Dirga duduk di depan ruang rawat Kenzo, Ikha datang bersama Ersha, di tangannya sudah memegang sebuah piala. Ya Ersha berhasil mendapat juara pertama, sayangnya Dirga tak bisa merayakannya karena hal itu.
“Bagaimana Kenzo?” tanya Ikha. Dirga yang memeluk Ersha itu mengangkat wajah dan menggeleng.
“Ersha masuk ke dalam dulu, Ya, bilang ke kak Sierra kalau kamu menang,” ucap Dirga memaksakan senyumnya. Ikha pun duduk di sampingnya.
“Jadi?” tanya Ikha menoleh ke arah Dirga, wajah pria itu tampak kusut, rambutnya berantakan mencerminkan keadaannya yang menanggung beban berat.
Dirga menarik napas panjang, “sejak kecil Kenzo memang fisiknya cukup lemah, itu sebabnya dia enggak bisa mewujudkan mimpinya menjadi pemain bola, tapi saya enggak menyangka penyakitnya separah itu, dokter bilang sudah cukup lama Kenzo menahan sakitnya, pasti kepalanya sering pusing. Saya merasa enggak becus jadi kakak, karena enggak tahu bahwa adik saya menderita tumor otak,” ujar Dirga.
“Astaga, Kenzo padahal terlihat ceria. Kamu jangan menyalahkan diri kamu,” ujar Ikha. “Dia bisa dioperasi kan? Jika itu masalah biaya, saya rasa saya bisa bantu kamu cari biaya ke dinas kesehatan, atau kita menggalang, ehm maaf donasi,” ujar Ikha. Dirga menggeleng.
“Bukan saya enggak mau menerima ketulusan niat kamu, tapi ... saya sepertinya punya solusi lain, ada teman yang menawarkan berbisnis dengannya dan dia yang akan membayar biayanya. Hanya saja saya ragu,” ucap Dirga. Entah mengapa dia bisa berbicarara lepas dengan seorang yang dewasa yang dia butuhkan saat ini untuk bisa setidaknya mendengarkannya.
“Bisnis apa?” tanya Ikha. Dirga menghela napas panjang.
“Entah saya bisa mengatakan ini pada kamu, tapi ini jalan satu-satunya yang instan. Seorang teman meminta saya menikahinya, pernikahan kontrak,” ucap Dirga.
Ikha memegang ujung bajunya, dia menoleh menatap Dirga yang justru lebih tertarik menatap lampu di langit-langit koridor rumah sakit.
“Saya bisa menggadaikan sertifikat rumah, lalu mencicil biayaya nanti—”
“Jangan, saya enggak mau melibatkan kamu, lagi pula kita bukan siapa-siapa,” tukas Dirga.
“Maaf,” ucap Ikha seraya menunduk.
“Tapi terima kasih atas perhatiannya, kalau boleh saya minta tolong sekali lagi,” ucap Dirga.
“Apa?” tanya Ikha.
“Hmmm, maaf jika merepotkan, tapi bisakan kamu mengantar Sierra dan Ersha pulang?” tanya Dirga.
“Oh tentu,” jawab Ikha.
Dirga pun mengangguk, dia mengajak Ikha masuk ke dalam. Menyuruh kedua adiknya pulang bersama Ikha, sementara dia yang akan menunggui Kenzo.
***
Keesokan paginya, Dirga datang ke kantor lebih awal dari biasanya. Dia tahu Avia pasti sudah ada di ruangannya. Tanpa mengetuk, dia langsung masuk.
Avia, yang sedang menatap layar laptopnya, mendongak dengan ekspresi datar. “Jadi?”
Dirga menarik napas dalam, “aku terima tawaranmu.” Semalam saat tengah malam, Kenzo muntah-muntah, dokter bilang tumor itu pasti sudah menekan otaknya hingga Dirga merasa perlu segera melakukan operasi.
Avia menutup laptopnya, menatapnya lekat-lekat. “Benarkah?”
“Ya.” Dirga mengepalkan tangannya. “Tapi aku punya syarat.”
“Apa?” tanya Avia menaikkan satu alis.
“Pernikahan ini hanya sebatas di atas kertas. Enggak ada campur tangan dalam kehidupan pribadi masing-masing.”
Avia menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap pria di hadapannya dengan ekspresi berpikir. “Baik. Aku setuju.”
“Satu lagi,” tambah Dirga. “Kamu harus segera mentransfer uang itu untuk operasi Kenzo. Aku enggak bisa menunggu lama.”
Avia tersenyum tipis. “Aku mengerti. Aku akan mengurus semuanya hari ini.”
“Kalau begitu, kapan kita menikah?”
Avia berdiri, mengambil tasnya. “Secepatnya. Aku akan menghubungi pengacara untuk mengurus perjanjian pranikah. Setelah itu, kita bisa mendaftarkan pernikahan.”
Dirga menghela napas panjang. Tidak ada jalan untuk mundur.
Pernikahan ini bukan atas dasar cinta. Meskipun dia menaruh perasaan pada Avia, namun dia yakin Avia tak pernah sedikit pun meliriknya atau menaruh rasa padanya. Semua murni karena keprofesionalan Avia saja.
Malam itu, rumah sakit terasa lebih sunyi dari biasanya. Hanya suara alat medis yang berbunyi pelan di sudut ruangan. Dirga duduk di samping tempat tidur Kenzo, menggenggam tangan adiknya yang masih lemah. Adiknya dipindahkan ke ruang ICU setelah kejadian malam tadi.
Sierra berdiri di dekat jendela, memeluk dirinya sendiri. Sejak tadi, ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan kakaknya. Dirga keluar dari ruangan itu kemudian.
“Bang,” panggilnya lirih.
Dirga menoleh, ragu sejenak sebelum akhirnya berkata, “Sierra, duduklah.”
Gadis itu menurut, duduk di kursi yang menghadap langsung ke kakaknya. “Ada apa, Bang? Aku tahu ada sesuatu yang ingin Bang Dirga katakan.”
“Besok Kenzo akan dioperasi, abang sudah membayar depositnya,” ucap Dirga.
Sierra menatap kakaknya dengan mata berbinar. “Benarkah?! Bagaimana caranya, Bang? Apa ada seseorang yang mau meminjamkan uang sebanyak itu?”
Dirga menggeleng. “Bukan pinjaman.” Ia menarik napas dalam, lalu berkata, “abang akan menikah dengan Avia.”
Sierra terdiam. Ia menatap kakaknya dengan ekspresi tidak percaya. “Apa abang bercanda?” Kemarin ketika Avia menarik Dirga menjauh, dia tak bisa mendengar percakapan itu lagi. Apakah wanita itu begitu terobsesi dengan kakaknya hingga rela membayar biaya operasi yang tidak sedikit jumlahnya?
“Enggak.”
Sierra menggeleng cepat, berusaha mencerna kata-kata itu. “Bang Dirga mau menikah? Dengan Kak Avia? Tapi kenapa?”
Dirga menatap adiknya dengan mata yang penuh beban. “Ini hanya kesepakatan. Dia butuh seorang suami agar bisa keluar dari rumahnya, dan abang butuh uang untuk menyelamatkan Kenzo. Jadi abang setuju. Enggak ada salahnya juga. Ibarat simbiosis mutualisme.”
Sierra menutup mulutnya, matanya mulai berkaca-kaca. “Bang.” Suaranya bergetar. “Ini gila!”
Dirga mengangguk lemah. “Abang tahu. Tapi abang enggak punya pilihan lain.”
Air mata Sierra mulai mengalir. “Bang, aku tahu Bang Dirga selalu berkorban untuk kami, tapi ini terlalu jauh!”
Dirga mengusap wajahnya, berusaha tetap tegar. “Abang akan melakukan apa pun untuk kalian, Sierra. Kalau ini satu-satunya cara agar Kenzo bisa bertahan, abang akan melakukannya.”
Sierra terisak. Ia ingin menolak, ingin memohon pada kakaknya agar tidak melakukan ini. Tapi bagaimana bisa? Kenzo butuh operasi. Dan mereka tidak punya uang sebanyak itu.
Perlahan, ia bangkit dari kursinya, lalu mendekati kakaknya. Dengan tangan gemetar, ia menggenggam tangan Dirga.
“Kalau begitu, aku hanya bisa mendukung Bang Dirga,” ucapnya dengan suara bergetar. “Aku enggak ingin abang melakukan ini, tapi aku juga enggak bisa menentangnya. Aku tahu Bang Dirga melakukan ini demi Kenzo, demi kami.”
Dirga menatap adiknya dengan mata berkaca-kaca. Dia tidak pernah ingin Sierra melihatnya dalam kondisi seperti ini, dalam keadaan terpaksa, dalam dilema yang menghancurkan hati.
Sierra menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. “Bang, janji sama aku. Setelah semua ini selesai, setelah Kenzo sembuh, Bang Dirga harus menemukan kebahagiaan abang sendiri.”
Dirga tersenyum kecil, meski hatinya terasa sakit. “Abang akan mencoba, Sierra.”
Sierra menutup matanya sejenak, lalu memeluk kakaknya erat-erat.
“Aku selalu bangga punya kakak seperti Bang Dirga,” bisiknya.
Dirga membalas pelukan itu, menutup matanya, membiarkan air mata yang selama ini dia tahan jatuh perlahan.
Malam itu, mereka berdua hanya bisa berpegang satu sama lain. Karena dalam keluarga kecil mereka, satu-satunya yang bisa mereka lakukan adalah saling menguatkan.
Dirga masih berdiri di luar kaca ruang ICU, menatap Kenzo yang terbaring di ranjang rumah sakit. Wajah adiknya tetap pucat, meski alat medis menunjukkan tanda-tanda stabil. Sierra sudah pulang sebentar beristirahat, meninggalkan Dirga sendirian dalam keheningan.
Pikirannya berkecamuk. Dia telah menerima tawaran Avia, dan besok mereka akan mengurus semua dokumen pernikahan. Rasanya masih seperti mimpi, pernikahan yang terjadi bukan karena cinta, melainkan kesepakatan.
Tiba-tiba dia mendengar suara langkah kaki mendekat.
Dirga mendongak, dan di sana, Avia berdiri dengan ekspresi datar. Dia masih mengenakan pakaian kantornya, blazer hitam dengan rok pensil senada, rambutnya tetap tertata rapi.
“Kamu datang?” tanya Dirga, sedikit terkejut.
“Aku ingin memastikan kamu enggak berubah pikiran,” jawab Avia, berjalan menghampiri dengan langkah tenang. Dia berdiri di sisi Dirga, menatap Kenzo yang masih tertidur.
Dirga menghela napas. “Aku enggak akan mundur.”
Avia menatapnya sebentar, lalu mengangguk. “Bagus.” Ia melipat tangannya di depan d**a. “Besok pagi kita akan bertemu pengacara. Aku sudah menyiapkan surat perjanjian pernikahan. Kamu hanya perlu membacanya dan menandatangani.”
Dirga tersenyum miring. “Jadi ini seperti kontrak kerja bagimu?”
Avia menatapnya tanpa emosi. “Bukankah memang begitu?”
Dirga menggeleng pelan. Ia sudah tahu sejak awal bahwa ini hanya transaksi, namun mendengarnya langsung dari mulut Avia terasa aneh.
“Baiklah,” kata Dirga akhirnya.
“Setelah operasi Kenzo berjalan, kamu harus menemui ayahku, yah hanya makan malam secara formalitas saja, toh dia enggak akan peduli dengan siapa aku menikah,” ucap Avia, ada nada sedih di suaranya.
“Ya, aku akan lakukan itu,” ucap Dirga.
“Dan tahan semua ucapan ibu tiriku, nanti. Dia mungkin akan ketus atau memberi pandangan mencemoh, cuekin saja, anggap aja dia patung,” ujarnya. Dirga tersenyum tipis.
“Kamu masih sangat membencinya?”
“Semakin benci,” ujar Avia sambil menggeleng muak.
Hening sejenak di antara mereka. Hanya suara alat medis yang berbunyi pelan di sudut ruangan.
Lalu, tiba-tiba Avia berbicara, suaranya sedikit lebih pelan dari sebelumnya. “Adikmu, dia sudah sakit sejak lama?”
Dirga menoleh, agak terkejut dengan pertanyaan itu.
“Kenzo memang sejak kecil lemah,” jawabnya jujur. “Tapi kami enggak pernah menyangka dia punya tumor otak.”
Avia tidak berkata apa-apa, hanya menatap Kenzo dengan ekspresi yang sulit ditebak.
Setelah beberapa saat, dia berkata, “Aku akan memastikan dia mendapatkan perawatan terbaik.”
Dirga menatapnya dalam diam. Entah kenapa, untuk pertama kalinya, dia merasa Avia bukan hanya seorang bos yang dingin dan ambisius? Ada sesuatu di balik sikap kerasnya, sesuatu yang tidak mudah dilihat orang lain.
Dan untuk sesaat, Dirga bertanya-tanya, seperti apa sebenarnya kehidupan Avia?
***