8. Kabar Buruk

1703 Words
Avia berjalan cepat menuju mobilnya yang sudah dipindahkan tepat ke depan rumah oleh sopir pribadi keluarganya. Dia melihat sang ibu berada di dekat mobilnya, seolah menunggu. Wanita dengan senyum yang menyeringai itu menatapnya dengan pandangan penuh senyuman. “Apa lagi?” tanya Avia ketika dia memegang handle pintu mobil, dia memang tak pernah mau diantar oleh sopir, dia lebih suka mengendarai kendaraan sendiri terkecuali pada saat dia yang tidak bisa mengemudikan mobilnya. “Seharusnya kamu tidak menganggap adikmu sainganmu, kamu hanya akan sakit hati,” ucap Margaretha, menatap kuku-kukunya yang mengkilap indah. Seingat Avia, wanita itu tak pernah melakukan pekerjaan rumah apa pun juga selama menikahi ayahnya. Padahal dulu dia hanyalah asisten pribadi ayahnya. “Apa peduli anda?” tanya Avia menatapnya dengan pandangan tajam. “Karena papamu jelas lebih mencintai Jasmine, hubungan kita berdua terikat karena cinta, bukan seperti dengan ibumu, hubungan perjodohan. Itu sebabnya dia sangat bahagia ketika ibumu meninggal,” kekeh Margaretha membuat Avia merasa sangat jijik. Dia menghela napas panjang. “Saya tahu sejak dulu anda menginginkan saya pergi dari rumah ini, Kan? Tenang saja, saya pastikan saya akan meninggalkan rumah ini dalam waktu dekat,” ucap Avia. “Saya tidak sabar menantikan hari itu tiba, laki-laki bodoh mana yang rela hidup menderita dengan wanita sepertimu,” ucapnya. Avia hanya mendengus dan masuk ke dalam mobilnya, sengaja menekan pedal gas dengan kuat di depan wajah ibu tirinya. Dia melajukan mobil dengan cepat, dari lantai atas, ayahnya berdiri dengan memegang cerutu di tangannya, menatap kepergian putrinya dengan pandangan datar. *** Siang itu, di ruang rapat, Avia duduk di hadapan tim manajemennya, termasuk Dirga. Ia berusaha fokus, tapi pikirannya masih berkecamuk dengan syarat yang diberikan ayahnya. Dirga, yang sedang mempresentasikan ide strategi pemasaran baru, sesekali melirik ke arah Avia. Biasanya, wanita itu akan memberikan komentar tajam atau pertanyaan kritis. Namun hari ini, Avia terlihat lebih diam dari biasanya. Sebelum Dirga sempat berpikir lebih jauh, ponselnya bergetar di meja. Ia melirik layar dan melihat nama Sierra tertera di sana. Apakah sesuatu terjadi dengan Ersha? Karena hari ini gadis kecil itu ikut olimpiade dan didampingi oleh Ikha. Dirga merasakan firasat buruk. Sierra tidak pernah menelepon di jam kerja kecuali ada sesuatu yang darurat. Dia melihat ke arah ponselnya dan menatap ke sekitar. “Mohon izinkan saya menerima panggilan ini,” ucap Dirga. “Silakan,” jawab Avia dingin. Dengan cepat, ia menerima telepon. “Sierra? Ada apa?” Suara panik terdengar dari seberang. “Bang! Kenzo pingsan di sekolah! Dia sekarang dibawa ke rumah sakit!” Dirga langsung berdiri, wajahnya berubah tegang. “Apa? Rumah sakit mana?” “Rumah sakit Kasih!” Tanpa berpikir panjang, Dirga langsung mengambil jasnya. “Maaf, saya harus pergi,” ucapnya cepat kepada semua orang di ruangan itu. Avia mengangkat wajahnya, terkejut dengan perubahan sikap Dirga. “Kenapa?” “Adik saya pingsan. Saya harus ke rumah sakit sekarang juga,” jawab Dirga cepat, lalu bergegas keluar. Namun, sebelum ia mencapai pintu, Avia ikut berdiri. “Saya ikut.” Dirga menoleh dengan dahi berkerut. “Tidak perlu, Bu. Ini urusan pribadi saya.” “Saya ikut,” ulang Avia dengan nada tegas. “Saya yang mengantarmu.” Dirga ingin menolak, tapi melihat ekspresi Avia yang tiba-tiba panik dan serius, ia akhirnya menyerah. “Baiklah. Tapi cepat.” Tanpa membuang waktu, mereka keluar dari gedung kantor dan masuk ke mobil Avia. Di dalam mobil, Avia menyetir dengan kecepatan tinggi. Dirga beberapa kali meliriknya dengan heran. “Kamu enggak perlu melakukan ini,” ujar Dirga di sela perjalanan. Avia tetap fokus pada jalan. “Aku mau.” Dirga menghela napas. “Aku enggak menyangka kamu peduli pada masalah pribadi karyawanmu.” Avia menggigit bibirnya, lalu berkata dengan nada yang lebih pelan, “Adikmu penting bagimu. Dan… aku tahu bagaimana rasanya panik saat seseorang yang kamu sayangi dalam bahaya.” Dirga terdiam. Untuk pertama kalinya, ia merasa melihat sisi lain dari Avia. Sisi yang lebih manusiawi. Tak lama kemudian, mereka sampai di rumah sakit. Dirga langsung keluar dari mobil dan berlari masuk, sementara Avia mengikutinya dari belakang. Di depan ruang IGD, Sierra berdiri dengan wajah cemas. Begitu melihat Dirga, dia langsung mendekat. “Bang, dokter masih periksa Kenzo!” “Dia pasti baik-baik saja,” ucap Dirga menggenggam bahu adiknya, mencoba menenangkan. Avia berdiri di samping mereka, merasa canggung. Ia tidak mengenal keluarga Dirga, namun melihat kepanikan mereka, hatinya ikut berdebar. Dia menatap gadis berseragam sekolah SMU itu, gadis itu tampak cantik dengan wajah yang alami. Setelah beberapa menit yang terasa seperti satu jam, seorang dokter keluar dari ruang IGD. “Dok, bagaimana kondisi adik saya?” tanya Dirga dengan suara gemetar. Dokter menghela napas. “Kami sudah melakukan pemeriksaan awal, dan hasilnya menunjukkan sesuatu yang lebih serius dari yang kami perkirakan.” Dirga merasakan jantungnya seperti berhenti berdetak. “Apa maksud Anda, Dok?” Dokter menatapnya dengan penuh simpati. “Kenzo mengalami tumor otak.” Sierra terisak. “Apa?” Dirga merasa dunianya runtuh. Tangannya mengepal, tubuhnya menegang. “Tumor otak?” Dokter mengangguk. “Ini bukan tumor ganas, tapi letaknya cukup berbahaya. Jika tidak ditangani dengan cepat, kondisi Kenzo bisa memburuk. Kami sarankan operasi segera.” Saat dokter pergi, Sierra memeluk lengan kakaknya seraya berkata, “Bang kita harus apa?” Dirga mengusap kepala adiknya, “abang coba tanya ke bagian administrasi dulu,” ucapnya kemudian melirik ke arah Avia. Sierra menghampiri adiknya yang terbaring di ranjang UGD, Avia menemaninya. “Maaf,” ucap Sierra. “Oh iya saya lupa memperkenalkan diri, saya Avia, teman kerja Dirga,” ucap Avia mengulurkan tangannya. Sierra menyeka air matanya dan membalas uluran tangan Avia. “Saya Sierra, kakak ini bosnya Bang Dirga? Dia cerita namanya Avia juga,” tebak Sierra. “Yah bisa dikatakan seperti itu,” ucap Avia. Kenzo yang sudah tersadar dari pingsannya memegangi kepalanya yang terasa berdenyut. “Kak Sierra, aku sakit apa?” tanya Kenzo. Sierra tersenyum ke arah adiknya dan menggeleng. “Hanya kurang darah,” bohongnya. Avia menatap Kenzo yang kini melihat ke arahnya, dia mengangkat bahu pelan dan membuang pandangan ke arah Dirga yang berjalan dengan langkah kaki yang lemah. Pasti sesuatu yang buruk sudah terjadi. Avia, yang berdiri di samping mereka, merasakan sesuatu yang aneh di dadanya. Melihat cara Dirga merawat keluarganya, melihat ketulusannya sebagai kakak, ini adalah sesuatu yang tidak pernah dia miliki. Sierra menatap Dirga yang tampak pucat. “Berapa biaya operasinya, Bang?” tanya Sierra dengan suara serak. “Katanya darah rendah kok harus dioperasi?” tanya Kenzo, lalu dia memegang kepalanya lagi yang sakit. “Gratis dengan asuransi kesehatan pemerintah, tapi ... butuh waktu lama, sedangkan Kenzo pasti sudah kesakitan,” ucap Dirga yang memaksakan senyumnya ke arah Kenzo. “Dirga, ayo kita bicara,” ajak Avia. Dirga pun menoleh ke arah Avia dan mengekornya. Sierra tak bisa tinggal diam, dia mengikuti kakaknya dan Avia yang berada di beberapa bilik dari bilik Kenzo. Dibalik tirai dia mencuri dengar. “Butuh biaya berapa agar adik kamu bisa segera di operasi?” tanya Avia. “Petugas administrasi bilang, biayanya mencapai sekitar 500 juta rupiah, tergantung pada komplikasi yang mungkin terjadi.” Sierra menutup mulutnya dengan kedua tangan, menahan tangisnya agar tidak terdengar. Uang dari mana sebanyak itu? Dirga terdiam. Dia bekerja keras untuk membiayai adik-adiknya, tapi jumlah ini? Ini jauh di luar kemampuannya. “Kamu enggak punya tabungan?” tanya Avia, Dirga pun menggeleng. “Aku sudah tanya apakah ada alternatif lain? Tapi kata dokter, operasi adalah satu-satunya pilihan terbaik. Semakin lama ditunda, semakin besar risikonya.” Dirga menundukkan kepalanya. Pikirannya kacau. Bagaimana dia bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat? Avia masih diam di tempatnya. Matanya menatap Dirga yang tampak hancur, lalu dia melihat sepatu sekolah Sierra dibalik salah satu tirai. Dia tahu Sierra pasti mengupingnya karena itu dia menarik Dirga menjauh dan keluar dari ruang UGD sambil memberi kode. Saat itu, sebuah ide gila melintas di kepalanya. “Kamu pasti butuh uang itu segera, bukan?” kata Avia dengan nada datar. Dia bersandar di dinding sambil melipat tangannya. Dirga menoleh, lalu menghela napas. “Aku akan mencari cara. Aku nggak bisa membiarkan Kenzo kehilangan kesempatan untuk sembuh.” Avia terdiam sejenak, lalu berkata dengan nada tegas, “Aku bisa memberimu uang itu.” Dirga menatapnya dengan wajah terkejut. “Apa?” “Aku bisa membayar semua biaya operasi adikmu,” ulang Avia. “Tapi aku butuh sesuatu darimu sebagai gantinya.” Dirga menyipitkan matanya, merasa ada sesuatu yang tidak beres. “Apa yang kamu inginkan dariku?” Avia menarik napas dalam. Ini gila. Tapi dia tidak punya pilihan lain. “Menikahlah denganku,” katanya akhirnya. Dirga membeku di tempatnya. “Kamu bercanda?” “Aku serius,” jawab Avia tanpa ragu. “Aku butuh suami untuk bisa keluar dari rumah itu. Dan kamu butuh uang untuk menyelamatkan adikmu. Ini perjanjian bisnis yang menguntungkan bagi kita berdua.” Dirga masih tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar, dia ingat bahwa Avia tinggal dengan ibu tirinya dan juga ayahnya yang tak pernah peduli dengannya. Setelah dewasa, apakah dia masih merasakan penderitaan di rumah besar itu? “Jadi, kamu ingin menikah denganku hanya untuk alasan itu?” “Ya.” Avia mengangguk. “Ini pernikahan kontrak. Enggak ada perasaan, enggak ada kewajiban. Setelah beberapa waktu, kita bisa bercerai. Kamu mendapatkan uangmu, dan aku mendapatkan kebebasanku.” Dirga menatap Avia dengan tatapan tajam. “Pernikahan bukan sesuatu yang bisa kamu anggap sebagai transaksi bisnis, Avia.” “Aku tahu,” jawab Avia. “Tapi dalam hidup, kita kadang harus membuat keputusan yang enggak kita inginkan.” Dirga menggeleng. “Aku enggak yakin.” Avia menatapnya dalam-dalam. “Jika kamu menolak, bagaimana kamu akan mendapatkan 500 juta dalam waktu singkat?” Dirga terdiam. Dia tahu Avia benar. Tidak peduli sekeras apa pun dia bekerja, dia tidak akan bisa mengumpulkan uang sebanyak itu dalam waktu cepat. Sierra dan Ersha bergantung padanya. Dan Kenzo? Kenzo bisa kehilangan nyawanya jika dia tidak segera dioperasi. Dengan hati yang berat, Dirga akhirnya berkata, “Berikan aku waktu untuk berpikir.” Avia mengangguk. “Baik. Tapi kamu enggak punya banyak waktu. Kenzo juga enggak.” Malam itu, Dirga berdiri lama di depan rumah sakit, menatap langit yang gelap. Apakah ia benar-benar harus menikahi Avia demi menyelamatkan adiknya? Dan jika dia melakukannya, apa yang akan terjadi setelahnya? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD