Saka memasuki kamar, tidak ada Naura di sana. Namun, tidak lama ia mendengar suara gemericik air dari kamar mandi. Saka putuskan untuk duduk di tepi ranjang. Matanya memperhatikan isi kamar Naura karena baru kali ini ia sempat mengamati. Senyum mengembang di bibirnya saat mendapati sebingkai foto yang berada di lemari yang berisi barang koleksi Naura. Di foto itu ada dirinya yang sedang merangkul Naura saat menggunakan seragam SMA. Saka berdiri kemudian berjalan mendekat. Diraihnya foto itu. Senyum terus menghiasi bibirnya.
Suara pintu terbuka terdengar, Saka menoleh. "Aku baru lihat ini. Kapan ya ini?"
"Waktu kita kelas sebelas."
"Oh, iya. Lupa." Saka meletakkan foto itu lagi ke tempatnya.
"Ka ... kamu beneran mau tidur di sini? Nggak ada niatan buat pulang, gitu?" tanya Naura ragu. Ia masih belum siap untuk tidur satu ranjang dengan Saka. Apalagi di kamarnya hanya ada satu ranjang, tidak ada sofa atau apa pun yang bisa dijadikan alas tidur.
"Kamu ngusir aku?" tanya Saka sambil mendekat ke arah Naura.
"Bu-bukan maksud aku ngusir kamu. Tapi-tapi ...."
Saka menunggu Naura melanjutkan ucapannya. "Tapi apa?"
"Tapi aku masih merasa aneh sama status kita."
"Aneh ya?" Mendadak Saka murung. Ia baru ingat jika memang hanya dirinyalah yang memiliki cinta tidak dengan Naura. "Maafkan aku, aku lupa kalau kamu terpaksa menikah sama aku. Kamu tenang saja. Aku tidak akan menyentuhmu. Tidurlah." Saka berdiri kemudian berjalan ke arah pintu. Tangannya sudah menyentuh handle pintu.
"Kamu mau kemana?" tanya Naura merasa tidak enak.
"Aku mau ke rumah papa. Bilang aja kalau ada yang ketinggalan."
"Nggak usah ... emh, maksud aku ... maksud aku kamu nggak usah pulang. Nggak apa-apa kita tidur satu ranjang. Ada ... ada guling, ada boneka juga itu bisa jadi pembatas." Merasa aneh dengan nada bicaranya, Naura meringis sendiri.
Saka mengurungkan niatnya. Ia tatap mata Naura yang juga sedang menatapnya sambil meringis.
"Adakah pria lain di dalam hati kamu, Nau?"
"Hah? Ada ... eh, nggak ... nggak ada. Kan kamu tahu sendiri kalau aku belum pernah pacaran ...," jawab Naura terbata.
"Siapa tahu kamu mencintai seseorang. Kalau iya, besok aku bilang ke ayah sama papa untuk membatalkan pernikahan kita."
"Jangan!" pekik Naura. "Maksudku, apa salahnya dicoba dulu ... iya ... dicoba dulu," lanjut Naura salah tingkah.
"Baiklah. Aku ke kamar mandi dulu. Kalau kamu mau tidur, tidur aja ...."
"Iya."
Saka masuk ke kamar mandi meninggalkan Naura yang masih bingung dengan sikapnya sendiri. Tangannya meraba dadanya yang sejak ijab kabul tadi dirasakannya detak jantung yang tak beraturan.
"Aku memang mencintai seseorang, dan itu kamu, Ka. Aku nggak berani bilang karena kamu juga nggak cinta sama aku. Bagaimana mungkin seorang wanita mengungkapkan cintanya lebih dulu. Aku bukan wanita seperti Salsa," ucap Naura dengan nada bicara yang hanya dapat didengarnya.
Satu jam menunggu, tidak ada tanda-tanda Saka akan keluar dari kamar mandi. Yang terdengar hanya suara air. Naura tidak curiga terjadi sesuatu pada Saka karena sesekali terdengar suara air closet. Kamar mandi di kamar Naura memang sederhana. Hanya ada bak mandi, sower, closet, dan wastafel. Dindingnya juga biasa, bukan dinding yang kedap suara.
Saka sengaja lama di kamar mandi agar nanti saat dirinya keluar, Naura sudah tidur. Ia mulai bimbang dengan langkah yang telah diambilnya. Mungkinkah keputusannya tidak akan menyakiti orang lain? Terutama Naura. Merasa sudah bingung apa yang harus dilakukannya lagi di kamar mandi, Saka keluar. Di ranjang terlihat Naura sudah tertidur. Saka tersenyum saat melihat ada guling juga boneka di samping Naura sebagai pembatas. Sesuai dengan apa yang tadi Naura ucapkan. Akhirnya Saka pun merebahkan diri di ranjang Naura. Semoga saja dirinya tidak khilaf menyentuh Naura tengah malam nanti.
***
Tengah malam Saka terbangun saat dirasa ada yang membebani perutnya. Dikuceknya matanya agar bisa jelas melihat benda apa yang berada di perutnya. Saat pandangannya sudah mulai jelas, ia tersenyum saat mendapati ternyata kaki Naura yang berada di atas perutnya.
"Benar omongan Aira," gumam Saka masih dengan senyumnya. Saat Saka akan menurunkan kaki Naura, tangan Naura justru menggapai tubuh Saka. Naura memang terbiasa tidur dengan memeluk guling. Kini tubuh Naura berada di atas tubuh Saka setengahnya. Senyum Saka makin mengembang.
"I love you ... maafkan aku yang belum berani mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya," bisik Saka diakhiri dengan menciumi kepala Naura.
***
Pukul empat pagi Naura biasa terbangun untuk subuh bersama keluarganya. Tangan Naura meraba-raba saat dirasanya kasurnya tidak seempuk biasanya. Tangannya bergerak dari atas ke bawah kemudian ke atas lagi. Saat tangannya menyentuh benda seperti pinggang celana, gerakannya terhenti. Matanya membulat. Pelan-pelan ia gerakan kepalanya ke kanan. Ada wajah Saka di depannya tengah meringis dengan mata setengah terbuka.
"Sudah pagi, ya? Tangan kamu ampuh banget buat bangunin aku. Padahal cuma ngusap doang ...." Refleks Naura bangun. Tanpa sengaja lututnya menyenggol benda yang berada di dalam celana Saka.
"Sorry, sorry, maaf ... aku memang tidurnya suka menuhin ranjang. Aku lupa kalau aku nggak tidur sendiri. Maaf ...." Naura tidak marah pada Saka, ia sadar diri dengan kebiasaan tidurnya.
"Nggak apa-apa. Pas udah meluk aku, kamu anteng kok tidurnya." Pipi Naura memerah mendengar penuturan Saka.
"Udah waktunya subuh. Kamu subuh kan?" Menutupi rasa malunya, Naura mengalihkan pembicaraan. Ia berniat untuk turun dari ranjang. Namun, tangan Saka mencegahnya.
"Nau, aku ingin kamu jadi yang pertama dan terakhir buat aku. Aku berharap, kamu mau belajar mencintaiku, menerimaku jadi suami kamu ...."
TBC.