Part-10

1070 Words
Kening Naura berkerut, tanda ia tidak paham apa maksud ucapan Saka. Melihat hal itu, Saka langsung membisikkan sesuatu di telinga Naura hingga membuat tubuh Naura menegang karenanya. "Istriku polos banget, sih ...," ucap Saka sambil memencet hidung Naura lagi. Naura menjerit karena kesakitan. "Emang sakit?" "Sakit ...," jawab Naura dengan ekspresi manjanya. "Aku baru tahu kalau ternyata sahabatku ini bisa manja juga." "Berat ... kamu nggak ada niatan buat turun?" Saka tersenyum, mendekap tubuh Naura lagi kemudian menggulingkan tubuhnya hingga Naura kembali berada di atas. Wajah Naura tersipu saat Saka menatap wajahnya. "Sejak kita menikah, kok aku jadi sering lihat ekspresi ini, ya? Apa semua wanita begitu?" goda Saka. "Ih ... kamu udah kaya ayah, doyan banget godain aku." Naura merajuk kemudian beranjak dari tubuh Saka. Kali ini Saka membiarkan. Naura berdiri merapikan bajunya. "Kamu mau kemana?" "Sarapan. Yuk, turun!" ajak Naura. "Ayo," jawab Saka kemudian berdiri, diraihnya pinggang Naura. Namun, Naura melepaskan tangan Saka. "Kenapa?" "Malu kalau dilihat ayah sama mama ...." Saka hanya berdecak sambil menggeleng, tetapi tetap melepaskan menuruti Naura. Tangannya berpindah ke pundak Naura kemudian didorongnya tubuh Naura keluar kamar. *** Naura dan Saka memasuki ruang makan. Sudah ada semua anggota keluarga di meja makan. Farhan tersenyum melihat anak dan menantunya. Niken yang melihatnya langsung menyenggol kaki Farhan yang berada di kolong meja dengan kakinya, mengkode agar Farhan tidak menggoda putrinya. "Selamat pagi semuanya," sapa Saka kepada seluruh anggota keluarga. "Selamat pagi," jawab mereka. Saka duduk di tempat yang biasa Naura duduki, membuat Naura tidak mendapat tempat duduk. "Oh, iya. Ayah lupa kalau keluarga kita udah bertambah. Sini Naura ayah pangku," ucap Farhan bermaksud menggoda putrinya. "eh, ayah lupa. Kan sekarang udah ada yang bisa mangku Naura ya, Ra," lanjut Farhan yang sukses membuat mata Naura melotot ke arahnya. Saka juga ikut salah tingkah, digaruknya kepalanya yang tidak gatal. "Ayah ...." Melihat tingkah suaminya, Niken menegurnya. Kemudian meminta Dira yang duduk di sebelah Saka pindah ke tempat duduknya. "Dira pindah sini, Sayang ...." Niken berdiri sambil menggeser piringnya. "Iya, Ma ...," jawab putra satu-satunya Farhan dan Niken itu. "Naura duduk di sebelah Saka, Nau. Ambilkan nasi buat Saka!" "Iya, Ma ...." Naura menuruti perintah Niken, duduk di samping Saka kemudian melayani Saka dengan mengambilkan Nasi dan lauk untuk suaminya. Niken mengambil kursi bundar di dapur, kemudian meletakkannya di antara Farhan dan Dira. Niken duduk di sana. Tangan Farhan tak hentinya menjaili Niken yang duduk di sebelahnya. Membuat Niken melotot ke arahnya. Tingkah Farhan terhenti saat Saka bertanya padanya. "Yah, Ayah jadi nanti ke kelurahan?" "Jadi, dong. Biar buku nikah kalian cepat jadi. Nanti ayah ke sana habis ngantar adik-adik kalian sekolah." "Makasih ya, Yah. Maaf, jadi merepotkan Ayah." "Siapa yang direpotkan? Itu sudah menjadi kewajiban ayah. Ayah titip Naura, ya. Jaga dia, bahagiakan dia. Awas saja kalau kamu sampai menyakitinya," ancam Farhan bernada candaan. "Iya, Yah. Ayah tenang saja." Mendengar ucapan ayahnya, mau tidak mau membuat mata Naura berkaca-kaca. Ia terharu, ia bahagia, ayahnya benar-benar telah berubah. "Kamu ikut sekalian ya, Sayang!" ajak Farhan kepada Niken dengan suara pelan. "Ikut ngantar anak-anak, terus ke kantor kelurahan?" "Iya, nanti aku temenin kamu ke warung sama cafe." "Terserah Mas saja." Usai menghabiskan sarapan, Niken dan Naura membereskan meja makan. Sementara Farhan, Aira, Tasya, dan Dira bersiap untuk ke sekolah. "Biar Naura aja yang cuci piring, Ma. Mama mau bareng ayah, kan?" "Baiklah. Kamu nggak ke cafe?" "Agak siangan, Ma." "Ok. Saka nggak ke kantor?" "Cuti, Ma. Paling nanti nemuin papa buat ngobrolin masalah resepsi," jawab Saka. "Ya sudah, kalau gitu mama berangkat dulu, ya." "Iya, Ma." Niken berjalan menuju kamarnya untuk mengambil tas juga laptopnya. Setelah itu, ia menyusul suami dan anak-anaknya yang sudah berada di dalam mobil. Saka yang memperhatikan mereka langsung berdiri saat melihat mobil mertuanya sudah meninggalkan rumah. Ia dekati Naura yang sedang berdiri di samping tempat cucian piring dengan tangan penuh busa sabun. Saka melingkarkan tangannya di perut Naura sambil menumpukan dagunya di pundak Naura. Naura berjengkit kaget. "Saka! Untung piringnya nggak jatuh!" "Mulai sekarang, kamu harus terbiasa. Buang sedikit kepolosanmu." "Ngomong apa, sih ...." "Aku gemas sama kamu, cara pikir kamu itu dewasa. Tapi isi pikiran kamu belum dewasa." "Maksud kamu?" "Lucu aja, aku nikah sama wanita 23 tahun, tapi kaya lagi pacaran sama anak SMP." "Kamu ngejek aku?" Naura tidak terima dengan penuturan Saka. "Nggak ... aku gemas. Aku seneng malahan dapat istri yang belum terkontaminasi," jawab Saka sambil menggigit pundak Naura. "Awas ih ... kalau begini, kapan selesainya. Bukannya bantuin, malah ngerecokin." "Kita pindah, yuk. Kita beli apartemen atau rumah, yang kecilan aja. Nggak perlu yang gede." Naura menyelesaikan kegiatan cuci piringnya. Setelah itu ia mengelap tangan, kemudian membalik badannya hingga berhadapan dengan Saka. "Kamu nggak betah tinggal di sini?" "Bukannya nggak betah. Aku pernah dengar, orang yang sudah menikah itu disarankan untuk tinggal terpisah dari orang tuanya. Biar kalau terjadi sedikit masalah, orang tuanya nggak ikut campur. Jadi nggak memperkeruh suasana," jawab Saka hati-hati, tangannya merapikan rambut Naura ke belakang telinga Naura. "Emang kamu punya uang? Kita kan juga harus mikirin resepsi." "Tabungan punya, dong. Meskipun nggak banyak. Masalah resepsi, papa yang mau jadi donatur," jawab Saka dengan ekspresi jenaka. "Terserah kamu kalau gitu, aku juga punya sedikit tabungan. Bisa buat tambah-tambah." "Ok, kalau begitu. Setelah resepsi, aku akan omongin ini ke papa sama ayah." Naura mengangguk. "Mandi bareng, yuk ...." "Ih ... Saka! Omongannya menjurus mulu!" "Ye ... siapa yang menjurus. Orang aku cuma ngajak kamu mandi. Jangan-jangan kamu lagi yang kepengin." Melihat rona merah di pipi Naura membuat Saka ingin selalu menggodanya. "Ah ... tahu ah ...." Tidak ingin Saka terus menggodanya, Naura memilih untuk berlari ke kamarnya. Saka mengejarnya. Sesampainya di kamar, Naura langsung masuk ke kamar mandi. Sebelum pintu ditutupnya, tangan Saka sudah lebih dulu mencapai handle pintu. "Aku mau mandi ...," protes Naura. "Aku juga mau mandi." "Mandi di kamar mandi bawah sana!" "Aku maunya mandi bareng kamu." "Aku malu!" Aksi tarik dorong pintu terjadi. Sampai akhirnya tenaga wanita Naura kalah melawan tenaga Saka. Saka menutup pintu kamar mandi. Naura menunduk dalam karena malu. Telunjuk Saka meraih dagu Naura agar Naura mendongakkan kepalanya. "Singkirkan sedikit demi sedikit rasa malu kamu," ucap Saka pelan. Naura hanya bisa mengangguk terbius tatapan teduh Saka. Tangan Saka membuka satu demi satu kancing baju piyama Naura. Hingga akhirnya Saka bisa melihat bagian tubuh depan Naura untuk pertama kalinya. Naura malu bukan main hingga akhirnya ia hanya bisa menubruk tubuh Saka, menyembunyikan wajahnya di d**a Saka untuk menutupi rasa malunya. Tbc.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD