Part-6

1026 Words
Saka tersenyum melihat Naura yang memejamkan matanya. Merasa gemas, ia tiup wajah Naura. Naura pun membuka mata dengan salah tingkah. "Kamu mengantuk? Kenapa memejamkan mata?" tanya Saka ingin menggoda Naura. "Hah? Ng ... nggak," jawab Naura gugup. "Kalau kamu ngantuk tidur aja dulu di sini. Aku temenin, deh ...." "Ih ... nggak, Saka! Kita mau ngapain di sini? Aku pengin pulang." Naura merajuk. "Tujuh tahun kenal kamu, aku baru tahu kalau kamu bisa merajuk." Naura memalingkan wajahnya. Sebenarnya ia merasa malu karena tadi ia mengira Saka akan menciumnya. Sempat merasa gugup, tetapi ternyata Saka hanya menggodanya. Dengan telunjuknya, Saka menyentuh dagu Naura. Dibawanya Naura agar melihat ke arahnya. "Kamu lupa, kita udah nikah. Ini juga rumah kamu sekarang." "Hm ... maaf, maksud aku, aku ingin ke rumah ayah-mama. Lagipula, kita baru menikah beberapa jam lalu. Aku belum terbiasa," jawab Naura. Berada di dekat Saka dengan status yang sudah berbeda benar-benar membuat Naura panas dingin. Selain itu ia juga jadi bingung bagaimana harus bersikap di depan pria yang sudah resmi menjadi suaminya. Meskipun surat-suratnya menyusul. "Iya, aku ngerti kok. Aku ganti baju dulu, ya ...." Saka mengacak rambut Naura. "Ok, kalau gitu aku keluar." "Aish ... ngapain harus keluar? Kamu harus terbiasa sekarang. Bahkan melihat aku t*******g juga udah bukan larangan lagi." Tawa mengembang di bibir Saka. "Kenapa bahasamu jadi v****r gitu, sih ...," protes Naura kemudian mengembungkan pipinya. "Kan kamu tahu sendiri, suami kamu ini konyolnya kaya apa. Papa sama Mama Dea aja aku godain, masa kamu istri aku nggak aku godain. Mubazir ...," jawab Saka diiringi dengan tawanya. "Ya udah, situ ganti baju. Aku keluar. Siapa tau Tante Dea udah selesai nidurin Dilanya." "Kok masih Tante Dea? Mama, Sayang ... Mama Dea." Resmi menjadi suami istri rasanya Saka ingin terus menerus menggoda Naura. Jelas saja, memanggil Naura dengan panggilan sayang saja sudah membuat pipi Naura memerah. "Ih ... iya .... Udah sana buruan! Aku keluar." Akhirnya Naura keluar dari kamar Saka. Rasanya berada di dekat Saka harus banyak stok kesabaran. Naura tidak kesal, hanya saja ia merasa butuh pengendalian diri ekstra. Karena kerja detak jantungnya kini tidak beraturan jika berdekatan dengan pria itu. Setelah Saka mengganti baju, Saka dan Naura pamit kepada Raka dan Dea. Mereka nanti akan ke rumah Naura untuk membicarakan resepsi pernikahan Saka dan Naura. Usai pamit, Saka dan Naura pergi menggunakan mobil Saka. Di dalam mobil, Naura lebih banyak diam. "Kamu kenapa, sih? Kok jadi banyak diam?" tanya Saka, tangannya terulur mengusap pipi Naura. "Kamu yakin, kan, sama apa yang kamu lakukan?" "Tentang pernikahan kita?" Naura mengangguk. "Sangat yakin. Nau, kamu tahu sifat aku bagaimana. Aku bukan pria berengsek yang akan dengan mudah menyakiti wanita. Buang jauh-jauh trauma kamu." "Baiklah ... aku ingin kamu seperti ayah yang sekarang." "Lebih dari itu ...." *** Sesampainya di rumah, Aira langsung membukakan pintu. "Eh, ada penganten baru," godanya. "Silakan masuk ...." Saka tersenyum lain halnya dengan Naura yang justru menekuk wajahnya. Ia harus menyiapkan mental untuk godaan-godaan yang nanti akan didapatkannya. Mereka melangkah masuk. "Mama sama ayah mana, Ai?" tanya Saka. "Tadi abis nganter Aira, Tasya, sama Dira, mama sama ayah langsung ke warung. Nggak lama kok katanya." "Oh ... ya udah, kakak nyusul Kak Naura dulu, ya," pamit Saka karena Naura sudah mendahuluinya masuk ke kamarnya. "Iya, Kak. Oh iya, Kak Naura kalo tidur suka berantakan. Semoga nanti Kak Saka nggak kena tendangan mautnya, ya ...." Aira terkekeh. "Haha, kamu tenang aja. Kak Saka bakal jadi pasang dia." Setelah itu Saka menyusul Naura ke kamar. Di dalam kamar terlihat Naura sedang merebahkan tubuhnya dengan mata terpejam. "Ganti baju dulu, abis itu tidur kalau mau tidur." Naura tak menjawab. Saka duduk di samping Naura. Dipandanginya wajah istrinya itu. Wajah yang selalu menemani hari-harinya. Ia membungkukkan badannya. Digapainya pipi dan kening Naura dengan bibirnya. Naura membuka mata tepat saat wajah Saka berada di atasnya. Jantung Naura berpacu cepat, napasnya tak beraturan menerpa wajah Saka. Lagi-lagi Saka meniup wajah Naura. Sebenarnya ia juga ingin mengecup bibir Naura, tetapi rasa gugup tiba-tiba menderanya. *** Malamnya semua anggota keluarga Saka dan Naura berkumpul di rumah Farhan. Pulang dari warung, tadi Farhan langsung ke rumah ketua RT dan RW untuk meminta surat pengantar. Baru besok Farhan akan ke kelurahan, karena tadi kantor kelurahan sudah tutup. Mereka berkumpul di meja makan sekalian makan malam. Naura membantu Niken menyiapkan semuanya di meja makan. Saat Naura akan duduk di sebelah mamanya seperti biasa, Niken menegurnya. "Kok duduk di sini? Duduk di sebelah Saka dong, Sayang. Siapa tahu dia butuh sesuatu." Naura tersenyum kikuk kemudian menjawab, "Iya, Ma ...." Meja makan rumah Naura berisi 6 kursi. Di masing-masing ujung meja di duduki Farhan dan Raka. Sisi kiri Farhan Niken dan Dea, sementara sisi kanan Farhan Saka dan Naura. Aira bertugas menjaga adik-adiknya juga Dila, adik Saka. Farhan mengambil nasi lebih dulu, disusul Raka. "Ayo, Nau ... belajar layani suami kamu," ucap Niken. "Iya, Ma." Naura menurut saja. Apalagi di sana ada mertua barunya, ia tidak ingin mendapat kesan buruk. Setelah dilakukan diskusi sambil menikmati makan malam, akhirnya semua sudah diputuskan. Resepsi mereka akan dilakukan satu bulan lagi. Pukul setengah sepuluh malam, Raka sekeluarga pulang. Setelah sebelumnya ia memberikan wejangan pada Saka agar bisa menjaga sikap di rumah mertuanya. Tanpa basa-basi, Naura melenggang begitu saja ke kamarnya. "Semoga kamu nggak kaget sama sifat Naura ya, Ka ...," ucap Niken karena putrinya sepertinya lupa sudah menikah. Masuk kamar saja tidak mengajak Saka. "Nggak kok, Ma," jawab Saka disertai dengan senyumnya. "Ya udah, sana kamu istirahat. Kamu pasti lelah." "Iya, Yah ... Saka ke kamar dulu, ya ...." Niken dan Farhan mengangguk. Saka menyusul Naura ke kamar. "Nggak terasa ya, kita udah punya mantu," ucap Farhan matanya menatap pintu kamar Naura yang tertutup. Sedangkan tangannya sudah bertengger di pundak Niken. "Alhamdulillah, menantu kita Saka. Dari dulu aku udah suka sama anak itu." "Iya ... dia terlihat bertanggung jawab. Putri kita nggak jadi patah hati." "Patah hati?" "Aku belum cerita sama kamu, ya?" "Cerita apa?" "Soal Naura." Niken menggeleng. "Ya udah ayo aku ceritain di kamar," ajak Farhan. "Jangan mau kalah sama yang mau malam pertama," lanjut Farhan dengan suara berbisik yang kemudian dihadiahi Niken dengan cubitan di pinggang pria yang sudah tidak muda lagi itu. TBC.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD