Tok! Tok! Tok!
Ketukan itu berulang-ulang, keras dan cepat, seakan tak memberi kesempatan Zenia untuk bernapas. Ia menggeliat, separuh tubuhnya masih terbungkus selimut ketika kelopak matanya membuka perlahan. Sekilas, ia menatap jam di dinding—baru pukul dua siang. Napasnya keluar panjang dan kesal. Ia baru memejamkan mata satu jam lalu, mencoba menenangkan diri setelah pagi yang penuh tekanan.
Tapi ketukan itu tak berhenti. Kini suara Matteo terdengar di balik pintu.
“Buka, Zenia.”
Nada suaranya rendah, berat, dan memerintah.
Zenia menekan keningnya, lalu bangkit dari ranjang. Langkahnya malas, tapi suaranya tetap tenang meski terdengar getir.
“Apa lagi sekarang, Matteo? Tak bisakah aku—”
Ia belum sempat menyelesaikan kalimatnya ketika pintu terbuka begitu saja. Matteo berdiri di sana, tinggi dan tegak, wajahnya tanpa ekspresi. Sebelum Zenia bisa mundur, tangannya sudah diraih kasar oleh Matteo.
“Matteo! Apa yang kau lakukan?” seru Zenia, berusaha menarik tangannya.
Matteo menatap lurus ke arah mata Zenia, nada suaranya tetap datar. “Kau akan menemaniku malam ini.”
Zenia mengerutkan kening, bingung. “Menemanimu ke mana?”
“Ke klub malam.”
Zenia menatapnya seperti baru saja mendengar sesuatu yang absurd. “Apa? Tidak! Aku tidak akan ke tempat seperti itu.”
Matteo menyeringai kecil, tawa dingin keluar dari bibirnya. “Kenapa? Takut dosa, Nyonya suci? Jangan pura-pura bersih di depan aku. Dunia tidak seperti dongeng yang ayahku pernah ceritakan padamu.”
Zenia menarik tangannya sekuat mungkin, tapi genggaman Matteo tetap tak terlepas. “Lepaskan aku, Matteo! Aku tidak mau!”
Matteo mendekat sedikit, dan dengan nada setengah mengejek ia berkata pelan, “Jangan sok suci, Zenia. Aku tahu seperti apa orang yang bersembunyi di balik citra baik. Malam ini, kau akan ikut denganku. Titik.”
Jari Matteo naik ke wajahnya, menjepit pipi Zenia hingga wajah wanita itu menegang.
Zenia menatapnya tajam, matanya berair oleh kemarahan. “Kau tidak berhak memperlakukan aku seperti ini.”
Matteo hanya mendecak. “Tidak berhak? Kau masih tinggal di rumah keluarga ayahku, memakai segala yang aku biayai. Jadi, ya, aku punya hak untuk memutuskan apa yang akan kau lakukan.”
Dengan kasar, Matteo melepaskan jepitannya lalu melangkah masuk ke kamar Zenia tanpa diundang. Ia membuka lemari, menatap deretan pakaian Zenia yang sebagian besar bernuansa lembut dan sederhana. Matteo tertawa pendek, dingin, seperti seseorang yang menemukan sesuatu yang lucu dalam kesengsaraan orang lain.
“Semua ini… seperti pakaian biarawati. Tidak ada satu pun yang pantas untuk tempat yang akan kudatangi malam ini.”
Ia menarik salah satu gaun bunga-bunga dari gantungan dan memandangnya penuh sinis. “Kau yakin bukan dari pasar pinggir jalan?”
Zenia mengepalkan tangannya, menahan amarah. “Kau tak punya hak menghina barang-barangku.”
“Barang-barangmu?” Matteo menoleh cepat, menatap tajam. “Kau bahkan tidak membeli satupun dari ini dengan uangmu sendiri, Zenia. Semuanya dibeli oleh ayahku.”
Kata-kata itu seperti cambuk di d**a Zenia. Ia ingin membantah, tapi tahu tak ada gunanya. Semua yang Matteo katakan memang benar. Ia mengalihkan pandangannya, berusaha menjaga harga diri yang tersisa.
Matteo melempar gaun itu ke tempat tidur dan berkata dengan nada malas, “Nanti aku akan kirim seseorang untuk membelikanmu baju yang pantas. Jangan berpakaian seperti ini lagi. Aku tidak mau ada yang berpikir aku membawa pengasuh tua ke klub.”
Zenia terdiam, wajahnya memerah karena marah dan malu. “Aku tidak akan ikut.”
Matteo menatapnya lagi, kali ini lebih lama, lalu mendekat hingga jarak di antara mereka hanya sejengkal. Suaranya turun menjadi nada yang rendah tapi tajam.
“Jangan uji kesabaranku. Aku tidak suka mengulang perintah.”
Zenia menggigit bibirnya, menahan air mata yang hampir jatuh. Di kepalanya, segala emosi bercampur menjadi satu: amarah, takut, juga perasaan aneh yang tak bisa dijelaskan—rasa muak terhadap lelaki itu, namun di sisi lain, ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat dari seharusnya.
Matteo melangkah pergi menuju pintu, tapi sebelum keluar ia berhenti sejenak. “Bersiaplah. Aku akan memanggilmu malam nanti. Jangan coba bersembunyi.”
Lalu ia pergi, membiarkan pintu terbuka lebar, meninggalkan Zenia berdiri di tengah kamar dengan d**a sesak.
Zenia duduk di tepi ranjang, tangannya menutupi wajah. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba berpikir jernih. Ia tidak bisa melawan Matteo secara langsung. Lelaki itu keras kepala, dan punya cara membuat segala hal terlihat seperti perintah yang tak bisa dibantah. Tapi Zenia tahu satu hal—ia tidak akan membiarkan Matteo mempermalukannya lagi.
Beberapa jam berlalu, Zenia duduk di depan meja rias, memandangi pantulan dirinya di cermin. Tatapan matanya kosong, namun di baliknya ada sesuatu yang mulai berubah. Mungkin rasa takut yang perlahan berganti menjadi perlawanan.
Ketika pelayan datang sore itu membawa sebuah kotak besar berisi pakaian kiriman Matteo, Zenia tidak langsung membukanya. Ia hanya menatap kotak itu lama sekali, jantungnya berdetak cepat. Ia tahu Matteo tidak akan membiarkannya begitu saja; kalau ia menolak datang malam nanti, lelaki itu akan mencari cara lain untuk menyeretnya keluar.
Di ruang bawah, Matteo tengah duduk santai di kursi ruang tamu, memainkan ponselnya sambil tersenyum samar. Ia tahu Zenia tidak punya pilihan selain menuruti perintahnya, dan entah mengapa, kemenangan kecil itu memberi kepuasan aneh di dadanya. Tapi di balik senyum dinginnya, Matteo sendiri tak menyadari bahwa perlahan, Zenia mulai memengaruhi pikirannya lebih dalam dari yang ia mau akui.
Malam akan datang, dan Matteo tahu satu hal: permainan yang ia mulai hari ini baru saja dimulai—dan ia sendiri belum tahu siapa yang akan kalah di akhirnya.
**