8. Seringai Kemenangan

1649 Words
Hari Minggu pagi.. Suasana di sebuah rumah sederhana itu tampak hening. Tidak ada celoteh manja dan tawa bahagia yang kerap kali terdengar dari dalam. Amelia sedang sibuk menyiapkan sarapan untuk putra satu-satunya. Sengaja dia tetap bangun pagi meski rasanya susah. Bos besarnya yang sangat narsis dan arogan itu terus mengingatkannya untuk tidak terlambat datang ke rumah mommy-nya. Tangan Amelia lincah bermain dengan peralatan masak. Dia ingin membuat sesuatu untuk Roni. Sup sosis pentol dan perkedel daging sepertinya cukup menggoda. Setelah semua siap, dia segera beranjak menuju kamar. "Anak bunda pintar sekali!" Amelia terkejut melihat putra satu-satunya itu sudah bangun dan tengah bermain bedak. Sprei kasur yang harusnya berwarna biru, berubah menjadi putih. Pantas saja Amelia tidak mendengar tangis atau suaranya sejak tadi. Rupanya Roninya ini sedang sibuk. Dengan cepat, Amelia mengangkat tubuh Roni dan membawanya ke kamar mandi. Sepuluh menit kemudian, tubuh Roni sudah bersih. Amelia segera memakaikan baju dan mendudukkannya di kursi anak di ruang makan. Sudah ada sarapan yang siap dinikmati olehnya. Tidak lupa, Amelia memakaikan kain bersih di kerah baju Roni agar tidak kotor. Setelah yakin aman untuk meninggalkan Roni sebentar, Amelia berlari ke kamar untuk membereskan kekacauan bedak tadi. Semua harus dilakukan dengan cepat. Jika tidak, Amelia takut Roni akan membuat huru-hara lain di meja makan. "Nda!" Suara Roni membuat Amelia menoleh dengan cepat. Untung saja, semua sudah beres. "Iya, Sayang," jawab Amelia sambil mengembalikan bedak ke tempatnya semula lalu segera berlari keluar. "Anak bunda, kenapa?" tanya Amelia setelah mengatur kembali nafasnya. "Mamam." Roni menunjuk bawah. Pandangan Amelia pun mengikuti. Rupanya sendok Roni terjatuh tepat di bawa kursinya. "Sendoknya jatuh? Bentar ya." Amelia mengambil sendok baru yang masih bersih lalu menyerahkannya pada Roni. Roni menerimanya dengan senyum lebar yang sangat lucu, lalu melanjutkan sarapannya Suara nada dering terdengar. Amelia sontak tersenyum lebar. Dia sepertinya tahu siapa yang tengah meneleponnya. Semalam, setelah mendapat teror dari sang bos, Amelia menghubungi Yasmin. Dia kembali meminta tolong pengasuh day care Roni untuk menjaganya hari ini. "Halo." "Hai, Amel. Aku sudah di depan rumahmu." "Hah?" Amelia bergegas ke depan untuk membuka pintu. Seorang wanita muda melambaikan tangannya di depan pagar dengan senyum yang sangat lebar. Amelia pun mematikan sambungan telepon dan membukakan pagar. "Masuklah! Roni sedang sarapan. Kamu sudah sarapan?" "Sudah. Apa anak menggemaskan itu sudah siap?" "Iya, maaf aku merepotkanmu lagi. Aku harus pergi ke rumah Nyonya Sandra." "Memangnya kamu mendapat tugas yang sangat berat?" "Entahlah. Dia tidak mengatakan apapun. Aku juga baru pertama kali ini diundang ke sana." Roni menoleh saat dia mendengar suara yang tidak asing di telinganya. Bibirnya langsung tersenyum lebar. Dilemparnya sendok ke sembarang tempat. Lalu tangannya ke atas seakan menyapa Yasmin. Yasmin sontak tertawa bahagia melihat tingkah lucu Roni. Gadis itu berlari kecil lalu mengangkat Roni begitu saja. Roni tertawa terbahak-bahak dibuatnya. Amelia ikut tertawa. Tawa bahagia sang putra telah menularinya. "Pergilah bersiap-siap. Aku akan menemani anak tampan yang lucu ini," ucap Yasmin. Amelia menoleh ke arah jam di dinding. Sudah hampir pukul delapan. Masih ada waktu untuk sarapan. "Aku akan sarapan sebentar sebelum berangkat." "Baik. Jika memang sudah waktunya berangkat, berangkatlah! Jangan sampai membuat nyonya besar menunggumu." Amelia mengangguk. Dia mengambil satu roti, mengolesnya dengan selai cokelat lalu memakannya. Tawa Roni kembali terdengar saat Yasmin menyerbu pipi tembemnya dengan banyak kecupan. Amelia pun terkekeh melihatnya. Sungguh, melihat Roni yang bisa tertawa seperti ini adalah impiannya. Inilah yang membuatnya bisa kuat dan bertahan dalam kehidupan yang keras ini. Amelia berjanji akan selalu berusaha yang terbaik untuk kebahagiaan Roni. -- Amelia memutar radio di mobil. Suara musik mengalun, menemani perjalanannya menuju rumah Nyonya Sandra, nyonya besar pemilik tempatnya bekerja. Perlahan, mobilnya mengarah ke sebuah perumahan elit. Saat melewati gerbang, seorang satpam menghentikan mobilnya. Amelia segera mematikan volume musik dan menurunkan jendela. "Mau bertamu ke rumah siapa?" "Ke rumah Nyonya Sandra, Pak." "Neng ini siapanya?" "Saya karyawannya, Pak." "Tunggu sebentar." Satpam tersebut berbalik kembali ke dalam posnya, lalu melakukan panggilan. Amelia bisa melihat pria itu bercakap-cakap sejenak sebelum mematikan panggilan. "Baik, Neng, boleh lewat." Satpam itu membuka portal dan mempersilakan Amelia lewat. "Terima kasih, Pak." "Sama-sama, Neng." Amelia kembali melajukan mobilnya. Matanya mencari-cari nomor rumah yang dituju. Perumahan ini merupakan salah satu perumahan elit yang ada. Semua rumah memiliki luas setidaknya 1000m persegi. Pagar-pagar yang tinggi dan kokoh menjadi pemandangan Amelia pagi ini. Untung saja tidak banyak rumah yang ada di kompleks ini, dan setiap pagar ditulisi juga dengan nomor rumahnya. Jadi, Amelia tidak memerlukan waktu yang lama untuk menemukan rumah yang dia tuju. Seorang pria berbadan tegap, memakai baju hitam, dan berambut pendek mendekati mobil Amelia. "Permisi, Pak. Saya Amelia. Mau bertemu dengan Nyonya Sandra," sapa Amelia dengan ramah. "Baik, Nyonya sudah menunggu Anda." Pria itu mengangkat tangannya memberi kode entah kepada siapa. Lalu tidak lama kemudian, pagar berwarna putih setinggi tiga meter itu bergerak. Pelan dan pasti, Amelia bisa melihat suasana hijau dan asri yang disuguhkan di halaman. Bunga-bunga bermekaran. Lampu-lampu taman tersebar di beberapa titik. Mata Amelia tampak berbinar melihat betapa indah apa yang ada di hadapannya. Bunda Roni itu jadi penasaran bagaimana cantiknya taman ini saat malam. Rumah itu begitu besar. Pilar-pilar kokoh tinggi menjulang. Jendela tinggi di setiap sudut rumah. Perpaduan warna putih dan emas membuat rumah di depannya ini tampak semakin mewah. Amelia memarkirkan mobilnya tidak jauh dari pintu utama. Saat turun dari mobil, dia mendengar seseorang memanggilnya. "Amelia?" Amelia menoleh dengan cepat. Di depan pintu, Sandra menyambutnya dengan senyum lebar. Sandra masih tampak cantik di usianya yang sudah tidak lagi muda. Kulitnya bersih dan sehat. Senyumnya lebar hingga ke matanya. Meski rambut mulai memutih, tapi tidak ada kusut sama sekali. Amelia yakin seorang istri pemilik perusahaan sebesar ABS Grup pasti memiliki anggaran yang luar biasa untuk merawat dirinya. Amelia bergegas menghampiri sang nyonya rumah yang langsung mendapat pelukan darinya. Ibunda Roni itu bisa mencium wangi parfum Sandra, sangat segar namun menenangkan. Rasa kagumnya pada Sandra semakin meningkat. "Selamat datang!" ucap Sandra setelah melepas pelukannya. "Terima kasih banyak, Nyonya." "Ayo masuk!" Sandra menggandeng Amelia memasuki pintu kayu yang besar. "Apa Sean sudah memberi tahumu kenapa aku mengundangmu kemari?" "Iya, Nyonya. Kalau tidak salah tentang memasak kue. Apa benar?" "Ya, aku sangat menyukai kue yang pernah kau bawa ke kantor waktu itu." Ingatan Amelia berkelana menuju saat di mana dia baru saja diterima kerja. Dia begitu bersyukur karena akhirnya bisa mendapat pekerjaan dengan gaji lumayan untuk biaya hidupnya dan putra semata wayangnya. Saat mendapat gaji pertama, Amelia sengaja membuat kue untuk dia bagikan kepada teman-temannya. Siapa sangka, wangi kue itu tercium oleh Sandra yang kebetulan lewat. Mommy Sean dan Sarah itu sontak menghentikan langkahnya dan mencari sumber wangi itu. Itu adalah saat pertama kali Amelia berkenalan dengan Sandra. Sandra yang ramah, tidak malu berteman dengan Amelia. Meski begitu, Amelia cukup tahu diri untuk membatasi dirinya. Sandra mengajaknya menuju sebuah sofa berwarna krem dengan ukuran yang besar. "Duduklah dulu di sini. Aku akan meminta pelayan kemari. Kamu bisa mengatakan apa saja bahannya, biarkan mereka yang menyiapkan." Amelia menurut. Dia duduk dengan tenang. Tangannya mengusap kulit sofa yang sangat halus itu. Ukuran sofa itu begitu besar hingga dia seakan tenggelam di dalamnya. Amelia tersenyum samar, membayangkan tubuhnya ditelan bulat-bulat oleh sofa ini. "CK! Kampungan!" Amelia langsung menoleh saat mendengar suara bariton penuh ejekan itu. Sayangnya, Amelia mengenal dengan jelas siapa pemiliknya. Senyum di bibirnya langsung menghilang. Matanya yang berbinar sontak meredup. Cahaya di wajahnya digantikan dengan raut datar. "Selamat pagi, Tuan." Amelia menyapa Sean tanpa repot memberinya senyum atau berdiri. Sean berdiri tidak jauh darinya. Tubuhnya yang tinggi dibalut dengan kaos polos dan celana jeans panjang. Rambutnya yang biasa rapi, kini tampak sedikit berantakan. Tampilan Sean yang lebih kasual seperti ini ternyata tidak kalah mempesona. Pimpinan tertinggi ABS Grup itu masih saja memanjakan mata. Dia tampak lebih santai dan menggoda. Namun semua itu masih saja mengesalkan di mata Amelia. Imej buruk yang sudah terlanjur melekat sulit untuk diubah. Sean menatap Amelia tanpa kedip, mencoba menilai penampilan staf sekretarisnya kali ini. Celana jeans panjang dan atasan dengan aksen kerutan di leher membuat penampilan Amelia tampak lebih segar. Apalagi kini rambutnya dibiarkan lurus tergerai hingga ke punggungnya. Sean hampir saja tergoda jika saja dia tidak melihat betapa dingin kedua mata wanita itu. Dalam sekejap, bayangan keindahan Amelia sirna. Rasa kesal kembali menguasai hatinya. "Jangan sampai kamu merusak sofa itu! Harganya jauh lebih tinggi dari gajimu satu tahun." Amelia sontak berdiri. "Maaf, Pak," sahut Amelia enteng. Tidak ada kesal, marah, atau geram. Sean sama sekali tidak melihat riak emosi yang bisa terbaca di matanya. Hal ini tentu saja membuat hatinya menjadi kesal. Senjata makan tuan. Niat hati ingin membuat Amelia marah atau gusar, malah dia sendiri yang terkena imbasnya. Sial!!! "Kamu ini memang suka sekali bikin orang kesal! Suka membantah! Lihatlah penampilanmu yang jelek itu! Bikin mata saya sakit!" "Maaf, Pak. Lebih baik Anda menjauh dari saya agar mata Anda tetap terjaga." "Kamu!!" Sean menunjuk ke arah Amelia dengan geram. "Benar kata saya. Kamu memang suka membantah atasan! Awas saja kalau sampai....." Sean langsung menghentikan ocehannya dan menurunkan tangannya saat mendengar suara langkah mendekat. "Sean sayang, sudah bertemu dengan Amelia?" Suara Sandra terdengar lembut dan ramah. Sean sontak mengubah raut wajahnya. Senyum lebar terlukis indah di wajahnya. "Sudah, Mommy." "Kenapa kalian berdua berdiri? Sean tidak baik membiarkan tamu berdiri lama. Seharusnya kamu memintanya duduk kembali." Sean tersenyum kikuk. Diliriknya Amelia. Wanita itu ternyata tengah menatap sang mommy dengan senyum lebar yang mempesona. Jika saja Sean tidak ingat betapa pedas lidah Amelia, sudah pasti dia pasti akan mengaguminya. "Tidak apa-apa, Nyonya. Saya takut akan mengotori sofa atau merusaknya jika duduk terlalu lama," sahut Amelia dengan senyum malu-malu. Wajah Sean sontak memerah. Jelas-jelas wanita ini tengah menyindirnya. Kurang ajar! Awas saja!! Dia berjanji akan membuat perhitungan dengan wanita ini. Tidak peduli jika mommy-nya menyukai dia. "Bicara apa kamu ini? Jangan bercanda! Ayo duduk! Sebentar lagi pelayan datang. Serahkan catatanmu agar dia yang membeli." "Baik, Nyonya," jawab Amelia. Dengan ekor matanya, dia melirik ke arah Sean. Tatapan mereka bertemu. Amelia menyeringai penuh kemenangan sedangkan Sean tampak membara menahan amarah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD