Setelah makan malam, Dirga membantu Kenzo dengan PR sekolahnya, sementara Sierra mencuci piring dan Ersha sudah tertidur di kasur kecil mereka di petakan yang tengah. Petakan belakang diisi dapur kecil dan kamar mandi. Kenzo dan Dirga biasa tidur di petakan terdepan. Sementara Sierra akan tidur bersama dengan Ersha.
Saat malam semakin larut, Dirga duduk sendirian di depan rumah kontrakan, menikmati udara dingin. Ia menarik napas dalam-dalam, memikirkan hidupnya yang masih saja terasa berat meski belasan tahun berlalu.
Dia mengingat Avia, sosok yang selalu membuatnya bersemangat di masa sekolah dulu. Teringat ketika Avia memandangnya dengan pandangan penuh benci karena Dirga yang mendapat juara umum padahal selama di sekolah menengah pertama, katanya Avia tak pernah terkalahkan.
“Lihat saja, kelas dua nanti aku yang akan mengalahkan kamu!” kecam Avia ketika menemui Dirga di kantin sekolah. Bukan untuk makan, hanya untuk mengecamnya. Teman-teman Dirga saat itu menggoda Dirga dan mengatakan bahwa mereka sangat cocok sebagai sepasang kekasih dibanding saingan.
Masa itu adalah masa yang indah, kehidupan keluarganya stabil, orang tuanya sangat bahagia memiliki balita lucu seperti Sierra, setelah belasan tahun menunggu kehamilan kedua. Dia bahkan sudah memiliki sepeda motor terbaru yang terpaksa dijualnya untuk membantu melunasi hutang bisnis ayahnya yang gagal.
Sepeda motor yang mengandung kenangan membonceng Avia ketika mereka berdua harus ikut lomba di kota sebelah karena jalanan macet dan mobil Avia terjebak macet hingga dia menelepon Dirga. Pria itu sangat ingat betapa Avia sangat kencang mencengkram jaketnya karena ketakutan. Avia berkata itu kali pertama dia naik sepeda motor.
Dirga memang tahu Avia berasal dari keluarga konglomerat, mobilnya pun mobil termahal yang Dirga tahu saat itu. Dibanding mobil siswa lainnya. Senyum Dirga pudar! Dia menunduk, Avia masih cantik seperti dulu, masih judes dan tampak lebih keras kepala dan ... masih saja sulit terjangkau.
Dirga kemudian menghela napas panjang, dia memiliki PR untuk membuat proyek, dia harus sukses di pekerjaan ini. Demi Sierra, Kenzo, dan Ersha. Namun, dia tidak menyangka bahwa tantangan terbesar di tempat kerja bukanlah beban kerja, melainkan seseorang dari masa lalunya, Avia.
Senyuman kecil kembali terukir di wajahnya. Mungkin, pertarungan mereka belum benar-benar berakhir. Dia tahu jarak dia kini semakin jauh dari Avia, namun melihat wanita itu kembali membangkitkan semangatnya, dia yakin kehidupannya akan membaik, karena Avia adalah jimat keberuntungannya. Seperti yang dulu sering diguraukan oleh teman-teman sekolahnya.
***
Hari-hari berikutnya berjalan dengan keheningan yang tak terungkapkan. Avia dan Dirga tetap berinteraksi secara profesional, tetapi ada ketegangan yang membayangi setiap pertemuan mereka. Avia, dengan sikap dinginnya, berusaha keras untuk tidak menunjukkan apapun yang berhubungan dengan masa lalu mereka. Dirga, di sisi lain, berusaha untuk menjadi profesional, meskipun dia merasakan ada sesuatu yang lebih dalam antara mereka.
Suatu pagi, saat rapat tim berlangsung, Dirga mengajukan sebuah ide baru mengenai kampanye pemasaran digital. Ide itu cukup radikal, dan Avia segera menolaknya dengan tegas. “Tidak, itu terlalu berisiko,” ucapnya. “Kita tidak bisa mengambil langkah besar seperti itu tanpa perhitungan yang lebih matang.”
Ruang rapat itu seketika hening, semua manajer menatap Avia yang memberikan tatapan tajam nyaris melotot di kursi kebesarannya, sementara Dirga yang berada di depan layar itu menatapnya dengan pandangan yang tak mau kalah.
Dirga tidak menyerah begitu saja. “Namun, Bu Avia, jika kita tidak mencoba hal baru, kita akan tertinggal. Ini bisa jadi kesempatan besar untuk memperluas pasar.”
Suaranya tegas dan penuh keyakinan, namun Avia hanya menatapnya dengan tatapan yang tajam. “Saranmu terdengar bagus di atas kertas, Dirga, tapi tidak untuk dunia nyata. Kita harus menjaga kestabilan terlebih dahulu.”
Dirga tidak tahu harus berkata apa. Dia merasa frustasi. Kenapa Avia selalu begitu keras kepala?
“Saya paham. Mungkin kita akan diskusikan lebih lanjut setelah kamu memikirkannya,” kata Dirga akhirnya, meskipun dengan sedikit rasa kecewa.
Di sisi lain, Avia merasa aneh. Kenapa hatinya mulai berdetak lebih cepat ketika Dirga bicara dengan cara itu? Apa yang sebenarnya dia rasakan? Dan kenapa, meskipun dirinya selalu membenci Dirga yang dulu, dia merasa sedikit kehilangan kendali?
Namun, dia segera menepis perasaan itu. Di sini, dia adalah bos, dan perasaan pribadi tidak boleh mencampuri keputusan profesional. Ingatannya beralih ke masa lalu, ketika mereka berbeda pendapat saat menjadi satu tim, Dirga tak pernah mau mengalah mempertahankan pendapatnya, begitu pula dengan Avia, hingga pada akhirnya Dirga mengalah dan membiarkan Avia memegang kendali atas tim mereka. kini, Dirga juga harus mengalah lagi kan?
***
Avia duduk di meja kerjanya, matanya tidak terfokus pada layar komputer. Pikirannya melayang pada rapat yang baru saja berlalu, di mana Dirga dengan santainya mengusulkan ide pemasaran yang menurutnya terlalu berani.
Seharusnya dia tidak terlalu memperhatikan itu, kan? Dia adalah bos, dan bos tidak boleh terpengaruh oleh pendapat karyawan. Namun, kenapa di pikirannya ada suara yang terus mengatakan bahwa Dirga mungkin benar?
Sesekali, Avia menoleh ke arah pintu kaca yang memisahkan ruangannya dengan ruang kerja terbuka di luar. Di sana, Dirga sedang berdiskusi dengan rekan-rekannya. Suaranya tenang dan tegas, tetapi ada sesuatu dalam cara dia berbicara yang berbeda, sesuatu yang membuat Avia merasa kesal dan kagum pada saat yang sama.
Pekerjaan yang sudah menumpuk di mejanya seolah memanggil, dan Avia berusaha mengabaikan rasa gelisah itu. Namun, satu hal yang tak bisa dia hindari adalah kenyataan bahwa Dirga bukan lagi anak muda yang dulu, yang pernah dia anggap sebagai saingan konyol di sekolah.
Dirga yang kini ada di hadapannya sudah jauh lebih dewasa dan matang. Bahkan, dalam beberapa minggu terakhir, Avia mulai memperhatikan bahwa Dirga selalu terlihat lebih rapi, lebih perhatian terhadap tim, dan sangat berdedikasi pada pekerjaannya.
Tidak hanya itu, Avia juga mulai menyadari bahwa Dirga ternyata tidak hanya bekerja keras untuk dirinya sendiri. Dia punya tanggung jawab besar terhadap adik-adiknya yang masih kecil-kecil, yang seringkali ia ceritakan secara tidak langsung.
Dalam beberapa percakapan, Dirga menyebutkan bahwa dia adalah tulang punggung keluarga setelah orang tua mereka meninggal beberapa tahun lalu. Avia bisa merasakan betapa berat beban yang harus dipikul Dirga, tetapi dia tidak pernah mengungkapkan rasa kasihan, tidak pernah.
***
Avia masih menekuri pekerjaannya, sebentar lagi jam pulang kerja, beberapa karyawan tampak sudah lebih santai, hingga dia mendengar suara ketukan pintu kacanya dan dia mengangguk ketika Dirga meminta izin untuk masuk.
Dirga membawa berkas di tangannya yang ternyata adalah laporan pemasaran terbaru yang dia kerjakan. Ketika Avia mempersilakannya masuk dan melepaskan bollpoint di tangannya.
“Avia, bolehkah aku bicara sebentar?” ucap Dirga dengan nada rendah. Mata mereka bertemu. Dirga tidak terlihat canggung, meskipun ada sedikit keraguan dalam sorot matanya.
“Ya, bicara saja,” jawab Avia datar, mencoba mempertahankan sikap profesional.
Dirga melangkah mendekat setelah menutup pintu dengan perlahan. Dia menunjukkan dokumen di tangannya.
“Apakah ada yang perlu aku perbaiki di sini?” tanya Dirga, meletakkan dokumen di atas meja Avia. “aku pikir ada beberapa poin yang mungkin perlu diperbaiki, tetapi aku ingin mendengar pendapat kamu.”
Avia menatap dokumen itu dengan hati-hati, lalu mengangkat alis. “Kamu cukup teliti. Aku belum terbiasa dengan dokumen seperti ini, kamu pasti susah payah mengejakannya?”
Dirga tersenyum tipis seraya berkata, “aku merasa kalau pekerjaan ini penting, jadi aku ingin memastikan semuanya sesuai dengan standar perusahaan.”
Avia merenung sejenak. Sungguh, dia terkesan. Dirga tidak hanya pintar, tetapi juga punya etika kerja yang luar biasa. Setiap kali dia berpikir untuk mengabaikan Dirga, pria ini selalu saja membuatnya terkejut dengan kualitas pekerjaannya.
“Tapi, bukankah pekerjaan kamu bisa lebih ringan kalau kamu tidak terlibat dalam semua detail ini? Kita punya tim yang bisa mengurus bagian itu,” Avia mencoba mengalihkan perhatian dari kekagumannya yang mulai tumbuh. “Ini adalah perusahaan besar. Tidak perlu melakukan semuanya sendiri.”
Dirga mengangkat bahu, menghela napas. “Aku tahu. Tapi, untukku, ini adalah soal tanggung jawab. Kalau ada yang salah, aku yang harus bertanggung jawab.”
Avia merasa ada sesuatu yang lain dalam kata-kata Dirga, sebuah perasaan yang tidak bisa dijelaskan. Seolah dia bukan hanya berbicara soal pekerjaan, tetapi juga tentang kehidupan pribadinya yang penuh dengan tanggung jawab. Tanggung jawab yang kadang membuat Avia merasa terasingkan karena dirinya tidak pernah tahu betapa beratnya menjadi seseorang yang diandalkan oleh orang lain.
“Kenapa kamu selalu begitu keras pada dirimu sendiri?” Avia bertanya, meskipun dia tidak benar-benar berniat membuka percakapan itu.
Dirga terdiam, sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. “Aku enggak tahu. Mungkin itu cara aku bertahan.” Dirga tampak menerawang jauh dengan pandangannya lalu dia tersadar dan kembali tersenyum tipis pada Avia.
Avia merasa bingung dengan jawabannya. Dia tidak tahu apakah ini adalah percakapan tentang pekerjaan atau kehidupan pribadi? Tetapi dia merasakan ketulusan dalam suara Dirga. Untuk pertama kalinya, dia melihat pria itu bukan hanya sebagai saingan atau seorang karyawan, tetapi sebagai manusia yang memiliki perjuangan dan cerita hidup yang berat.
“Aku mengerti,” Avia akhirnya menjawab, meskipun kalimat itu terasa aneh keluar dari bibirnya. “Tapi jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Kita semua punya batas.”
Dirga tersenyum dengan lembut, dan untuk sekejap, suasana di ruang itu terasa lebih ringan dari sebelumnya.
“Terima kasih, Avia,” katanya dengan nada yang lebih hangat. Membuat gemuruh di jantung Avia. Apa-apaan ini? Apakah hatinya terserang badai? Topan? Halilintar? Dear Heart! Please stop it!
***