Bab 09

729 Words
Zenia menunduk, tangannya gemetar ketika ujung jarinya menyentuh dasi Matteo yang tergantung di leher kemeja putih pria itu. Napasnya terasa berat, d**a naik turun dalam ritme yang berantakan. Matteo berdiri tegak di hadapannya, tubuhnya tinggi menjulang, wangi parfumnya menusuk tajam ke hidung Zenia — aroma yang mencampur kemewahan dengan arogansi. “Cepat,” ucap Matteo dengan nada rendah dan dingin. Tidak ada nada memohon di sana, hanya perintah yang mengiris seperti bilah tipis. Zenia menelan ludah, bibirnya bergetar kecil. Ia mengangkat dasi itu perlahan, membungkuskan kain hitam halus di sekitar leher Matteo, lalu mencoba mengikat simpulnya dengan tangan yang terus bergetar. Setiap kali jarinya menyentuh kancing kemeja itu, Zenia bisa merasakan detak jantungnya sendiri semakin kencang. Matteo tidak berhenti menatapnya. Tatapan itu tajam, mengawasi setiap gerakan Zenia seperti pemangsa yang tengah mengamati mangsanya. Ia sedikit menunduk, cukup dekat hingga Zenia bisa merasakan hembusan napas hangat Matteo di wajahnya. “Sampai kapan kau akan berpura-pura tak tahu cara memperlakukan suamimu?” suara Matteo berat, nyaris seperti ejekan. Zenia mendongak, menatapnya dengan mata membara. “Aku bukan istrimu.” Senyum tipis muncul di bibir Matteo. “Benarkah? Tapi kau masih tinggal di rumah keluarga Ancelotti. Masih makan dari dapur yang sama. Masih mengenakan pakaian yang dibeli dari uang ayahku.” Zenia menarik napas dalam, jemarinya berhenti di tengah simpul dasi yang hampir jadi. “Aku tidak menginginkan hartanya,” katanya dengan suara yang tertahan. “Aku hanya… tidak punya tempat lain untuk pergi.” Matteo mendekat sedikit. Tangannya perlahan menyentuh pinggang Zenia, membuat wanita itu menegang spontan. Tidak ada kekasaran dalam gerakan itu, tapi juga tidak ada kelembutan. Itu lebih seperti sebuah ujian — seolah Matteo ingin tahu seberapa lama Zenia bisa bertahan sebelum menyerah pada tekanan. “Tempat lain?” bisik Matteo dengan nada yang hampir seperti tawa dingin. “Kau bisa pergi kapan pun, Zenia. Tapi kenapa tidak?” Zenia menunduk, tak sanggup menjawab. Dalam hatinya ada campuran rasa malu, takut, dan kemarahan yang mendidih. Ia tidak ingin Matteo melihat bahwa sebenarnya ia memang tidak punya siapa-siapa lagi. Setelah kematian Carlo, keluarganya menjauh, teman-temannya perlahan menghilang, dan rumah besar ini menjadi satu-satunya tempat berlindung — meski setiap sudutnya kini terasa seperti jerat. Matteo memperhatikan perubahan di wajahnya, lalu menarik dasinya sendiri, menyempurnakan simpul yang belum sempurna. “Begitu,” katanya pelan. “Kau tidak pergi karena butuh tempat. Tapi jangan salah paham, Zenia. Aku tidak akan membiarkanmu bersembunyi di sini dan berpura-pura menjadi janda yang suci.” Kata-katanya membuat Zenia memalingkan wajah, rahangnya menegang. Ia ingin menjawab, ingin memaki, tapi lidahnya kelu. Matteo mengambil jasnya, menyampirkannya di pundak, lalu melangkah pergi meninggalkan ruang kerja itu. Zenia hanya berdiri terpaku di sana — di tengah ruangan yang kini terasa hampa. Setelah beberapa menit, Zenia akhirnya terduduk di sofa, menatap dasi cadangan Matteo yang masih tergantung di kursi. Ia menatap benda itu lama sekali, seperti menatap simbol dari semua hal yang kini membelenggunya. Di sisi lain, Matteo yang kini berada di garasi memandangi mobil hitamnya yang mengilap. Tangannya terangkat, tapi kemudian berhenti di udara — ia menyadari sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Ada bagian dari dirinya yang tak bisa menyingkirkan bayangan wajah Zenia saat menatapnya tadi; mata itu, meski penuh kebencian, punya sorot yang membuat Matteo resah. Ia membenci dirinya karena merasa tertarik. Tapi semakin ia berusaha mengabaikannya, semakin pikirannya dipenuhi bayangan wanita itu. Zenia naik ke lantai atas malam itu, langkahnya lambat dan berat. Saat ia melewati koridor panjang rumah itu, angin dari jendela terbuka meniup tirai putih yang melambai lembut. Setiap langkah terdengar jelas, memantul di dinding batu marmer. Ia berhenti sejenak di depan kamar Matteo — pintu kayu tebal itu tertutup rapat, tapi dari dalam samar terdengar suara musik klasik. Zenia menatap pintu itu lama sekali sebelum akhirnya melangkah ke kamarnya sendiri. Ia tahu — malam ini, untuk pertama kalinya sejak kematian Carlo, ia benar-benar merasa terancam. Tapi ancaman itu bukan dari kekerasan. Ancaman itu datang dari tatapan Matteo, dari caranya berbicara, dari ketegangan halus di antara mereka yang terasa semakin menyesakkan. Sementara itu, Matteo di kamarnya menatap gelas wine yang bergoyang perlahan di tangannya. Ia menatap pantulan dirinya di cermin besar di seberang tempat tidur — wajah muda yang keras, penuh amarah, tapi kini mulai dipenuhi keraguan yang asing. Ia meneguk wine itu sampai habis, lalu berbisik sendiri dengan nada rendah. “Wanita itu akan menjadi pelacurku dan membuat dia memuaskan diriku terus menerus nanti.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD