10. Mulainya Suatu Hubungan

1678 Words
Hari operasi akhirnya tiba. Sejak pagi, Dirga sudah berada di rumah sakit bersama Sierra dan Ersha. Avia juga datang, mengenakan pakaian kasual untuk pertama kalinya, blus sederhana berwarna putih dan celana panjang, sesuatu yang jarang sekali Dirga lihat darinya. Di ruang tunggu, mereka duduk dalam diam. Ersha tertidur di pangkuan Sierra, sementara gadis itu terus menggenggam tangannya dengan erat. Dirga sendiri menatap kosong ke arah pintu ruang operasi. Avia, yang duduk di sebelahnya, akhirnya berbicara. “Kamu kelihatan tegang,” ucapnya sambil melirik ke arah Dirga. Pria itu menoleh ke arah Avia yang membalas tatapannya tanpa berniat berpaling. Hal itu menarik perhatian Sierra yang penasaran apa tujuan wanita konglomerat itu menikahi kakaknya? Ya Dirga memang tampan, sangat tampan malah di mata Sierra. Namun, bukankah dengan kekayaannya dia bisa mendapatkan pria yang jauh lebih tampan dan setara dengannya? Dirga menghela napas, lalu berkata, “ini operasi besar. Aku cuma takut terjadi sesuatu.” “Dokternya bilang peluang berhasilnya tinggi. Kenzo kuat,” ucap Avia menatap lurus ke depan, entah mengapa kata-kata itu meluncur dari mulutnya begitu saja? Dia bahkan cukup terkejut dia bisa menguatkan seseorang dengan mulutnya. Dirga mengangguk, namun kegelisahannya tetap tidak berkurang. Waktu terasa berjalan sangat lambat. Setiap detik terasa seperti satu abad. Namun, setelah hampir lima jam menunggu, akhirnya pintu ruang operasi terbuka. Mereka langsung berdiri. Seorang dokter keluar, melepas masker bedahnya, lalu tersenyum. “Operasi berjalan lancar,” ucapnya. Dirga merasa seluruh beban di pundaknya tiba-tiba menghilang. Dia menghela napas panjang dan menundukkan kepala. Avia mengangguk dan tersenyum tipis, dia yakin pasti operasi berjalan lancar karena dokter yang menangani adalah dokter terbaik di rumah sakit ini. “Astaga Tuhan,” isak Sierra menangis pelan, menutupi wajahnya dengan tangan. “Pasien butuh waktu untuk pemulihan, namun kami optimis dia akan baik-baik saja, syukurlah tumornya tidak menekan saraf pentingnya terlalu dalam,” lanjut dokter itu. Dirga mengangguk cepat. “Terima kasih, Dok. Terima kasih banyak.” Avia, yang sejak tadi diam, akhirnya berkata, “Boleh kami menemuinya sekarang?” “Sebentar lagi, setelah efek biusnya berkurang.” Mereka semua kembali duduk, kali ini dengan perasaan lebih lega. Dirga menoleh ke Avia, yang masih berwajah datar. “Terima kasih, Avia,” bisiknya pelan. Avia menatapnya sebentar, lalu mengalihkan pandangan. “Sudah kubilang, ini bagian dari kesepakatan.” Namun, Dirga bisa melihat sesuatu di mata wanita itu, sesuatu yang lebih dari sekadar kepentingan bisnis. Dan itu membuatnya semakin sulit memahami Avia. *** Beberapa hari setelah operasi, Kenzo mulai sadar sepenuhnya. Meskipun masih lemah, dia sudah bisa berbicara dan tersenyum kepada anggota keluarganya. Dia tak mengenal Avia yang sejak awal dia membuka mata sudah ada di antara keluarganya. Sierra menjelaskan secara singkat tanpa ingin membebani Kenzo, dia berkata bahwa wanita itu adalah atasan Dirga yang juga kekasih kakaknya dan akan menikah dengannya. Avia kemudian mengajak Dirga keluar dari kamar rawat VIP yang ditempati Kenzo atas usul Avia. Dirga menyusul Avia dan duduk di sampingnya, di sofa panjang yang memang tersedia di depan kamar. “Kita harus segera menikah,” ucap Avia memandang langit-langit rumah sakit itu. Lampu yang sangat terang memancarkan cahaya berpendar. Ada sesuatu yang mengaburkan pandangannya. Dirga menatapnya, agak terkejut dengan caranya yang langsung ke pokok masalah. “Kamu enggak mau tunggu Kenzo pulang dulu?” tanya Dirga. “Semakin cepat, semakin baik,” jawab Avia. “Lagi pula, dia sudah dalam tahap pemulihan.” Dirga menghela napas. “Baiklah.” Avia lalu menambahkan, “sebelumnya, aku ingin kamu makan malam di rumahku. Bertemu keluargaku.” “Orang tua kamu tahu soal pernikahan ini?” tanya Dirga dengan kening berkernyit. “Papa tahu,” jawab Avia singkat. “Mama tiriku? Aku nggak peduli.” Avia mengangkat bahunya acuh, semakin cepat keluar dari rumah itu akan semakin baik, berpuluh tahun dia bertahan di rumah yang lebih mirip seperti neraka baginya itu. Kini waktunya dia bebas. Dirga bisa menangkap ketegangan dalam suaranya, namun dia memilih untuk tidak berkomentar. “Baiklah. Kapan?” tanya Dirga kemudian. Avia menoleh dan menatap matanya dalam. “Malam ini.” Dirga terkejut. “Serius?” Avia menatapnya datar. “Aku nggak suka menunda-nunda.” “Baiklah … ayo kita mulai.” Dirga menghela napas panjang dan membalas tatapan Avia dengan lebih berani. *** Malam itu, Dirga tiba di rumah besar keluarga Avia. Rumah itu tampak megah, pasti ukurannya puluhan kali lipat lebih besar dari kontrakannya yang mungil. Pilar yang besar sangat kokoh menunjang rumah tersebut. Lampu-lampu taman begitu kontras menambah keindahan, ada air mancur dengan patung kuda, tengah berdiri begitu kokoh di tengahnya. Begitu masuk, mereka disambut oleh seorang pria paruh baya dengan wajah tegas, ayah Avia, Wishnu Santana. Selama ini Dirga hanya tahu tentang Santana Group tanpa tahu wajah asli pemiliknya, rupanya wajahnya lebih tegas dibanding foto yang ada di media cetak, di majalah yang pernah tak sengaja dibacanya di ruang kerja Avia beberapa waktu lalu. Pria itu menatap Dirga lama, lalu tiba-tiba tersenyum kecil. “Dirga, kamu masih ingat saya?” Dirga sedikit terkejut. “Maaf, Om, apakah kita pernah bertemu sebelumnya?” “Tentu saja. Saya sering mendengar namamu dulu. Kamu adalah saingan Avia di sekolah,” kekeh Wishnu, tawanya begitu khas, seolah setiap kekehannya mengandung suara dollar yang berharga. Dirga tertegun. Dia memang pernah menjadi pesaing terdekat Avia dalam akademik, namun tidak menyangka ayahnya masih mengingatnya. “Saya tidak menyangka kamu akan menjadi menantu keluarga ini,” lanjut Wishnu dengan nada penuh arti. Dirga menatap Avia, yang tetap diam. Dia bisa melihat rahang wanita itu mengeras, seolah menahan sesuatu. Avia kemudian mengangguk pelan pada Dirga seolah memberi kode bahwa dia akan menjelaskan alasan dirinya memperkenalkan Dirga sebagai teman sekolahnya pada masa dahulu. Saat itu, seseorang lain muncul dari dalam rumah, seorang wanita berusia sekitar lima puluhan dengan ekspresi dingin. Kalung mutiara melingkari lehernya yang jenjang, dagu runcingnya terangkat dan senyumnya begitu sinis. “Jadi, ini calon suami Avia?” Suara wanita itu terdengar ketus. Dirga langsung tahu siapa dia. Margaretha. Ibu tiri Avia. Wanita itu menatapnya dari ujung kepala sampai ujung kaki, seolah menilainya dengan seksama. “Hmm, aku kira Avia akan menikah dengan pria yang lebih ... sukses.” Dirga menegang, namun sebelum dia bisa merespons, Avia sudah berbicara. “Aku yang menentukan siapa suamiku, bukan kamu,” ucapnya tajam. Margaretha mendecakkan lidah. “Tentu saja. Kamu selalu keras kepala.” Jasmine tiba-tiba muncul dari tangga. Wanita muda itu mengenakan gaun mewah, dengan senyum penuh ejekan di wajahnya. Dia begitu cantik dan anggun, kecantikan yang berdasar dari wajah alami ditambah perawatan yang mungkin menghabiskan uang ratusan juta rupiah. Lihatlah kulitnya yang bersinar diterpa cahaya lampu dan langkah kakinya yang begitu anggun. “Avia menikah? Wow, aku benar-benar enggak menyangka,” ucapnya dengan nada pura-pura terkejut. “Aku kira kamu akan tetap sendiri sampai tua.” Avia menatap adik tirinya dengan dingin. “Dan aku kira kamu akan sibuk dengan karier modeling-mu, bukan mengurusi hidupku.” Jasmine terkikik, lalu menatap Dirga. “Kamu beruntung, loh. Kakakku ini luar biasa dalam bisnis, walaupun dalam urusan lain, aku nggak tahu.” Dirga hanya tersenyum tipis, mencoba untuk tetap sopan. Namun dalam hatinya, dia bisa merasakan ketegangan yang begitu kuat di keluarga ini. Wishnu akhirnya berkata, “ayo kita makan. Jangan terlalu banyak bicara hal yang tidak perlu.” Mereka semua duduk di meja makan, namun Dirga tahu, ini bukan sekadar makan malam biasa. Ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang mungkin akan mengubah hidupnya selamanya. Makan malam berlangsung dalam ketegangan yang terasa begitu nyata. Setiap kata yang diucapkan terasa seperti ujian bagi Dirga, dan setiap tatapan dari Margaretha maupun Jasmine penuh dengan sindiran. Namun, yang paling membuatnya waspada adalah ekspresi Wishnu, ayah Avia. Pria itu tidak banyak berbicara selama makan malam, tetapi sorot matanya tajam, seolah menelanjangi setiap kebohongan yang mungkin ada di antara mereka. Setelah makanan hampir habis, Wishnu akhirnya meletakkan garpunya dan menatap langsung ke arah Dirga. “Jadi, bagaimana kalian bisa memutuskan untuk menikah?” tanyanya dengan nada datar. Avia menjawab lebih dulu. “Kami sudah saling mengenal sejak lama, Papa.” “Ya, papa tahu. Tapi itu dulu, waktu sekolah. Sekarang?” Wishnu menatap Dirga. “Kamu yakin menikahi Avia karena cinta?” Dirga menelan salivanya kasar. Ini adalah pertanyaan yang paling dia takutkan. Namun, sebelum ia bisa menjawab, Margaretha tertawa kecil. “Ah, aku juga penasaran, Mas. Bagaimana mungkin Avia, yang selalu sibuk dengan pekerjaan, tiba-tiba menemukan pria yang ingin menikahinya?” Jasmine ikut menimpali. “Mungkin ada alasan lain, ya?” “Aku enggak perlu membuktikan apapun pada kalian.” Avia menggeser piringnya dengan sedikit kasar. Wishnu masih menatap Dirga. “Tapi saya perlu tahu. Kamu tahu, Saya tidak ingin anak saya menikah hanya karena sebuah kesepakatan bisnis atau, alasan lain yang tidak jelas.” Dirga merasakan telapak tangannya sedikit berkeringat. Dia tahu jika dia salah bicara, maka semuanya bisa berantakan. Namun, sebelum ia bisa mengatakan sesuatu, Wishnu melanjutkan, “jika kamu benar-benar mencintai Avia, saya ingin kamu membuktikannya.” Dirga menegakkan bahu. “Apa maksud Om?” Wishnu tersenyum tipis. “Setelah kalian menikah, saya ingin kalian tinggal di rumah ini selama sehari. Saya ingin melihat sendiri bagaimana hubungan kalian.” Avia langsung terlihat tidak nyaman. “Papa, itu enggak perlu.” “Tapi papa ingin melakukannya,” potong Wishnu tegas. “Jika pernikahan kalian benar-benar didasari cinta, maka seharusnya ini bukan masalah.” Margaretha tersenyum puas. “Bagus sekali idenya, Mas. Aku juga penasaran melihat mereka sebagai suami-istri.” Jasmine terkikik. “Seru juga ya. Jadi semacam uji kelayakan?” Avia tampak ingin menolak, tetapi Dirga lebih dulu membuka suara. “Baik, saya setuju,” ucapnya mantap bahkan dia menambahkan dengan memegang tangan Avia dan mengusapnya lembut lalu tersenyum manis ke arahnya. Avia menatapnya tajam, seolah menuntut penjelasan. Dirga menelengkan kepalanya membuat Avia sedikit berdehem dan memberikan senyum kepura-puraannya yang begitu terpaksa. Dia kemudian menoleh ke arah ayahnya. “Saya tidak keberatan tinggal di sini sehari setelah pernikahan,” ucap Dirga. “Jika itu bisa meyakinkan Om Wishnu bahwa pernikahan ini nyata, saya akan melakukannya,” imbuhnya mantap. Avia hanya mengangguk, terserahlah dia akan melakukan apa saja asal ayahnya yakin, meskipun dia harus melepas keperawanannya di malam itu untuk suami-kontraknya kelak! ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD