Sean mundur dengan tiba-tiba dan merapikan duduknya. Dia tidak lagi menatap Amelia. Pandangannya lurus ke depan.
"Ke mana kita setelah ini?" Suara Sean kembali normal. Tidak ada seringai atau nada genit. Rupanya bos besarnya ini sudah kembali pada mode pemimpin.
Amelia cukup kagum dengan kemampuan bosnya yang bisa mengubah wajah dan suaranya dengan cepat. Bunda Roni itu berdehem sejenak untuk membasahi tenggorokannya. "PT. Indo Jaya, Pak."
"Hmm."
Sean memberi tahu sopir ke mana mereka harus pergi. Setelah itu, tidak ada lagi suara yang terdengar. Sean sibuk dengan ponselnya. Amelia tidak tahu apa yang dibaca pria itu. Namun, konsentrasi Sean sama sekali tidak berpindah. Pria itu terus fokus dengan apa yang ada di sana. Sesekali, Amelia melihat tangan-tangannya mengetik.
Serius sekali!
Amelia tidak ingin ambil pusing. Dia pun membuka tablet Budi dan mulai mempelajari materi pertemuan kali ini. Sebenarnya, acara siang ini tidak bisa dikatakan sebagai pertemuan, melainkan sidak mendadak.
PT. Indo Jaya adalah salah satu anak perusahaan ABS Grup yang bergerak di bidang penyewaan alat-alat berat. Budi dan bos besarnya ini mensinyalir adanya indikasi kecurangan. Beberapa kali, Amelia memang sempat membaca laporan yang masuk. Dia juga melihat beberapa keganjilan dan sudah melaporkannya pada Gilang yang akan diteruskan kepada Budi atau bos besar langsung.
'Bagus kalau disidak langsung seperti ini. Jangan sampai kecurangan ini nantinya akan menjadi kebiasaan yang mengancam keberlangsungan perusahaan.'
Lewat ekor matanya, Amelia melirik pria yang duduk di sampingnya. 'Sayang sekali jika pria hebat ini ternyata mata keranjang dan suka bermain wanita. Padahal saat memimpin perusahaan, dia bisa menjadi sangat tegas, berwibawa, dan semua kalimat yang keluar dari bibirnya begitu berbobot dan menunjukkan kecerdasannya.'
"Jangan terus melirikku! Aku pastikan kamu akan jatuh cinta," ucap Sean dengan tenang tanpa menoleh sedikitpun.
Amelia sontak mendengkus. Dia langsung memasang wajah datar dan juteknya, mencoba menutupi rasa terkejutnya.
"Memangnya siapa yang melirik siapa?" tanyanya sinis lalu membuang pandangannya keluar.
Dalam hati, Amelia merasa sangat terkejut dan gugup. Jantungnya berdebar tidak karuan. Dia sama sekali tidak menyangka jika Sean bisa tahu jika dia tengah meliriknya.
Bagaimana mungkin? Apa mungkin dia bisa melihat melalui kepalanya?
Amelia mendengkus. Lagi-lagi, dia merasa menyesal telah memuji kehebatan seorang Sean Wijaya Putra Ghani jika ujung-ujungnya dia selalu narsis dan sombong.
Perjalanan menuju PT. Indo Jaya memakan waktu hampir satu jam. Sebenarnya, Amelia sudah mulai merasa lapar. Maklum saja, sekarang memang waktunya makan siang. Namun, dia tidak mungkin mengatakannya. Lihatlah, bos besarnya itu sekarang sedang melangkah dengan pasti dan lebar memasuki kantor anak usahanya. Amelia terpaksa menahan lapar dan mengekori bosnya.
Amelia melihat seorang pria berjalan tergesa-gesa menyambut kedatangan mereka. Wajah terkejutnya tampak jelas. Bibirnya pucat. Namun, dia berusaha menyembunyikannya dengan senyum lebar. Pria yang Amelia tidak tahu namanya itu mengulurkan tangannya dan mengantarkan Sean ke ruangan meeting di lantai atas.
Rupanya, pria yang menyambut mereka di lobi tadi adalah salah satu jajaran direksi, sedangkan direktur utamanya sedang tidak ada di tempat tanpa alasan yang jelas. Amelia bisa melihat betapa gelap wajah bosnya. Auranya begitu mencekam.
Sean tidak ingin membuang waktu. Dia segera menginterogasi semua orang yang bermasalah. Ruangan meeting itu berubah menjadi ruang pengadilan dalam waktu singkat.
Selama ini, Amelia tidak pernah berhubungan langsung dengan Sean terkait pekerjaan. Amelia hanya berhubungan dengan Gilang, selaku sekretaris utama, dan Budi, sebagai asisten pribadi bos. Hari ini adalah pertama kalinya Amelia melihat langsung bagaimana Sean melakukan pekerjaannya.
Lagi-lagi, Amelia mengagumi cara kerja Sean. Cara pria itu mengambil kesimpulan dan keputusan begitu tegas dan tepat sasaran. Dia bahkan bisa mengingat naman-nama semua "tersangka" yang ada di sini.
Benar-benar cerdas!
Well, setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan. Meski Amelia mengakui kehebatan seorang Sean Wijaya Putra Ghani, tapi jangan harap jika dia akan masuk dalam grup Sean's Fans.
Tidak! Amelia akan menjaga kewarasannya tetap nomor satu.
Setelah tiga jam, semua urusan di anak perusahaan ini selesai sudah.
"Saya menunggu laporan lengkap paling lambat besok pukul sembilan. Jika ada yang lebih dari jam itu, tidak perlu repot-repot berangkat lagi ke kantor. Audit akan segera dilaksanakan satu minggu lagi. Apa semua sudah mengerti??" Sean mengedarkan pandangannya, menata tajam ke dalam setiap pasang mata yang ada di hadapannya.
"Baik, Pak."
"Mengerti, Pak."
Tidak ada yang bisa dilakukan oleh karyawannya selain mengangguk.
Sean segera bangkit dan keluar dari ruangan itu. Meski dia mulai merasa lelah, tapi dia tidak bisa bersantai.
Amelia langsung mengambil langkah di belakangnya. Dia bersyukur memakai celana panjang. Jadi, dia bisa menyesuaikan langkahnya dengan si bos.
"Ke mana kita setelah ini?" tanya Sean pada staf sekretarisnya sambil melonggarkan dasinya.
Mereka sedang berada di dalam lift untuk turun.
"Janji temu sore ini batal, Pak. Tadi Pak Budi memberi informasi. Begitu juga dengan undangan makan malam nanti."
"Jadi, hanya tinggal rapat virtual dengan anak cabang?"
"Benar, Pak. Apakah Anda ingin mengajukan jamnya atau tetap pukul enam nanti?"
"Majukan saja! Beri tahu mereka satu jam lagi dimulai!"
"Baik, Pak!"
Amelia segera mengirim pesan pada seluruh peserta rapat virtual sore ini tentang perubahan itu.
Denting lift terdengar, menandakan pintu akan terbuka. Amelia segera memasukkan kembali tablet ke dalam tasnya.
Mereka sudah tiba di basemen. Mobil Sean berada tepat di samping lift. Sopir rupanya sudah menuggu. Pria paruh baya itu segera membukakan pintu untuk majikannya. Sean pun masuk diikuti oleh Amelia.
"Kita mampir ke drive thru yang biasa," ucap Sean pada sopir saat mulai menjalankan mobil.
"Baik, Tuan."
"Kita Drive thru?" Amelia tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Seorang Sean, penerus perusahaan multi nasional yang sudah mendunia memilih Drive thru?
"Kenapa? Kamu tidak suka drive thru?" Sean mengernyit.
"Tidak, Pak. Tidak masalah." Amelia sering melakukannya jika bersama Roni. Dia hanya tidak percaya kalau bos besarnya yang angkuh, narsis, dan serigala wanita ini juga bisa menelan makanan dari restoran fast food.
Baiklah, Amelia tersenyum lebar. Dia merasa diuntungkan dengan keputusan Sean barusan.
"Kamu lapar, 'kan?' Sean melirik Amelia penuh curiga.
Amelia mengangguk. Siapa juga tidak lapar setelah rapat seharian ini?
"Saya tidak suka mampir ke restoran jika jadwal padat seperti ini. Memakan waktu, ribet!"
Lagi-lagi, Amelia mengangguk setuju.
Sean menoleh karena pegawainya ini tidak menjawab pertanyaannya dan hanya mengangguk saja. "Kamu mengerjakan apa?"
Sean mengintip. Dia penasaran.
"Hmm? Ini, saya sedang membuat laporannya," jawab Amelia. Bunda Roni itu mendongak sebentar, menampilkan senyum bahagianya, lalu kembali fokus dengan ponselnya.
Sean masih memperhatikan Amelia. Staf sekretarisnya itu tengah mengetik lewat sebuah aplikasi di ponselnya. Di depannya juga ada buku catatan yang terbuka. Gerakan tangan Amelia saat mengetik begitu cepat. Sean belum pernah melihat ada seseorang yang bisa mengetik secepat itu.
Mata Sean kini beralih memperhatikan wajah Amelia. Sean baru menyadari kalau ternyata ujung hidung Amelia begitu lancip jika dilihat dari samping seperti ini. Rambutnya lurus dan wangi. Bibirnya memiliki bentuk seperti hati. Tidak tebal seperti Angelina Jolie dan tidak setipis Ami Schumer. Bentuknya pas. Namun, kata-kata yang keluar lebih pedas daripada sambal jalapeno.
Sean tersenyum tipis. Wanita itu ternyata lumayan jika sedang serius seperti ini.
Amelia berulang kali mengucap syukur pada Tuhannya. Pasalnya, hari ini dia tidak akan pulang terlambat karena dua agenda yang dibatalkan itu.
Amelia tidak ingin pulang terlalu malam. Itu sebabnya, dia harus mulai mengerjakan laporannya. Jika dia berhasil mengerjakannya selama di jalan, itu berarti, dia hanya perlu mengerjakan satu lagi saat di kantor nanti.
"Kamu sepertinya bahagia."
Amelia tidak mengerti arah pembicaraan bosnya. Dia pun mendongak. "Maksud Bapak?" Keningnya berkerut.
"Kenapa kamu tidak beristirahat dan mengerjakan laporannya nanti di kantor?"
"Saya tidak ingin menunda agar pulang tidak terlalu larut, Pak. Jika saya bisa menyelesaikan keduanya dengan cepat, saya hanya kurang mengerjakan satu laporan lagi." Senyum Amelia begitu lebar.
Sean sontak mengingat kejadian tadi pagi yang sudah mulai dia lupakan. Dia jadi ingat kenapa Amelia yang menemaninya seharian ini, bukannya Budi. Perlahan, wajah kesalnya mulai mengambil alih.
Kenapa dia gagal lagi mengerjai janda ini???