Setelah malam itu, sepertinya Wishnu mulai mempercayai bahwa dia bisa melepas Avia untuk menikah dengan lelaki pilihannya. Meskipun dia seorang pengusaha yang sukses dan kaya raya, namun dia tak pernah mau menjodohkan anaknya, menurutnya pilihan untuk menikah harus lah dimulai dari diri sendiri agar bisa bertanggung jawab pada dirinya.
Keesokan harinya, Avia bahkan memanggil pengacara pribadinya ke kantor untuk membahas perjanjian pranikah. Dirga tak menolak kesepakatan itu karena baginya, setelah dia setuju untuk menikah dengan Avia, itu artinya sebagian dirinya milik Avia. Dia bahkan merasa berhutang nyawa pada teman sekolah yang kemudian jadi atasannya itu dan sebentar lagi akan menjadi istrinya.
Dua hari setelah tanda tangan perjanjian, Avia mengajak Dirga ke sebuah kawasan perumahan elit di pinggiran kota. Dirga tidak mengerti mengapa Avia membawanya ke sana? Namun, dia mengikuti saja.
Mobil Avia berhenti di depan sebuah rumah dua lantai yang cukup besar, dengan halaman luas dan pagar tinggi. Dirga mengernyit, tidak percaya.
“Kita … ngapain di sini?” tanyanya bingung.
Avia menekan remote kecil di tangannya, secara seketika pintu gerbang itu terbuka yang menunjukkan rumah yang cukup besar terdiri dari tiga lantai. Rumah itu tampak masih sangat bagus dan mungkin baru.
“Setelah menikah kita akan tinggal di sini,” ucap Avia santai. Dia memarkirkan kendaraan tepat di depan rumah tersebut, lalu turun dari mobil. Dirga mengikutinya dengan pandangan bingung.
Dirga tertegun, matanya menyiratkan tatapan penuh pertanyaan. “Maksud kamu apa?”
Avia menoleh dengan ekspresi datar. “Aku enggak mungkin tinggal di rumah kontrakan sempit dengan tiga anak kecil. Jadi, aku minta papa belikan rumah ini.”
Dirga masih tidak bisa mempercayai apa yang baru didengarnya. “Pak Wishnu beli rumah ini? Ckckck begitu mudahnya orang kaya menghamburkan uang!”
“Ya, anggap saja hadiah pernikahan kita, apa kamu enggak pernah dengar yang namanya investasi?” jawab Avia singkat, lalu masuk ke dalam.
Dirga menghela napas panjang sebelum akhirnya mengikuti. Begitu masuk, ia mendapati interior rumah yang modern dan luas. Ruang tamu besar, dapur elegan, dan ada beberapa kamar di lantai atas.
“Ada cukup banyak kamar di sini. Adik-adik kamu masing-masing bisa punya kamar sendiri,” ujar Avia sambil berjalan ke ruang keluarga.
Dirga masih dalam keadaan setengah shock. “Avia tunggu!” panggilnya karena langkah Avia begitu panjang seolah dia sudah mengecek rumah ini sebelumnya.
Avia membalik tubuh dan mengangkat kedua alisnya, “apa lagi? Enggak suka? Atau aku minta papa belikan rumah lain?”
“Kamu serius? Ini ... ini terlalu berlebihan!”
Avia menatapnya tajam. “Aku enggak pernah main-main, Dirga. Barang-barangnya masih banyak yang kosong, aku enggak tahu selera adik kamu seperti apa? Jadi kita bisa membelinya nanti setelah Kenzo keluar dari rumah sakit.”
Dirga mengusap wajahnya, mencoba mencerna semuanya. “Kamu sudah mengeluarkan banyak uang untuk operasi Kenzo, sekarang kamu beli rumah juga? Dan apa kamu bilang? Barang-barang sesuai selera adik-adikku?”
Avia mendekap tangannya seraya mengembuskan napas kasar, memandang Dirga yang tak mengekornya menuju tangga, hingga Dirga tampak berada di bawahnya, “kamu mau tinggal di rumah kecil itu selamanya? Ini bukan cuma buat kamu, tapi juga buat adik-adik kamu. Mereka butuh tempat yang layak. Dan ingat, Kenzo baru banget selesai operasi yang sangat rumit, dia butuh sanitasi yang bagus. Memangnya di tempat tinggal kamu ada air bersih?”
“Kamu bahkan belum pernah mampir ke rumahku, Avia! Jangan dikte,” geram Dirga.
“Siapa tahu?” ujar Avia seraya mengangkat bahunya acuh.
Dirga terdiam. Dia tahu Avia ada benarnya. Sejak kecil, mereka selalu hidup dalam keterbatasan. Memiliki rumah seperti ini … sesuatu yang bahkan tak pernah berani dia impikan. Mungkin Avia bisa menebak tempat tinggalnya dari CV yang dia kirim. Entahlah?
Avia mengedarkan pandangan di lantai dua, lalu dia naik ke lantai tiga yang tidak terlalu banyak kamar, hanya ada ruang-ruang kosong yang mungkin akan Avia isi dengan peralatan olah raga, atau mungkin perpustakaan pribadi, bisa juga untuk ruang kerja nantinya, pemandangannya cukup bagus.
“Avia,” panggil Dirga.
“Hmm,” dehem Avia sambil melihat ke bawah, dari tempatnya berdiri dia bisa melihat gerbang besar rumah itu dan juga jalanan, dia bisa melihat orang lalu lalang dari tempatnya.
“Lalu bagaimana dengan rumah ini jika kontrak pernikahan kita berakhir?” tanya Dirga. Avia terdiam matanya tampak kosong, lalu dia memegang tralis besi di hadapannya.
“Rumah ini untuk kamu dan adik-adik kamu,” ucap Avia.
“Ha?”
“Terus kamu mau balik ke kontrakan kumuh itu lagi?” tanya Avia dengan pandangan menyelidik.
“Bukan gitu, hanya–“
“Enggak perlu mengkhawatirkan hal yang bahkan belum kita jalani. Aku enggak mau terlalu lama menunggu pernikahan, jadi kuharap kita bisa menikah dua minggu lagi. Minggu depan kita belanja barang-barang untuk kamar adik-adik kamu, setelah itu kalian pindah ke sini lebih awal. Malam pernikahan kamu menginap di rumah keluargaku, besok paginya kita langsung pergi! Oke?”
“Kamu sudah menyusun semua jadwalnya?”
“Ya terkecuali honeymoon, karena enggak ada kata honeymoon dalam jadwalku. Ayo pulang, kamu harus ke rumah sakit, Kan?” tanya Avia, kembali berjalan cepat menuruni tangga tanpa mau menoleh sedikit pun ke arah Dirga yang menggeleng tak percaya. Wanita di depannya ini sangat keras kepala dan tak bisa dibantah.
Tiga hari kemudian, akhirnya tiba waktu bagi Kenzo untuk pulang dari rumah sakit.
Dirga menjemputnya bersama Sierra dan Ersha. Saat mereka masuk ke kamar rawat Kenzo, bocah itu sudah duduk di tempat tidur, terlihat lebih segar meskipun masih pucat.
“Bang!” seru Kenzo begitu melihat Dirga masuk.
Dirga tersenyum dan mengusap pipi adiknya. “Bagaimana rasanya jadi pasien VIP?”
Kenzo cemberut. “Bosan, Aku lebih suka di rumah.”
Sierra tertawa kecil. “Ya sudah, sekarang kita pulang.”
Seorang perawat masuk untuk memberikan berkas administrasi terakhir. Setelah semua beres, mereka pun membawa Kenzo keluar dari rumah sakit.
Kenzo tampak senang ketika diperbolehkan duduk di samping kursi kemudi, di dalam sebuah mobil yang dikemudikan oleh Dirga, sepertinya ini pertama kalinya dia naik mobil disopiri oleh abangnya.
“Ini mobil siapa?” tanya Kenzo.
“Mobil Raka, teman kerja abang, abang pinjam sebentar karena mau mengajak kalian ke suatu tempat,” ucap Dirga.
“Ke mana?” tanya Sierra yang duduk di belakang.
“Hmmm ada deh,” jawab Dirga sambil terus melajukan mobilnya.
Hingga mereka tiba di depan gerbang rumah besar, Dirga menunjukkan remote kecil di sakunya lalu menekan remote itu hingga pintu gerbang otomatis itu terbuka. Ketiga adiknya berdecak kagum ketika menyadari pintu itu terbuka otomatis.
Dirga bisa melihat wajah Kenzo yang sangat terhibur.
“Ini rumah siapa bang?” tanya Ersha dengan mulut mungilnya yang lucu.
“Rumah kita,” ucap Dirga yakin.
“Bang?” panggil Sierra, Dirga menoleh dan tersenyum pada Sierra seraya mengangguk.
Kenzo menatap kakaknya dengan bingung. “Maksud Bang Dirga?”
Dirga tersenyum. “Kita akan segera pindah.”
Sierra dan Ersha sama-sama menoleh. “Kapan?” tanya Sierra.
Dirga menatap adik-adiknya dengan penuh kasih sayang. “Secepatnya, di rumah ini semua fasilitas sudah ada. Ada banyak kamar untuk masing-masing dari kalian.”
Kenzo tampak terkejut, begitu juga Sierra dan Ersha.
“Serius, Bang?” tanya Sierra dengan suara bergetar.
Dirga mengangguk. “Iya. Di sini kita enggak perlu tidur berdesakan, kita bisa bebas berjalan ke mana saja tanpa harus saling tabrak. Ayo turun,” ajak Dirga setelah menghentikan mobilnya.
Kenzo tiba-tiba memeluk Dirga erat. “Makasih, Bang.”
Sierra mengusap matanya yang mulai berkaca-kaca. “Akhirnya,” ucapnya dalam hati, dia tahu kakaknya pasti mendapatkan ini dari calon istrinya, satu sisi ingin menolak, dia lebih menyukai Intan.
Wanita itu hampir setiap hari datang ke rumah sakit menemaninya menjaga Kenzo ketika Dirga belum pulang kerja, membawakan mereka makanan dari hasil masakannya. Tapi ... Sierra sudah cukup besar untuk mengerti tentang balas budi.
Ersha, yang biasanya paling ceria, hanya bisa tersenyum lebar sambil menggenggam tangan Sierra ketika mereka semua berdiri menghadap ke arah rumah besar itu.
Dirga memeluk ketiga adiknya erat. “Kita akan punya kehidupan yang lebih baik. Abang janji.”
Dirga membuka pintu rumah itu, ketiga adiknya berhambur mengecek rumah itu, mereka tampak sangat antusias melihat-lihat hingga Sierra menghampirinya.
“Jadi kapan abang akan menikahi bu Avia?” tanya Sierra.
“Kak Avia, dia akan jadi kakak kamu juga,” ucap Dirga.
“Hmmm yaa kak Avia,” ralat Sierra.
“Akhir bulan ini, lusa dia akan mengajak kita untuk membeli barang-barang untuk kamar kalian yang masih kosong, bersikap baiklah sama dia Sierra, dia memang ketus, tapi dia baik,” ucap Dirga.
“Apa abang bahagia?” tanya Sierra.
“Kebahagiaan abang itu melihat kalian bahagia,” kekeh Dirga sambil merangkul Sierra.
“Bu Ikha?” tanya Sierra.
“Kenapa dengan dia? Hubungan abang dan dia hanya sebatas teman, dia orang yang asik diajak diskusi, enggak lebih.”
“Aku pikir abang menyukainya,” ucap Sierra sambil menggigit bibir bawahnya.
“Kamu ada-ada aja,” ujar Dirga sambil mengacak rambut adiknya.
“Ini… rumah kita?” tanya Ersha sambil berlari menghampiri Dirga dan memegang tangannya, seakan takut kalau ini hanya mimpi.
Dirga menatap mereka lama, lalu akhirnya mengangguk. “Iya, sekarang kita pulang dulu, karena lusa calon istri abang akan mengajak kita berbelanja untuk kebutuhan kamar. Nanti Ersha bisa pilih ranjang, lemari dan semua yang Ersha mau untuk kamar Ersha.”
Ersha berlari ke atas tangga dengan mata berbinar. “Beneran? Aku bisa punya kamar sendiri dan pilih semua barang untukku sendiri?”
Kenzo, yang masih lemah setelah menjalani pemeriksaan, hanya tersenyum kecil. “Rumahnya gede banget,” ucapnya lalu menoleh ke arah Dirga, “maksud abang dengan calon istri itu apa? Siapa?” tanya Kenzo yang memang tak tahu apa-apa. Sierra memutuskan untuk menghampiri Ersha dibanding mendengar kebohongan dari mulut kakaknya.
“Hmmm ingat abang pernah cerita tentang bos abang? Dia akan menjadi istri abang, dan rumah ini hadiah dari dia untuk kita,” ucap Dirga.
“Kenapa aku baru dengar kalau abang mau menikah? Pernikahan itu bukannya rumit ya? Harus pacaran dulu, lamaran, resepsi?”
“Kami menyederhanakannya,” kekeh Dirga menutupi getir.
“Abang jatuh cinta sama dia? Kok cepat banget bikin keputusan?” tanya Kenzo, dia sudah cukup besar untuk mengerti tentang cinta.
“Tentu,” jawab Dirga, “kalau enggak, mana mau abang nikah, cepat pilih kamar kamu, habis itu kita pulang karena kamu butuh istirahat,” ucap Dirga sambil tersenyum lebar. Di lantai atas, Sierra memandang abangnya dengan mata berkaca-kaca, dia menyeka sudut matanya. Dia hanya berharap istri Dirga nanti tidak terlalu menyulitkan hidup kakaknya. Meskipun mungkin tidak bisa membahagiakannya.
***