3. Demi Apa?!

1679 Words
Pagi ini suasana kantor terlihat grusak-grusuk. Nina sibuk bolak balik keluar masuk ruang file dan meninggalkan counter Customer Service-nya. Sedangkan Mbak Via, bosnya operation terlihat berwajah tegang dan enggak membalas sapaanku. Ada apa sih? Rasanya tadi waktu briefing, mood-nya Pak Revano juga sedang bagus. Nggak marah-marah dan mengomentari ini itu yang sepele, seperti meja yang berdebu, kaca yang kurang kinclong, ataupun keranjang sampah yang kurang kece. "Cek berkas-berkas di laci lo. Jangan sampai ada buku tabungan nasabah atau dokumen presign." Mbak Lana menghampiriku saat aku baru mau menaiki tangga ke lantai dua. "Emang kenapa, Mbak? Pak Revano kambuh lagi?" tanyaku. "Ada auditor. Buruan, jangan sampai mereka curiga," bisiknya. Aku memutar bola mataku. Pantas saja pagi ini suasana kantor mendadak gaduh. Biasanya yang paling banyak diincar oleh auditor adalah tim marketing. Banyak celah-celah yang memungkinkan marketing melakukan pemalsuan, penipuan, dan kebohongan demi target. Tapi tim marketing jugalah yang paling enggak mau ambil pusing saat auditor mulai datang. Tinggal kabur aja, pura-pura ada janji sama nasabah. Tinggalah tim operation yang kelimpungan saperti cacing kepanasan. Grusak-grusuk sana-sini dengan wajah tegang plus kesal. Aku termasuk orang yang nggak ambil pusing dengan kedatangan auditor. Toh mereka juga manusia. Aku melangkahkan kaki dengan perlahan sambil berusaha mengingat-ingat benda apa saja yang kusimpan di laci. Selain mengurusi kerjaan, auditor juga kadang mau tahu urusan pribadi. Masa sampai area pribadi seperti tas, loker, dan laci juga mesti diperiksa? "Rea?" Aku menegadahkan wajah saat mendengar namaku disebut. Sesosok makhluk tampan sedang berdiri tepat di hadapanku. Otot-otot kekarnya terlihat malu-malu menyembul dari balik kemejanya. Owh! "Iya," jawabku ragu sambil meneliti lelaki di hadapanku ini. Sejak kapan aku punya kenalan lelaki seperti ini, yang bisa buat jantung ketar-ketir hanya dengan melihat jempol kakinya. "Gue Niko. Masih ingat nggak? SMA Harapan kan?" Bahkan suaranya juga terdengar sangat merdu. Apa tadi katanya? Niko?! Si culun berkacamata yang pernah ngirim surat cinta ke aku? Serius?! "Niko?!" Aku bahkan masih tidak yakin dengan ingatanku. "Iya. Yang dulu pakai kacamata," ujarnya. Aku tersenyum ngeri. Masa sih orang seculun itu bisa bertransformasi sedrastis ini? Dia nggak habis operasi plastik kan? "Gue ingat kok. Kok lo ada di sini? Karyawan baru?" tanyaku bersemangat, bahkan terlalu bersemangat. "Oh, kebetulan seminggu ini gue dan tim bertugas di cabang lo," jawabnya. Tunggu...jangan bilang Niko ini auditor yang akan memporak-porandakan cabangku kali ini. "Lo...auditor?" tanyaku ragu. Dia mengangguk sambil tersenyum. Bagaimana bisa aku melewati hari-hariku di kantor ini dengan auditor yang setampan Niko? Aku pasti bisa gila! "Gue ke bawah dulu. Mau periksa ruang khasanah. Ntar minta kontak lo ya." Katanya sambil meninggalkanku yang hampir ngiler menatap perut ratanya. Kalau auditor-nya setampan itu, diperiksa setiap haripun aku rela kok. "Rea, ke ruangan saya sekarang." Byar, dan lamunanku buyar seketika dengan pemandangan si bos galak yang sedang menatapku tajam. Selalu saja begitu, menganggu imajinasiku. "Ada apa, Pak?" tanyaku sambil mengikuti langkahnya. "Ada beberapa permintaan special rate deposito yang belum lengkap tanda tangan pejabatnya." Dia membuka pintu ruangannya dan membiarkan aku masuk. "Biasanya Mbak Lana yang ngerjain, Pak," kataku. "Lana sedang ada janji sama nasabah. Kamu aja yang kerjakan," sahutnya. Aku mengernyit. "Kerjakan di komputer saya. Kamu tinggal mem-foward email yang sudah ada. Tinggal kamu cocokan datanya dengan di sistem," perintahnya. "Biar saya kerjakan di meja saya aja, Pak," kataku risih. Masa iya aku mesti berduaan dengannya di ruangan ini. "Disini aja! Setelah itu masih ada yang harus kamu kerjakan lagi," ujarnya. "Tapi Pak, saya ada janji sama nasabah siang nanti." "Tunda dulu sampai besok," sahutnya enteng. "Kan, lebih penting cari nasabah daripada ngerjain hal sepele kayak gini, Pak," protesku. Mendadak matanya melotot tajam. Aku pura-pura tidak melihat dan sibuk menatap ponselku yang memang berbunyi karena ada pesan masuk "Jangan cari alasan. Hal sepele kayak gini kalau jadi temuan auditor bisa menurunkan nilai kalian." Suaranya terdengar meninggi. Aku menyimpan kembali ponselku. Ternyata pesan dari Niko. Cepat juga dia mendapatkan nomor ponselku. "Tapi sampai jam makan siang aja ya, Pak," pintaku dengan nada memelas yang dibuat-buat. "Kamu juga biasanya makan siang di kantor." Dia kemudian duduk di sofa dan mengambil koran hari ini. Enak banget ya jadi bos, tinggal perintah ini itu. "Diajak makan siang sama auditor yang tadi, Pak. Kebetulan teman sekolah dulu." Aneh kenapa harus kujelaskan segala sih. "Telepon Rohim. Minta belikan dua bungkus nasi di warteg sebelah!" Perintahnya tak terbantah. Duh si Bapak ngerti enggak sih sama omonganku tadi. Ngapain dia mau bungkus nasi segala. "Sebaiknya kamu jangan terlalu menjalin hubungan baik dengan auditor. Mereka memang terlihat baik di hadapan kita, padahal saat itulah sebenarnya mereka sedang mengintrogasi dan menemukan kesalahanmu." Kata-kata yang keluar dari mulutnya seperti pidato di siang bolong. Nggak penting. "Dan kamu jangan keluar dari ruangan ini sampai saya ijinkan!" *** "Kembali ke kantor dalam waktu lima belas menit!" Suara Pak Revano masih bergema di telingaku. Astaga! Bagaimana dia bisa begitu menjengkelkan selama beberapa hari ini. Setelah hampir seminggu menyekapku di ruangannya untuk mengerjakan hal nggak pentingnya. Sekarang dia kembali mengacaukan hak dan kebebasan pribadiku. "Siapa?" tanya Mbak Lana sambil membolak-balik pakaian dalam diskonan. "Pak Revano," sahutku sambil cemberut. "Lo bilang apa sama dia?" Mbak Lana telah mendapatkan sepasang pakaian dalam berwarna biru elektrik dan kemudian mendekapnya ke dalam pelukan. "Bilang kita lagi prospek nasabahlah, Mbak. Masa gue bilang kita lagi di mall," sahutku. Mbak Lana nyengir. "Disuruh balik ke kantor nih. Katanya ada pengajuan nasabah prioritas gue yang enggak lengkap berkasnya," jelasku. Mbak Lana mengernyitkan keningnya, tampak sedang berpikir. "Nggak mungkin deh kayaknya. Sebelum sampai ke tangan dia, pasti sudah gue periksa kok. Masa sih masih ada yang kurang," ujar Mbak Lana. Aku mengangkat bahuku, tidak tahu harus menjawab apa. Entah kenapa, perasaanku mengatakan jika Pak Revano senang sekali melihat aku menderita. Semua pekerjaan yang aku lakukan tidak pernah bagus di matanya. Bahkan menghirup napas pun bisa dikomentarinya. Berbeda halnya dengan Marsha, marketing junior yang cantiknya mirip artis. Dengan hanya mengandalkan kecantikannya yang nggak sebanding dengan otaknya, Pak Revano tampak baik-baik saja. Nggak pernah sekalipun dia memarahi Marsha yang kadang mengetik saja masih menggunakan satu jari. Huh dasar playboy! Nggak bisa lihat yang bening sedikit aja. Sekali lihat yang standar macam aku, bawaannya emosi. "Ya sudah, lo balik gih ke kantor," usir Mbak Lana. Aku tersenyum masam. Padahal baru hari ini aku bisa menghirup udara bebas, masa harus balik ke kandang singa lagi? "Mbak, lo teleponin Pak Revano ya. Bilangin kalau gue lagi prospek nasabah besar, dan nggak bisa diganggu. Please....please ya Mbak," pintaku dengan wajah memelas. "Ogah! Pak Revano pasti tahu kalau gue bohong." Aku mengikuti langkah Mbak Lana menuju kasir. Dia menyerahkan beberapa pakaian yang telah dipilihnya tadi. Aku menarik napas kesal. Aku saja belum mendapatkan satupun pakaian. "Kalau gitu temanin gue balik kantor ya, Mbak," pintaku lagi. Mbak Lana menoleh sekilas ke arahku setelah sebelumnya menyerahkan kartu kreditnya pada kasir. "Nggak bisa. Gue habis ini mau ketemuan sama pemilik toko yang kemarin ngajuin diri jadi merchant kartu kredit kita," sahutnya. Aku melengos. Ini pasti hanya alasan Mbak Lana. Dia juga sepertinya sedang menghindari Pak Revano setelah sebelumnya Pak Revano menyerahkan nasabahnya pada Marsha tanpa ijin terlebih dahulu. Bagi marketing, nasabah itu ibarat berlian yang mesti dijaga biar jangan sampai diembat bank lain. Tapi kalau kenyataannya diembat teman sesama marketing, paling yang bisa dilakukan cuma ngelus dada. Dan lebih parahnya, atas rekomendasi bos lagi. Nasabah yang dicari dengan tetes keringat itupun harus melayang. Pokoknya marketing kesayangan Pak Revano itu hanya Marsha, apa-apa yang menyenangkan pasti Marsha. Sedangkan aku kebagian yang nggak enaknya. Mungkin jika Marsha yang meminta ijin keluar kantor dengan alasan ingin pedicure dan menicure, pasti diijinkannya. Sedangkan aku, mau keluar beli pembalut aja, diintrogasinya macam teroris. Akhirnya aku dan Mbak Lana berpisah di pelataran mall. Mbak Lana menggunakan mobil kantor, sedangkan aku menunggu ojek online biar bisa cepat sampai di kantor. Derita karyawan dengan gaji pas-pasan, mau pesan taksi takut kemahalan. Ponselku sudah beberapa kali bergetar pelan. Sudah dapat ditebak, pasti telepon dari Pak Revano. Nggak sabar banget sih jadi orang. Apa pengaruhnya sih buat dia kalau aku telat balik ke kantor. Aku mengabaikan panggilannya dengan mengubah mode ponselku. Lagipula aku sedang berada di atas motor, ribet banget mau menjawab teleponnya. Suasana di banking hall terlihat sepi saat aku datang. Hanya ada dua orang nasabah yang sedang bertransaksi di teller. Aku mengedarkan pandanganku mencari sosok Bos penebar teror itu. Nggak sulit mencari Pak Revano. Kalau dia nggak ada di banking hall, pasti saat ini dia sedang berada di ruangannya. Jabatannya memang dua, jika sedang berada di banking hall dia akan berubah menjadi Kepala Office boy. Kalau lagi di ruangannya, baru deh jadi Pimpinan Cabang. Selalu ada saja yang dikomentarinya jika berada di banking hall. Entah itu butiran pasir di lantai yang mengganggu padangannya ataupun penempatan tanaman hias yang nggak sesuai dengan keinginannya. Kalau aku jadi Rohim, OB kantorku, mungkin sudah kuserahkan seragam OB-nya. Sepertinya si Bos lebih cocok pakainya. Tepat dugaanku Pak Revano memang sedang berada di ruangannya. Tapi ada seorang wanita yang sedang bersamanya. Aku pura-pura mondar-mandir di depan pintunya agar dia menyadari kehadiranku sambil mau memastikan siapa sosok wanita itu. Sesekali terlihat wanita itu menunduk malu dan ada kalanya dia tertawa anggun sambil menatap mata Pak Revano dengan penuh harap. Dasar dua-duanya sama aja ganjennya. "Masuk, Rea! Jangan mondar-mandir kayak setrika," suaranya terdengar mengerikan. Aku memasang wajah bego sambil memasuki ruangannya. Dia menatapku tidak senang, sepertinya aku salah karena telah menganggu waktu kencannya. "Permisi Ibu," kataku pada wanita itu sambil menganggukan kepalaku. "Kamu ini gimana sih, semua berkas pengajuan nasabah prioritas Ibu Vero nggak ada tanda tangannya satupun," ujarnya berang. Aku bengong selama beberapa detik. "Vero siapa, Pak?" tanyaku bingung. "Loh, ini Ibu Vero. Masa nasabah sendiri aja lupa." Pak Revano mengarahkan padangannya pada wanita yang sedang duduk di hadapannya. Aku melongo. "Maaf Pak, Ibu Vero ini nasabahnya Marsha. Kalau Bapak mau komplain, jangan ke saya." "Ohh, panggil Marsha kalau gitu," ujarnya enteng. Demi apa dia menyuruhku balik ke kantor?! Demi hal enggak berguna seperti ini? Oh God! Rasanya ingin kucabutin kumisnya pakai pinset sampai nggak bersisa!(*)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD