[Aku ingin sarapan balado telur dengan sayur sop dan udang.]
Pesan itu masuk saat Amelia sedang di dapur, menyiapkan teh dan satu botol s**u untuk putranya yang masih tertidur. Tumben sekali pria sombong ini mengiriminya pesan saat masih pagi begini.
Amelia mengerutkan keningnya saat membaca pesan yang masuk di ponselnya pagi itu. Dia tidak salah membaca, ‘kan? Bosnya yang sok itu menginginkan menu rumahan seperti ini? Namun, berapa kali pun dia mengulang, kalimat yang dia baca tidak berubah.
[Jangan sampai lebih dari jam delapan!]
Pesan kedua yang masuk membuatnya yakin seratus persen jika Sean Wijaya Putra Ghani yang terkenal playboy dan casanova sejati ini benar-benar menginginkan balado telur dan sop!
Amelia terkekeh. Ternyata orang kaya yang satu ini juga menyukai menu rumahan seperti ini sama seperti dirinya dan putra tercintanya. Wow! Amelia tidak menyangka sama sekali. Baiklah, kebetulan sekali dia mengetahui sebuah depot makanan yang menjual menu-menu ini tidak jauh dari rumahnya.
“Nda-da...” Suara lucu seorang balita berumur tiga tahun membuat Amelia menoleh dengan cepat.
Di depannya, Roni memeluk kaki sang bunda dan meletakkan dan kepalanya di atas lututnya dengan manja.
“Halo, Sayang. Selamat pagi.” Amelia menyapa sang buah hati dan mengangkatnya agar bisa memangkunya.
“Anak bunda pintar, bangun tidur langsung keluar kamar dan tidak ada acara menangis,” lanjut Amelia sambil menciumi pipi Roni yang bulat.
Roni tertawa geli diserbu ciuman sebanyak itu. Suara tawa itu terdengar di seluruh rumah minimalis yang mereka tempati.
Amelia puas mendengar tawa renyah dari sang putra. “Ayo mandi dulu!” ajaknya setelah melihat jarum jam sudah berada di angka enam.
Roni segera turun dari pangkuan sang bunda dan berlari ke kamar mandi. Bermain air adalah salah satu hal yang disukai Roni. Dia suka berlama-lama bermain di kamar mandi. Hal itu tentu saja menguntungkan bagi Amelia. Dia tidak perlu repot menjalani drama mandi pagi.
Ibu dan putranya sudah berganti baju tiga puluh menit kemudian. Roni tampak lucu dengan celana pendek, kaos polo, dan topi yang semuanya dominan berwarna biru. Amelia sendiri masih setia dengan celana panjang dan kemeja serta rambut yang dikuncir kuda. Sederhana dan rapi. Dia tidak perlu dandan berlebihan. Toh, tidak ada yang akan tertarik padanya.
Amelia sudah menyiapkan roti dan telur untuk sarapan mereka. Roni yang pintar langsung menghabiskan semua yang disiapkan sang bunda untuknya. Sesekali, Amelia mengelap pipi dan bibir putranya yang kotor. Setelah menyelesaikan sarapan, Amelia segera membereskan meja dan mereka pun berangkat.
Roni duduk dengan tenang di samping sang bunda di atas car seat. Mulutnya tidak berhenti bertanya dan bercerita tentang apapun. Amelia menanggapi semua celoteh cadel itu sambil terus mempertahankan senyumnya.
Inilah yang disukai Amelia saat berdua dengan putranya di atas mobil. Dia tidak perlu memutar radio untuk menghalau kebosanan. Meskipun terkadang Amelia lelah menjawab semua pertanyaan sang putra, namun Amelia sadar, cepat atau lambat Roni akan tumbuh dan memiliki teman. Jika saat itu tiba, dia harus bersiap jika sang putra lebih memilih untuk bercerita kepada teman daripada dengannya.
Setelah mengantarkan Roni sampai ke tangan Yasmin, Amelia bergegas menuju depot makanan untuk membelikan pesanan bos angkuhnya lalu berangkat ke kantor.
Amelia menggigit bibirnya yang bawah saat dia melihat ada banyak karyawan yang sedang antri di depan lift. Dalam hati, dia berharap tidak terlambat mengantarkan makanan ini. Jika tidak, Amelia tidak tahu bagaimana pedasnya hukuman dan kata-kata yang akan dia terima.
‘Orang angkuh dan sombong macam dia akan selalu punya cara untuk menyakiti orang lain. Huh!’
Amelia menghembuskan nafasnya dengan kasar.
Namun agaknya, Tuhan sedang berbaik hati padanya. Dia beruntung karena saat pintu lift terbuka, dia terdorong beberapa kali hingga mempunyai kesempatan untuk memasuki lift meski berdesakan.
Matanya yang cantik melirik ke arah jam di atas pintu lift. Seketika itu juga, dia langsung menghembuskan nafasnya lega. Dia masih memiliki lima belas menit sebelum pukul delapan.
Dia sungguh beruntung!
Saat lift tiba di lantai paling atas, Amelia segera keluar. Kakinya melangkah lebar dan cepat menuju mejanya untuk meletakkan barang-barangnya. Suara sepatunya yang bertemu dengan lantai marmer itu menggema, membuat beberapa pasang mata menoleh ke arahnya.
“Hai, kamu terlihat terburu-buru,” sapa Gilang dari mejanya.
Ah, sekretaris senior ini memang cukup baik dan banyak membantunya. Gilang juga sangat cerdas dan cekatan dalam bekerja. Kemampuan mengetiknya juga luar biasa. tidak salah jika dia sudah menjabat sebagai sekretaris selama lima tahun.
Amelia tersenyum kecut. “Makhluk itu minta dibelikan sarapan lagi pagi ini.”
Gilang terkekeh mendengar kalimat bawahannya. “Yang kamu bilang makhluk itu adalah bos kita, pria tampan idaman banyak wanita.”
“Tapi, aku tidak termasuk.”
“Masa iya? Jangan terlalu percaya diri!”
“Aku berani jamin!” sahut Amelia sambil berjalan ke arah pintu sang bos besar.
Gilang lagu-lagi tertawa. Bawahannya yang satu itu memang spesial. Hanya Amelia yang berani berkata seperti itu di depan ruangan bosnya sendiri!
Amelia mengetuk pintu kayu besar itu kemudian membukanya meski dia tidak mendengar perintah masuk.
Perlahan, Amelia melangkah masuk. Sepi seperti biasa, tidak ada siapa pun di dalam. Namun, Amelia melihat pintu ruang pribadi Sean terbuka. Dia yakin bosnya masih berada di sana. Bunda Roni itu berdoa semoga kali ini dia tidak lagi menemukan seorang wanita teman kencan bosnya, tapi dia tidak berharap lebih. Kebiasaan negatif pemilik perusahaan ini sudah terdengar luas di seluruh lantai.
Amelia segera menuju meja di pojok ruangan. Dia berdiri membelakangi pintu. Tangannya bergerak lincah menata alat-alat makan dan mengisinya dengan menu-menu yang sudah dipesan. Wanita itu begitu fokus hingga dia tidak menyadari seseorang sudah berdiri di belakangnya.
Sean menatap wanita yang tengah sibuk di depannya. Meski dia tidak bisa melihat bagaimana wajah seriusnya saat ini, tapi Sean bisa membayangkannya. Amelia memiliki kebiasaan menyipitkan matanya saat sedang bekerja. Terkadang, Sean juga memergoki wanita itu menatap langit-langit saat sedang berfikir.
Sean tersenyum miring. Dia berani bertaruh kalau saat ini Amelia sedang menyipitkan matanya.
“Sayang...”
Suara manja seorang wanita membuat Amelia dan Sean sontak menoleh. Seorang wanita cantik dengan kulit seputih s**u tengah bersandar manja di kusen pintu dan hanya menggunakan jubah mandi. Wajahnya begitu begitu bersih dan segar. ada raut bahagia yang terpancar kuat dari matanya.
Amelia membelalak. Bukan karena kehadiran seorang wanita –seperti yang sudah dia perkirakan-, tapi karena sosok Sean yang ternyata berada beberapa langkah di belakangnya.
Sejak kapan bos angkuhnya ini berada di sini? Apa pria ini sudah lama berdiri di sana atau baru saja? Kenapa dia sama sekali tidak mendengar langkah kaki? Tidak mungkin Sean ini terbang atau memiliki ilmu meringankan tubuh, ‘kan?
Amelia bisa mendengar suara decakan keras yang keluar dari mulut Sean.
“Apa lagi? Cepat pakai bajumu dan keluar dari sini!”
Suara Sean terdengar datar dan penuh penekanan. Pria itu seperti sedang menahan emosi.
Wanita cantik itu tersenyum tipis namun terlihat manis. “Kenapa harus terburu-buru? Bukankah jam kerjamu masih satu jam lagi?”
Suara itu begitu lembut. Amelia yakin jika dia seorang pria, dia juga akan tertarik padanya.
“Kamu bisa keluar dari sini dengan kedua kakimu sendiri atau aku bisa meminta keamanan untuk menyeretmu.”
Senyum di wajah wanita cantik itu perlahan menghilang. Matanya tampak kesal dan alisnya menukik. “Kamu selalu saja egois! Aku sudah berusaha keras untuk bisa punya kesempatan nemenin kamu, tapi kamu sama sekali nggak pernah mikirin perasaanku!”
“Aku tidak pernah memintamu! Aku sudah menolak berkali-kali, tapi kamu sendiri yang tidak pernah menyerah dan terus saja menawarkan diri. Jangan merasa menjadi korban di sini!”
“Kamu memang jahat, Sean! Egois! Kamu tidak pernah memikirkan perasaan wanita! Tidak akan ada wanita yang akan tulus padamu! Camkan itu! kamu jahat!”
Amelia merasa telinganya sudah sangat panas. Kenapa juga tadi dia tidak langsung keluar ketika betina Sean tadi malam muncul? Kini, dia terpaksa melihat drama percintaan satu malam yang membosankan dan membuatnya mual.
Berbicara tentang mual dan jijik, Amelia tidak bisa lagi menceritakan betapa kedua perasaan itu mendarah daging di dadanya. Dan keduanya dia tujukan untuk satu-satunya pria paling b******k yang pernah dia kenal, Sean Wijaya Putra Ghani.
Tidak ingin berlarut-larut menjadi saksi peristiwa tidak penting ini, Amelia perlahan menggeser tubuhnya. sesekali, dia melirik Sean. Tatapannya datar dan tajam. Dia tidak ingin membuat gerakan yang bisa menarik atensi dua manusia yang sedang berdebat ini.
Saat tangannya berada di handle pintu dan siap memutarnya, tiba-tiba saja Sean menoleh dengan cepat.
“Mau ke mana kamu? Keluar dari ruangan saya tanpa pamit? Apa kamu pikir ruangan saya ini gudang hingga kamu tidak memiliki sopan santun?”
Amelia menghembuskan nafasnya dengan kasar. Gagal sudah rencananya untuk cepat-cepat keluar.
“Maafkan saya, Pak. Saya hanya tidak ingin mengganggu Anda dan pasangan.”
“Sayang, sudahlah. Dia mungkin mau kembali ke mejanya. Biarkan saja!”
Amelia tersenyum mendengar kalimat pembelaan yang keluar dari mulut wanita cantik yang dia sama sekali tidak tahu namanya itu. Amelia menatapnya, mencoba mengirim pesan terima kasih lewat tatapan matanya.
“Yang harusnya keluar itu kamu!” Sean menunjuk tepat ke wajah wanita cantik itu. “Jangan karena kita teman jadi kamu bisa seenaknya di kantorku. Keluar!”
Mata wanita itu membelalak. Dia tidak menyangka Sean sungguh akan mengusirnya. Bukankah itu terlalu kejam? Mereka baru saja menghabiskan malam bersama dia mendapat pengusiran di pagi harinya? Dia bukan wanita murah yang bisa dicampakkan begitu saja.
Amelia tidak bisa menahan diri untuk tidak marah mendengar kalimat bosnya. Dia sungguh pria yang kurang ajar dan egois! Amelia tidak tahan lagi! Dia tidak peduli jika akan dipecat. Lagi pula, siapa yang tahan memiliki bos seperti ini?
“Pak! Bapak tidak perlu mengusirnya seperti itu! Apa Bapak tidak merasa telah melakukan hal yang tidak manusiawi? Mengusir seorang wanita! Huh, sungguh kebiasaan yang patut dicontoh.”
Ya, Sean selalu mengusir teman kencannya saat dia akan memulai sarapan. Amelia tidak tahu kenapa. Awalnya, dia pikir karena mereka adalah wanita yang memang telah dibayar. Amelia tidak ingin ambil pusing. Namun, wanita di depannya ini ternyata adalah teman sang bos. Mereka saling mengenal. Bagaimana bisa Sean mengusirnya saat dia hendak sarapan? Bukankah itu sangat tidak sopan? Ke mana sifat pria sejatinya?
Pandangan mata Sean menjadi gelap seketika. Auranya menghitam. Tatapan matanya tidak lagi menunjukkan emosi apapun. Sangat datar. Dan itu tampak menakutkan di mata Amelia.
Amelia merasa tenggorokannya tiba-tiba mengering. Dia kesulitan menelan ludahnya. Mendapat tatapan gelap penuh d******i seperti ini ternyata mampu membuat bulu kuduknya meremang.
Perlahan, Sean berjalan ke arah Amelia. Satu tangannya berada di saku. Saat hanya tersisa satu langkah lagi, Sean menjepit dagu Amelia, memaksanya untuk menatap wajahnya.
Sekuat tenaga, Amelia mempertahankan wajah datarnya meski tangannya sudah gemetar. Sean tampak sangat menakutkan.
“Sepertinya aku terlalu lunak padamu, Nona Amelia. Baiklah, hari ini aku akan memberikan tugas menarik untukmu.”
Amelia susah payah menelan ludahnya. Kenapa dia tidak dipecat saja? Kenapa justru dia mendapat tugas? Apa itu? Dia tidak tahu. Yang Amelia yakin, tugasnya ini pasti sangat berat.
“Aku mempunyai banyak agenda penting hari ini di dalam dan di luar gedung. Selamat! Kamu yang akan menemaniku seharian ini. Lalu, aku akan meminta laporannya hari ini juga. Aku yakin tanganmu yang kecil itu sanggup menyelesaikan semuanya sebelum pukul dua belas malam ini.”
Sean menatap kedua mata Amelia yang terus bergerak. Dia yakin sebenarnya staf sekretarisnya ini sedang berusaha terlihat tenang dan datar.
Amelia cukup tangguh. Meski dia ketakutan, tapi dia masih bisa menutupinya. Sean cukup salut. Di matanya, Amelia yang seperti ini tampak seperti kucing liar yang ketahuan mencuri, gemetar ketakutan tapi tetap berusaha tenang.
Putra Sandra itu tersenyum miring. Dia merasa kali ini Amelia sudah bisa dia kendalikan. Mulai sekarang kucing liar ini tidak akan lagi berani padanya.
Amelia tidak menjawab. Matanya membulat sempurna. Nafasnya memberat. Dia tidak menyangka Sean akan memintanya melakukan itu. Terjebak seharian bersama pria menjijikkan ini? Semoga saja Amelia tidak mual dan muntah di dekatnya.