terus menghantui setiap langkahnya. Dia benci perasaan itu, benci pada kenyataan bahwa semakin lama Dirga berada di dekatnya, semakin sulit untuk mengabaikan perasaan yang tidak pernah dia inginkan kembali. Lima belas tahun yang lalu, mereka berdua adalah anak-anak muda yang penuh ambisi dan mimpi. Avia dengan kecerdasannya yang luar biasa, selalu menjadi yang terbaik di kelas. Dirga, dengan sifatnya yang tidak pernah menyerah, menjadi satu-satunya orang yang bisa menandinginya, bukan hanya dalam akademik, tetapi juga dalam segala hal. Bahkan percakapan pertama Avia dan Dirga kala itu adalah kecaman Avia yang mengatakan akan mengalahkan Dirga menjadi juara umum di tahun pertama mereka sekolah menengah atas. Di sekolah swasta yang sangat terkenal. Mereka selalu bersaing, saling mengalahkan dalam berbagai ujian, proyek, hingga lomba-lomba. Namun, di balik persaingan itu, ada ketegangan yang lebih dalam, yang Avia tidak pernah berani ungkapkan, perasaan yang lebih dari sekadar sekadar kompetisi. Dirga, bagi Avia, adalah cinta pertama yang tak pernah terucapkan. Di masa itu, Avia sering kali melirik Dirga, berharap dia akan menyadari perasaan yang ia sembunyikan. Tapi Dirga selalu terlalu sibuk dengan dunia yang tidak melibatkan dirinya. Mungkin, pada saat itu, Dirga memang tidak pernah menganggapnya lebih dari seorang saingan. Di mata Avia, Dirga bukan hanya saingan, tetapi seseorang yang seharusnya bisa memahami dia lebih dari siapa pun. Namun, pada akhirnya, Dirga memilih pergi, melanjutkan hidupnya ke luar kota tanpa meninggalkan jejak. Avia terdiam sejenak, menatap kosong ke arah jendela yang menghadap ke kota. Kenapa sekarang perasaan yang dulu dia kubur begitu dalam itu tiba-tiba muncul kembali? *** Malam itu, setelah seharian bekerja keras di kantor, Avia pulang ke rumahnya yang megah. Dari luar, rumah itu tampak sempurna, bangunan besar dengan halaman luas, lampu-lampu kristal yang menggantung megah, dan furnitur mahal yang tertata rapi. Namun, bagi Avia, rumah ini tidak pernah terasa seperti rumah. Rumah ini sangat dingin sejak dia kecil, sejak kedatangan seorang wanita yang memintanya dipanggil ibu. Bahkan tak terlalu lama setelah ibu kandungnya meninggal, ayahnya sudah membawa wanita itu ke rumah dengan perut yang membuncit karena hamil. Begitu ia masuk, suara tawa lembut terdengar dari ruang tengah. Di sana, ibu tirinya, Margaretha, duduk di sofa bersama anak kesayangannya, Jasmine. Mereka terlihat begitu akrab, seolah dunia hanya milik mereka berdua. “Avia, akhirnya pulang juga,” suara Margaretha terdengar dingin. Avia hanya menoleh sekilas tanpa menjawab. Ia sudah terbiasa dengan nada ketus itu. “Kak Avia, kenapa pulangnya selalu malam? Terlalu sibuk bekerja, ya?” Jasmine menambahkan dengan senyum licik di wajahnya. Avia melirik adik tirinya sekilas. Jasmine selalu terlihat sempurna dengan gaun mahal dan riasan wajah yang flawless. Ia adalah kesayangan ibunya, bintang di dalam keluarga ini. Ya, dia adalah seorang model yang cukup terkenal saat ini, sejak dulu dia menggeluti dunia modelling yang tak pernah bisa Avia bayangkan, berlenggak-lenggok di depan orang banyak dan memamerkan kecantikan. “Ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan,” jawab Avia singkat pada adiknya yang kini berusia 25 tahun beda 7 tahun darinya, lalu dia berjalan menuju kamarnya. Namun, Margaretha tidak membiarkannya pergi begitu saja. “Sebagai perempuan, kamu seharusnya tidak sibuk bekerja seperti laki-laki, Avia,” kata Margaretha dengan nada merendahkan. “Lihat Jasmine, dia sukses tanpa harus bekerja seperti orang gila.” Avia berhenti sejenak, menguatkan dirinya agar tidak terpancing emosi. Dia menoleh dengan ekspresi datar. “Tidak semua orang bisa hidup dari wajah cantik saja, Tante.” Margaretha mengepalkan tangannya, “sampai kapan kamu mau memanggil mamamu dengan sebutan Tante?” protesnya. Avia membalik tubuhnya lalu mengangkat bahunya acuh dan meninggalkan dua orang wanita itu. “Lihat saja mama akan menghasut papa kamu untuk mengusirnya dari sini!” geram Margaretha. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD