4. Terpaksa Lembur

1357 Words
Sean sedang membaca proposal yang baru masuk saat dia mendengar pintunya diketuk. “Masuk!” Sean mendengar pintunya terbuka. Dia mengira Gilang yang datang, hendak mengantarkan cappucino pesanannya. Namun, gendang telinganya menangkap suara langkah sepatu wanita. Dia pun mendongak. Wajahnya sontak berubah kesal saat melihat siapa yang masuk dan berani mengganggu pekerjaannya. Amelia berdiri di tengah-tengah ruangan sang CEO dengan senyum tipis di wajahnya. Tipis sekali. Bagaimana pun kesalnya dia dengan pria ini, Sean tetaplah pimpinan tertingginya. Sean bahkan tidak menyadari jika staf sekretarisnya itu tengah tersenyum. Di matanya, Amelia seakan tengah menyeringai padanya. Dan itu membuat suasana hatinya jadi turun, semangatnya untuk mempelajari proposal jadi hancur. Sean mendengkus lalu kembali berusaha fokus dengan pekerjaannya. “Ada apa?” tanya Sean dengan kasar, “aku tidak punya banyak waktu meladenimu, Amelia.” Senyum Amelia perlahan memudar. Tatapan matanya berubah datar. ‘Bos yang satu ini kenapa suka sekali bersikap kasar? Dasar pria manja, arogan, tukang main wanita! Padahal aku sudah capek-capek memasang senyum dan menyembunyikan semua energi negatifku. Ya Tuhan,,, mohon beri hamba stok kesabaran ekstra setiap kali menghadapi dia.’ “Maafkan saya, Tuan.” Amelia maju beberapa langkah. “Saya hanya ingin menyerahkan ini.” Staf sekretarisnya itu menyerahkan beberapa berkas pada Sean untuk diperiksa. “Hmm,” sahut Sean tanpa repot menatap lawan bicaranya. Amelia memejamkan matanya. dia memang membutuhkan kesabaran ekstra jika berhadapan dengan Sean. Sebagai bawahan, Amelia pun pamit sebelum keluar dari ruangan CEO. Baru saja dia hendak membuka pintu, dia mendengar suara Sean. “Jangan lupa jam empat!" Amelia menoleh. Lagi-lagi, dia mendapat Sean berbicara dengannya tanpa menatapnya. Sungguh tidak sopan! Namun, kali ini Amelia tidak lagi memedulikan itu. Ada hal lain yang lebih penting. “Maaf, Pak. Saya tadi sudah berbicara dengan Nyonya Sandra kalau saya tidak bisa datang sore ini.” Penolakan Amelia berhasil membuat perhatian Sean teralih sepenuhnya. Dia mendongak dengan cepat. Matanya memicing. “Apa maksudmu? Kamu menolak undangan mommy?” Suara Sean terdengar menakutkan di telinga Amelia. Dia merasa Sean seakan-akan mengeluarkan suara kematian . Dan aura gelap yang keluar dari tubuh bosnya itu siap mencekiknya kapan saja. “Tidak, Tuan. Kami sudah menjadwalnya ulang. Kami sepakat menggantinya hari Minggu pagi.” “Kami?” Sean cukup terkejut mendengarnya. “Kamu menelepon mommy?” Amelia mengangguk. “Iya, Pak. Nyonya Sandra juga langsung setuju.” Tadi, Amelia memang langsung menghubungi Sandra langsung. Dengan berat hati, Amelia mengatakan kalau dia tidak bisa datang sore ini. Ada hal penting yang harus dia lakukan, menjemput putra semata wayangnya dan mengajaknya makan malam. Namun , dia tidak mengatakannya secara gamblang. Untung saja, Sandra bisa memahami dengan cepat. Wanita itu memang luar biasa. Tidak salah Tuhan memberinya jodoh yang luar biasa pula, Tuan Ghani. Amelia semakin kagum pada pasangan itu. Sean ingin sekali marah. Mommy adalah pusat hidup Sean. Dia tidak suka jika ada orang yang menolak malaikat dalam hidupnya itu, tapi mau bagaimana lagi? Mommy-nya sudah setuju. Dia tidak bisa berbuat banyak. Dia hanya tidak menyangka jika ternyata karyawannya yang satu ini ternyata cukup dekat dengan sang mommy. Sean mengibaskan tangannya, memberi isyarat pada Amelia untuk segera keluar. Amelia pun tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dia segera membuka pintu dan keluar. Wanita yang memiliki satu putra itu sudah kembali duduk di mejanya. Beberapa kali, dia terlihat menghembuskan nafasnya. Berada di dekat Sean memiliki banyak energi negatif padanya. Amelia sudah kembali fokus dengan pekerjaannya. Dia harus segera menyelesaikan semuanya dan pulang. roni sudah menunggunya. Hanya dengan bermodalkan senyum Roni, semangat Amelia terus bangkit. Matanya terus fokus pada layar komputer dan tangannya lincah di atas keyboards. “Mel, aku pulang dulu ya. Kamu belum selesai?” Amelia menoleh dan mendapati meja Santi sudah bersih. “Tugasmu beres semua?” Amelia bertanya keheranan. “Hmm mm.” Santi mengangguk. Amelia beralih menatap mejanya. Ada masih banyak tumpukan di sana. “Aku duluan ya. Bye! Jangan lembur terlalu malam.” Santi melenggang menuju lift. Sontak, Amelia menoleh ke jam besar di dinding. Dia langsung mendelik saat melihat jarum jam sudah berada di angka lima. Wanita itu menghembuskan nafasnya kasar. Dia terlambat menjemput putranya! Amelia sontak mengambil ponselnya dan mengabari Yasmin, pengasuh Roni di day care. “Halo, Yasmin? Maaf, sepertinya aku harus lembur. Aku masih di kantor. Bisa aku meminta tolong padamu?” “Amelia? Tenang saja! Aku akan membawa Roni ke rumah. Kamu bisa menjemputnya di sana.” “Baik, terima kasih banyak. Maaf merepotkanmu.” “Tidak masalah. Baiklah, aku akan membawa Roni pulang sekarang.” Dan panggilan pun terputus. Amelia sungguh beruntung karena rumah Yasmin berada tidak jauh dari day care. Jadi, putranya tidak perlu capek di jalan. Selain itu, Yasmin selalu siap jika Amelia meminta bantuannya menjaga sang putra. Amelia tampak mengepalkan kedua tangannya ke udara seolah memberi semangat pada dirinya sendiri sebelum kembali berkutat dengan pekerjaannya. Dia tidak memedulikan sekitarnya. Dia hanya fokus bekerja agar bisa segera pulang. Dia begitu fokus hingga mungkin jika ada yang mengambil tasnya, dia tidak akan menyadarinya. Contohnya saja, Amelia saat ini tidak menyadari jika ada sepasang mata yang terus memperhatikannya lewat celah jendela. Sepasang mata yang menatapnya tajam dan sesekali menyeringai puas melihat wanita itu kerepotan. Pengintip itu suka saat jari Amelia bergerak tanpa henti di atas keyboardnya. Dia suka saat melihat tatapan mata Amelia terus tertuju ada layar komputer tanpa henti. Dia juga sangat menyukai kening Amelia yang berkerut karena berpikir. Sean tertawa puas. Dia suka dengan apa yang dia lihat. “Siapa suruh kamu berani menolak undangan mommy. Hm, rasakan!” Diam-diam, Sean meminta Gilang untuk membuat Amelia mengerjakan lebih banyak tugas sore ini. hatinya masih sakit pada Amelia. Memangnya dia siapa berani menolak mommy-nya? Namun, tawanya sontak menghilang saat dia melihat Amelia mulai mematikan komputernya. “Sial! Apa dia sudah mengerjakan semuanya?? Tidak mungkin!!” Sean melirik jam di tangannya. “Masih pukul enam! Bagaimana bisa dia mengetik sebanyak itu dalam waktu singkat? Apa aku kurang banyak memberinya tugas?” Sean segera memencet interkomnya dan meminta Amelia untuk datang ke ruangannya sebelum wanita itu pergi. “Ya, Pak?” Amelia datang dengan cepat begitu Sean memanggilnya. Dia tadi bahkan sedikit berlari. Wanita itu sedang diburu waktu. Dia terlambat pulang. Dan dia sudah merindukan putra satu-satunya. “Tugasmu sudah selesai?” Sean menata suaranya agar tenang dan tidak terdengar gusar. “Sudah, Pak. Semua sudah saya selesaikan. Sudah saya simpan di folder saya dan saya kopi juga di server. Saya bahkan sudah mencetaknya untuk berjaga-jaga jika Anda ingin memeriksanya besok.” Sean mengutuk kecepatan Amelia dalam melaksanakan tugasnya. Bagaimana bisa ada karyawan secakap ini? Sayangnya, dia cukup menjengkelkan dan suka sekali membuatnya kesal. “Bawa kemari! Aku ingin memeriksanya sekarang.” suara Sean terdengar tegas dan tidak bisa dibantah. Meski sangat capek dan super kesal karena itu berarti dia harus pulang lebih malam, Amelia menurut. Dia sedang tidak ingin membuat masalah agar bisa pulang dengan secepat. Amelia segera keluar menuju mejanya dan kembali ke ruangan Sean tidak lama kemudian. Di tangannya, dia membawa setumpuk kertas. “Ini, Pak.” Amelia meletakkannya di atas meja Sean. “Hmm.” Sean mengambil satu bendel dan membacanya. Jujur saja, Sean sendiri merasa dia bisa muntah jika harus memeriksa kertas di depannya ini satu-satu. Dia sendiri punya tugas yang harus dia selesaikan. Sean kembali merutuki kecerdasan Amelia. Laporan ini memang rapi seperti bisanya. Tidak ada salah ketik atau apa pun. Sean yakin dia juga tidak akan menemukan kesalahan dalam laporan yang lain. Daddy-nya memang pandai merekrut karyawan. Tidak salah jika Amelia masih dipercaya untuk menjadi sekretaris. Jika begini, Sean tidak mempunyai alasan untuk menahannya lagi. Sean berdehem untuk membersihkan tenggorokannya yang tiba-tiba mengering. “Ya sudah, kamu boleh pulang." Sean mengibaskan tangannya, memberi isyarat pada Amelia untuk segera keluar dari ruangannya. Dia sendiri masih memiliki setumpuk hal untuk diselesaikan. Amelia tersenyum lebar. Ternyata meski ia mengerjakan semuanya dengan tergesa-gesa, namun cukup bisa membuat bosnya puas. Amelia sungguh lega. Sekarang dia bisa segera pulang dan bertemu dengan putranya yang sudah dia rindukan. Amelia sudah tidak sabar. "Jangan lupa besok belikan saya sarapan!” Senyum di bibir Amelia langsung menghilang. Wajah bahagianya berganti dengan wajah kesal. Matanya menatap datar dan tajam pada sosok pria yang sedang duduk dengan angkuh di depannya ini. 'Bisakah dia tidak membuatku kesal satu hari saja?'
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD