Amelia menghempaskan tubuhnya ke atas kursi begitu saja. Wanita itu mendengkus dengan keras lalu menjatuhkan kepalanya di atas meja.
"Sabar, Meli. Sabar. Kamu pasti bisa. Ayo semangat!" Amelia berusaha menyemangati dirinya sendiri. Di bawah meja, dia mengepalkan kedua tangannya untuk memberikan suntikan semangat.
Ibunda Roni itu mengangkat kepalanya dengan mata penuh kobar semangat. Namun sedetik kemudian, dia kembali menjatuhkan kepalanya ke atas meja.
"Aku tidak bisa. Ya Tuhan, kenapa aku tidak dipecat saja? Kenapa sih dia tidak bisa seperti ayahnya?? Jika bukan karena Tuan Ghani dan Nyonya Sandra, sudah pasti aku akan mundur dari perusahaan ini!"
Amelia masih saja berbicara sendiri, mengeluarkan ganjalan-ganjalan di hatinya. Dia sama sekali tidak mengindahkan tatapan aneh dari Gilang dan Santi.
"Kamu bikin ulah apa lagi sampai-sampai si bos sama sekali tidak ingin aku temani?"
Sebuah suara menginterupsi Amelia. Dia segera mendongak. Rupanya asisten sang bos datang sambil membawa tablet di tangannya. Amelia segera memperbaiki duduknya.
Alih-alih menjawab pertanyaan Budi, Amelia justru bertanya hal lain. "Apa itu tugas dan jadwal Pak Sean hari ini?"
Budi mengangguk. Pria itu menatap iba pada staf sekretaris satu ini. "Kamu pasti pulang terlambat. Hari ini ada banyak sekali jadwalnya."
Budi meletakkan tablet itu ke atas meja. "Lihat! Hari ini ada tiga rapat dan dua undangan."
Budi menerangkan apa-apa saja terkait tugas-tugasnya selama satu hari ini. Dengan terpaksa, Amelia mendengarkan dan mencatatnya di bukunya sendiri.
"Kamu sudah mengerti?" Budi menatap Amelia dalam-dalam.
Amelia mengangguk. Meski dia masih belum bisa menumbuhkan semangatnya, tapi dia harus memaksa diri. Tidak mungkin dia terus mengeluh dan menggerutu.
"Saya sudah paham, Pak."
"Bagus, kamu bisa bersiap mulai sekarang. Ingatkan Tuan Sean maksimal lima menit sebelum jadwalnya. Jangan lupa!"
Amelia kembali mengangguk.
"Semangat! Saya yakin kamu pasti kuat dan bisa!' Budi menepuk pundak Amelia, memberikan semangat untuknya. Dalam hati, Budi hanya bisa berdoa semoga saja bos besarnya tidak rewel dan menyusahkan Amelia.
Setelah kepergian Budi, Amelia segera bersiap. Dia memasukkan beberapa barang pentingnya, seperti ponsel, dan buku catatan kecilnya.
"Psst! Hei Mel." Santi memanggilnya pelan. Gadis itu mencondongkan tubuhnya ke arah meja Amelia, tapi matanya mengawasi pintu sang bos besar.
Amelia menoleh. Alisnya terangkat satu. Tanpa membuka mulut dan bersuara, dia seakan bertanya ada apa.
"Kenapa Pak Budi menyerahkan tugasnya padamu? Kamu dapat promosi?" tanyanya penasaran.
Amelia melotot lalu mencoba tersenyum. "Nggak, tugas dia lagi banyak. Jadi, Pak Sean suruh dia minta tolong orang lain."
Amelia tidak mungkin mengatakan kalau dia tadi pagi baru saja bersitegang dengan bos besarnya itu. Santi termasuk fans Pak Sean meski tidak sampai menggilai. Jika Amelia mengatakan yang sebenarnya, bisa jadi Santi akan membocorkannya di grup WA.
"Yahh, kenapa begitu? Padahal kamu sangat hebat saat mengetik. Ketikan sebanyak apapun, kamu bisa mengerjakannya dengan mudah dan rapi. Kamu sudah pantas dipromosikan."
"Kamu nggak ingin dapat promosi?"
"Nggak lah, aku cukup tahu diri. Kemampuan mengetikku itu standar aja. Diterima jadi sekretaris di sini sudah beruntung banget." Sinta mengatakannya dengan enteng, tanpa beban. Seolah-olah dia tidak sedang membicarakan kekurangan dirinya.
Tiba-tiba saja, suasana berubah menjadi sangat dingin dan hening. Amelia berdiri dan menoleh, menatap sekitarnya. Tidak ada yang aneh hingga matanya bertemu dengan mata kelam sang pemimpin perusahaan.
Sean tengah menatapnya dengan tajam. Tatapannya begitu mengintimidasi. Dengan satu tangannya di dalam saku celana, pria yang memang sejatinya tampan itu berjalan mendekati meja Amelia.
Santi segera fokus pada pekerjaannya kembali. Gadis itu sama sekali tidak mendongak. Dadanya bergemuruh melihat pemimpin perusahaan berjalan menuju meja di sampingnya. Gugup dan takut bercampur menjadi satu.
Sean sudah berdiri tepat di depan meja Amelia. Matanya menelisik, mengamati penampilan karyawannya ini yang dinilainya terlampau biasa, celana panjang dan kemeja longgar yang panjangnya sampai setengah pahanya.
'Ck! Bagaimana mungkin dia menemaniku dengan penampilannya yang begini?'
Namun, bukan itu saja yang mengganggu pikiran Sean.
Amelia merasa risih diperhatikan seperti itu. Dia seperti tengah ditelanjangi oleh pria satu ini. Tangannya mengepal. Meskipun Sean sudah tidak asing dengan bentuk tubuh wanita, bukan berarti dia bisa melakukan itu padanya.
"Apa Bapak mau berangkat sekarang?" tanya Amelia. Suaranya begitu datar, tanpa emosi. Namun, matanya berkata lain. Kedua maniknya berkilat.
Sean menyadarinya. Dia bisa melihat emosi tebal mengelilingi tubuh Amelia. Entah kenapa, Sean suka melihatnya. Namun, dia tidak akan menunjukkan senyumnya pada Amelia. Huh, bisa-bisa nanti dia besar kepala.
"Kamu pikir?? Kita sudah hampir terlambat gara-gara kamu." Sean berlalu dari hadapan Amelia dan berjalan ke arah lift.
Amelia tidak terima jika dia dituduh sebagai alasan keterlambatannya. Dengan hati dongkol, wanita itu segera meraih tasnya dan menyusul sang bos. Untung saja dia memakai celana, jadi dia bisa melangkah lebar dan menyusul.
"Apa Budi tidak memberi tahumu tentang tugas-tugasnya?" tanya Sean dengan nada sinis. Pria tampan itu bahkan tidak menoleh dan terus menatap ke lurus ke arah pintu lift.
"Iya, Pak Budi sudah memberi tahu saya, Pak."
"Jadi, kamu sadar kalau kita terlambat?"
Itu lagi yang dibahas! Amelia jelas tidak ingin disalahkan. Kenapa pula dia jadi alasan terlambat? Bukannya pertemuan ini baru dimulai pukul sembilan? Amelia menarik tangannya untuk melihat jam di sana.
Pukul 8.40!
Hah??? Mata Amelia membelalak. Kurang dua puluh menit lagi? Padahal pertemuan ini akan dilaksanakan di luar kantor. Apa cukup perjalanan dua puluh menit ini?
Amelia menggigit bibirnya yang bawah. Raut datar yang tadi ditampilkannya menghilang. Matanya dilingkupi kecemasan dan rasa bersalah.
Amelia melirik takut ke arah bosnya.
Sean masih saja cuek. "Sudah tahu kesalahanmu?"
Amelia mengangguk pelan. "Maaf, Pak."
Rupanya tadi dia menggerutu terlalu lama, ditambah lagi dengan mengobrol dengan Santi. Sudah tentu dia penyebab terlambat. Dia sama sekali tidak menyadarinya.
"Hubungi pihak klien! Beri tahu mereka kalau kita sedikit terlambat. Dan tolong jangan melakukan apapun lagi yang bisa merugikan perusahaan." Suaranya begitu tajam penuh penekanan.
Amelia tidak berkutik. Dia menyadari kesalahannya. Pertemuan pagi ini begitu penting. Tidak seharusnya dia lalai.
Tepat saat Sean selesai mengatakan itu, pintu lift terbuka. Pimpinan ABS Grup itu langsung masuk, diikuti oleh staf sekretarisnya.
Amelia yang biasanya selalu berani pada Sean, kali ini menciut. Selain karena dia merasa bersalah, Amelia menyadari aura yang dikeluarkan oleh Sean kali ini berbeda. Pria ini sedang berada dalam mode pemimpin, begitu mengintimidasi dan kuat.
Amelia sengaja menjaga jarak dari bos besarnya. Dia berdiri jauh di belakang. Tangannya segera membuka tablet yang sengaja ditinggalkan Budi untuknya dan mencari nama kontak klien pagi ini. Setelah menemukannya, dia segera menghubungi mereka dan memberitahukan keterlambatan mereka.
Acara pertemuan kali ini berada di sebuah resto hotel. Sean tidak membuang waktu. Dia segera turun dan melangkah masuk tanpa menunggu karyawannya. Amelia kembali melirik jam di tangannya. 9.35. Amelia memejamkan matanya lalu segera menyusul bosnya dengan langkah lebar.
Tiba ruang pertemuan, dua orang pria dan satu wanita sudah menunggu kedatangan mereka.
Amelia melihat jika wanita yang di sana adalah pimpinan mereka. Wanita itu sungguh cantik. Rambutnya panjang sebahu. Tampak lurus dan sangat lembut.
Bulu matanya lentik menggoda. Senyumnya manis membuat siapa pun terpana. Amelia bisa melihat bagaimana rakusnya wanita itu saat menatap pimpinannya. Sebagai seorang wanita dewasa dan pernah menikah, dia tentu tahu apa yang berada di dalam otak kecil itu.
Hmm, bahkan parfum mahalnya bisa tercium dari jarak dua meter.
Sean kembali meminta maaf sebelum pertemuan dimulai. "Maafkan keterlambatan kami." Sean mengulurkan tangannya sambil melirik ke arah Amelia.
Amelia tersenyum canggung.
Wanita cantik itu menyambut uluran tangan Sean dengan cepat. Senyumnya semakin lebar. "Tidak perlu meminta maaf. Sesuatu bisa saja terjadi."
Oh, betapa mulia hati pimpinan wanita ini. Amelia merasa bersalah sekaligus jengah melihatnya. Terlihat sekali jika dia mencoba menarik perhatian Sean.
Pertemuan pun dimulai. Tidak ada negosiasi alot. Semuanya lancar dan saling menguntungkan. Sean masih dalam mode pemimpin. Kalimatnya jelas dan tepat sasaran. Visi misi perjanjian ini jelas dibicarakan.
Amelia melirik Sean.
Pria itu tampak fokus. Auranya kuat. Matanya tampak mengintimidasi. Sesekali, keningnya berkerut.
Amelia menghirup nafas dalam-dalam. Sean yang seperti ini mirip dengan ayahnya. Rasa kagum untuk Sean perlahan muncul di hatinya.
Ternyata, dia benar-benar bisa menjadi pemimpin yang bertanggung jawab.
Amelia mencatat setiap detail yang diperlukan. Telinganya dibuka lebar-lebar untuk menangkap poin-poin perjanjian. Setelah dua jam, pertemuan itupun selesai.
Sean, Amelia, dan tiga rekan kerja mereka berdiri. Sean berjalan di depan bersama wanita cantik itu. Amelia dan dua pria lainnya mengekor di belakang.
"Apa ada hal lain yang harus Anda lakukan setelah ini?" Suara wanita itu begitu lembut. Matanya menatap Sean penuh arti.
"Mungkin kita perlu mampir ke suatu tempat. Kau tahu, untuk melepas penat sejenak sebelum kembali ke kantor," lanjutnya.
Amelia mengangkat satu alisnya. Dia tidak menyangka jika wanita ini akan terang-terangan mengajak Sean. Dia menoleh ke arah dua pria di sampingnya. Mereka berdua hanya diam dan tidak memperhatikan pimpinan mereka. Atau mereka hanya berpura-pura?
Amelia bisa melihat Sean tersenyum lebar. Matanya melirik nakal. Tangannya tiba-tiba diangkat dan jatuh tepat di pinggul wanita itu. "Maaf, hari ini jadwalku penuh sampai malam."
"Sayang sekali." Wajah wanita itu tampak murung. Amelia bisa melihatnya dengan jelas dari belakang.
"Tapi, mungkin kita bisa mengaturnya kapan-kapan," tambah Sean.
Amelia bisa melihat pimpinannya itu sengaja meremas pinggul itu sedikit membuat si wanita berjengkit kaget.
Pipi wanita itu sontak memerah. Senyumnya malu-malu.
Perut Amelia mendadak mual melihat Sean kembali pada mode serigala wanita. Rasa jijik menguasai hatinya. Jika saja dia tidak memiliki etika, sudah bisa dipastikan Amelia akan segera berlari menuju toilet dan memuntahkan isi perutnya di sana.
Ini benar-benar menjijikkan!!
Baru tadi Amelia memuji betapa hebat Sean saat rapat. Ternyata, kebiasaan buruknya tidak benar-benar hilang.
Bunda Roni itu mendengkus. Dia tidak bisa membayangkan jika satu hari ini dia akan melihat kembali Sean dalam mode serigala wanita.
--
"Kenapa cemberut begitu?" tanya Sean di dalam mobil.
Mereka duduk di belakang. Amelia sengaja duduk tepat di samping pintu, mengambil jarak sejauh mungkin dari serigala wanita itu.
Amelia menoleh ke samping. "Maaf? Siapa yang cemberut, Pak?"
"Tadi saat masuk ruangan, wajahmu biasa saja. Tidak menjengkelkan seperti biasanya. Kenapa saat rapat selesai kamu jadi jutek lagi? Kamu PMS?"
Amelia memicingkan matanya. Dia sama sekali tidak menyukai percakapan ini. "Tidak, Pak," jawabnya sambil membuang pandangannya keluar.
"Setelah dipikir-pikir, kamu berubah saat kita semua berjalan keluar. Apa kamu cemburu melihat aku dirayu seperti itu?"
Amelia langsung menoleh. Rahangnya mengetat. Matanya seakan mengobarkan api. "Saya tidak cemburu. Saya bahkan tidak peduli jika semua wanita menggoda Anda!"
"Ya, apa mau dikata? Wajahku memang sangat istimewa hingga membuat semua wanita menoleh." Sean terkekeh.
Amelia memutar bola matanya. Ternyata bosnya ini selain arogan dan angkuh, dia juga narsis dan sok kecakepan. "Untungnya, aku tidak termasuk," ucapnya lirih.
"Oh iya?"
Tanpa dia sadari, Sean sudah menggeser duduknya tepat di sampingnya.
Amelia tersentak. Dia menoleh dengan cepat.
Wajah Sean berada tepat di depannya. Hanya beberapa senti saja jarak mereka. Dari jarak sedekat ini, Amelia bisa melihat dengan jelas kulit Sean yang bersih. Hidungnya mancung dan menggoda. Matanya tajam penuh intimidasi.
Amelia tidak berani bergerak. Jika dia menoleh, dia yakin pipinya akan menjadi korban. Dia juga tidak bisa mundur karena tubuhnya sudah berada tepat di sisi pintu.
Amelia mengerjapkan matanya. Nafasnya memburu. Dadanya berdebar sangat kencang.
"Kamu tahu?" Sean menjepit dagu Amelia, membuat wanita itu semakin tidak berkutik.
"Aku jadi sangat menantikan saat kau bertekuk lutut di depanku. Aku ingin mendengar mulutmu yang ketus itu memanggil namaku saat kita berada di atas kasur. Betapa merdunya."
Suara Sean begitu dalam dan berat. Matanya mengunci Amelia dengan kuat.
Tiba-tiba, Amelia merasa tenggorokannya mengering tanpa sebab. Sarafnya bergetar. Meski begitu, Amelia tetap mempertahankan wajah datarnya. "Dalam mimpimu, Tuan Sean. Dalam mimpimu!' jawabnya yakin.