"Om, izinkan Saka menikahi putri Om ... Saka berjanji akan membahagiakannya, Om ...."
Semua mata mengarah ke Saka. Tentu saja mereka terkejut dengan apa yang baru saja Saka ucapkan. Termasuk Farhan, orang yang tiba-tiba dimintai izin oleh Saka.
"Maksud kamu?"
Saka meringis memperlihatkan gigi-giginya. "Dari pada mubazir, Om. Pak penghulu udah jauh-jauh datang ke sini. Tapi nggak jadi nikahin orang, jadi izinkan Saka nikahi putri Om."
"Putri yang mana? Om punya tiga putri." Farhan tersenyum melihat ke arah Naura yang tengah menunduk dengan pipi merona merah.
"Putri sulung Om. Sahabat Saka yang Saka ingin menjadikannya sebagai sahabat hidup Saka."
"Kalau Om terserah anaknya. Coba kamu tanya dia mau apa nggak?" Mendapat lampu hijau dari Farhan, Saka segera meraih tangan Naura yang berada di atas pangkuannya.
"Nau, mau ya ...," mohon Saka.
"Mau apa?" tanya Naura malu-malu.
"Nikah ...."
"Masa mendadak gini, lagian berkas-berkasnya kan belum ada."
Mendadak Saka menjadi lesu. Orang yang berada di sana hanya tersenyum sambil geleng-geleng melihat apa yang Saka lakukan. Melamar dadakan. Saka mendekati papanya.
"Pa ... bantuin Saka, Pa ...." Saka merajuk pada papanya.
Raka tersenyum. Meskipun begitu, ia tetap membantu putranya. Didekatinya pak penghulu, mereka berdiskusi. Dan akhirnya penghulu itu memberikan kompensasi. Dengan syarat, besok Saka harus melengkapi surat-surat yang dibutuhkan. Tawa mengembang di bibir pria berusia 23 tahun itu.
Farhan memposisikan diri di sebelah penghulu. Sedangakan Naura duduk di samping Saka. Tanpa kebaya, hanya stelan kemeja dan rok panjang yang ia kenakan. Juga kerudung polos sederhana yang menutupi kepalanya.
Saka menjabat tangan penghulu, karena Farhan meminta penghulu yang menikahkan mereka. Bukan tanpa alasan, tetapi karena Naura ada di rahim Niken sebelum Farhan dan Niken menikah. Sebab itulah membuat hak dan kewajiban Farhan menjadi wali nikah Naura gugur. Farhan menjelaskannya dengan bisik-bisik kepada penghulu agar orang-orang tidak tahu aibnya. Penghulu pun memaklumi.
Mereka mengucapkan ikrar ijab kabul. Suara Saka terdengar mantap dan lantang. Raka bahagia, ia tahu sekarang, sebab putranya terlihat murung beberapa hari ini. Yaitu karena Saka akan menikahi wanita yang tidak dicintainya. Di samping Naura, Saka terlihat sangat bahagia.
Air mata haru mengalir di pipi Niken dan Alysa. Kedua putra putri mereka, kini bukan anak-anak lagi. Mereka benar-benar sudah dewasa. Dengan status mereka menjadi suami istri, ketika kata sah menggema di penjuru masjid.
Naura masih belum mampu berkata-kata. Ia masih belum percaya apa yang sedang terjadi. Sampai akhirnya Saka menyematkan cincin di jari manis Naura. Cincin yang dibelinya bersama gadis itu. Bahkan saat itu, Nauralah yang mencobanya.
Saka mencium kening Naura dalam. Kemudian Naura mencium punggung tangan Saka.
"Jadilah sahabat hidup aku untuk selamanya," bisik Saka. Naura tidak menjawab. Ia hanya tersenyum.
Usai acara ijab kabul tak terduga itu, Raka mengajak semua yang hadir di sana untuk makan siang. Jam memang baru menunjukkan pukul sebelas. Rumah makan tak jauh dari masjid menjadi pilihannya. Karena Raka memang telah mem-bookin-gnya.
Alysa, Niken, Dea dan anaknya duduk dalam satu meja. Deva dan Farhan duduk satu meja bersama pak penghulu. Sedangkan Raka duduk bersama ketua RT setempat dan yang lainnya.
Alika bersama Aira, Tasya dan Dira. Saka dan Naura ada di meja yang lain.
"Maafkan aku ya, nggak pakai acara spesial," ucap Saka.
"Aku?" Naura merasa aneh mendengar aku-kamu dari bibir Saka karena mereka biasa menggunakan gue-lo.
"Masa, udah jadi suami-istri masih pakai lo-gue ...."
"Kenapa kamu lakuin ini, Ka?"
"Karena aku yakin, kamu jodoh aku. Aku nyaman sama kamu."
"Kenapa baru sekarang?"
"Ya kan, aku kemarin pacar orang."
"Kalau aja tadi kamu jadi nikah sama Salsa gimana? Berarti kan dia jodoh kamu ...."
"Untungnya nggak. Udah jangan bahas itu. Kita makan dulu aja."
"Tapi aku nggak mau terluka nantinya, Ka ...."
"Nau, kapan aku pernah menyakiti orang? Aku tahu bagaiamana rasanya disakiti. Aku pernah menjadi saksi seperti kamu menjadi saksi orang tua kamu. Kamu bisa pegang janji aku. Entah kehidupan rumah tangga seperti apa yang akan kita jalani, tapi aku akan selalu berusaha untuk menjadi suami yang baik buat kamu. Aku akan berusaha untuk membahagiakan kamu." Tangan Saka menggenggam tangan Naura. Ingin sekali ia mengecup jari jemari Naura, tetapi ia tidak mau menjadi bahan godaan keluarganya.
Usai makan siang semua kembali ke rumah masing-masing. Kecuali Naura, ia diajak Saka ke rumahnya. Rencananya, nanti malam Raka akan ke rumah Farhan untuk membicarakan resepsi pernikahan putra putri mereka.
Alysa, Alika dan Deva langsung minta izin untuk kembali ke kota mereka karena Deva yang seorang dokter tidak bisa seenaknya ambil cuti.
"Mama titip Saka ya Naura, Sayang. Kapan-kapan main ke rumah. Saka! Ajak Naura kapan-kapan main ke rumah," ucap Alysa.
"Iya, Ma. Mama tenang saja," jawab Saka.
"Iya, Ma. Terima kasih sudah menerima Naura menjadi menantu Mama."
"Terima kasih juga kamu mau menikah sama anak mama yang konyol ini." Alysa memeluk putra dan menantunya. Setelah itu, Saka dan Naura mencium punggung tangan Alysa dan Deva bergantian.
"Alika pulang dulu, Kak. Ditunggu banget kedatangan Kakak Ipar."
"Iya ... jadi anak baik, jangan kecewakan mama papa!" pesan Saka kepada Alika.
"Tenang, Kak ... Kakak jangan khawatir!"
"Ya sudah, mama, papa sama Alika pulang dulu. Jangan lupa kabar-kabar tentang resepsi kalian."
"Beres, Ma ...."
***
Saka mengajak Naura untuk masuk ke rumahnya. Dea sedang menidurkan putrinya di kamarnya. Sedangkan Raka ada di ruang kerjanya.
Naura terlihat gugup saat memasuki kamar Saka. Meskipun mereka bersahabat, ini adalah pertama kalinya Naura masuk ke kamar Saka. Apalagi status mereka sudah berbeda.
"Ka ... nanti malam, nggak apa-apa kan kalau aku tidur di rumah?" tanya Naura ragu.
"Nggak apa-apa, aku yang ngalah deh tidur di kamar kamu," jawab Saka santai.
"Tidur di kamar aku? Satu ranjang?" Naura tahu, pertanyaannya memang aneh. Ia hanya merasa gugup karena prosesnya terlalu cepat. Bahkan sedikit pun tidak pernah terlintas di pikirannya untuk menikah secepat ini dengan sahabatnya sendiri.
"Ya iyalah ... masa udah nikah, tidur terpisah ....."
"Ng ... tapi ... tapi ... kamu nggak ngorok, kan?" Sebenarnya bukan masalah ngorok tidaknya Saka, Naura hanya belum siap membayangkan apa yang orang bilang malam pertama.
"Nggak ... tenang aja." Saka merangkul bahu Naura. Mereka sedang duduk di tepi ranjang. Meskipun bukan pertama kalinya Saka merangkulnya, namun kali ini cukup memberikan efek yang luar biasa bagi jantung Naura. Apalagi saat wajah Saka mendekat ke wajahnya. Refleks, Naura memejamkan matanya.
Tbc.