2. Mau Makan Apa?

1502 Words
Hari ini rasanya bakal jadi hari terberat sepanjang karierku sebagai marketing. Membohongi bos demi sebuah pencitraan ternyata bukan hal yang bagus. Dari semalam aku sudah mati-matian melobi Mbak Gladys, calon nasabah yang ditargetkan Pak Revano untuk bisa bertemu dengannya. Tapi nihil, Mbak Gladys tetap bersikeras nggak mau membantuku, bahkan membuka tabungan dengan setoran awal minimum juga tidak mau dilakukannya. Padahal bisnis cafe-nya sedang bagus-bagusnya. Alasanya simpel, sudah terlalu banyak punya tabungan. Orang kaya sih bebas, seenaknya saja mempermainkan hati marketing. "Bagaimana, kita sudah bisa berangkat sekarang?" tanya penjajah...ups maksudku Pak Revano. Meeting pagi baru saja selesai, dia bahkan tidak menungguku menghabiskan teh panas yang barusan kuseduh. "Sebentar, Pak. Saya sarapan dulu," sahutku. Kontan wajah Pak Revano berubah. Aneh, memangnya aku nggak boleh mengisi energi? Mobil aja butuh bahan bakar. "Biasakan sarapan di rumah. Kantor tempat buat bekerja bukan santai-santai sambil menikmati sarapan." Dia berlalu meninggalkanku yang belum sempat membalas perkataannya. "Sarapan saya itu cuma minum teh, Pak." Suaraku terdengar meninggi. Biarin, masa bodoh dengan statusnya sebagai atasannya. Aku cuma minum teh seteguk aja kok enggak boleh. "Oke, saya tunggu di mobil. Jangan lebih dari lima menit." Oh God! Ini masih pagi dan semangat kerjaku sudah pada level terendah. Aku meneguk teh panasku buru-buru sampai rasanya lidahku kebas karena kepanasan. Kenapa sih dia mau ikut-ikutan ketemu nasabah. Daripada panas-panasan di lapangan, mending di kantor aja duduk-duduk sambil menikmati dingingnya pendingin ruangan. Kan, ribet urusannya jika harus bertemu nasabah dengan membawa bos macam gini. Dalam hati aku terus merapal doa semoga mendadak Pak Revano terserang mencret-mencret dan membatalkan rencananya hari ini. Duh! "Duduk di depan! Ngapain kamu di belakang!" Baru saja bokongku mendarat mulus di jok belakang mobil. Dari depan, Pak Revano menatapku tajam. Loh kemana Pak Sapri, driver kantor ini? "Kok Bapak yang bawa mobil?" tanyaku heran tanpa mau beranjak dari dudukku. "Pindah ke depan!" ulangnya lagi tanpa menjawab pertanyaanku. "Ini mobil kantor loh, Pak. Masa Bapak yang bawa." Aku menantang tatapan tajam matanya. "Sapri ijin nggak masuk. Istrinya mau melahirkan. Sudah cukup penjelasannya?" Aku beringsut dari dudukku setelah mendengar penjelasannya. Apa salahnya juga kalau aku duduk di belakang. Sesekali ngerasain disopirin bos kayaknya asyik. Akhirnya aku duduk dengan manis di kursi depan didampingi oleh Pak Bos yang hari ini beralih profesi menjadi sopir. "Kalau pagi gini, biasanya Mbak Gladys belum ada di Cafe-nya, Pak," jelasku dengan nada suara yang dibuat setenang mungkin. Dia menoleh ke arahku sekilas dan kemudian tampak tidak perduli. "Buka laci dashboard!" perintahnya. Aku melongo beberapa saat dan baru tersadar saat suara deru mobil mulai terdengar. "Ada apa di laci, Pak?" Tak urung rasa penasaranku membuat tanganku bekerja lebih lambat. Aku membuka laci dengan gerakan perlahan, takut sesuatu yang tidak kuinginkan meloncat dari dalam sana. Mungkin saja Pak Revano sangat kesal padaku dan menaruh bom di dalamnya. Sebungkus besar roti coklat?! "Ini buat apa, Pak?" tanyaku bingung. Aku mengeluarkan roti itu dengan ragu. Apa mungkin Pak Revano berniat memintaku untuk menyuapinya dengan roti ini di sepanjang perjalanan nanti? Ih amit-amit. "Habiskan! Saya nggak mau kamu pingsan di depan nasabah," sahutnya. Aku menoleh ke arahnya lagi. "Enggak ada racunnya, kan, Pak?" tanyaku dengam suara pelan. Dia mendelik sekilas ke arahku. Aku nyengir dan kemudian dengan bersemangat membuka bungkusnya. Yaah, aku memang murahan. Dengan sebungkus roti ini aja sudah bisa memperbaiki mood-ku yang jelek dan melupakan kekesalanku pada si bos. *** Entah pesona apa yang ditebarkan Pak Revano di depan Mbak Gladys. Si Pelit itu mendadak luluh dan memindahkan seluruh tabungannya dari bank lain. Pasti tadi tersihir kedipannya Pak Revano. Percuma saja semalam aku mati-matian merayunya. Huh, dasar nggak bisa lihat lelaki ganteng sedikit. Awas aja kulaporin ke suaminya. Eh...lebih baik jangan! Biar gimanapun dia sudah membantu meluruskan kebohongan yang aku ciptakan. "Good job, Rea!" puji Pak Revano di dalam mobil. Wajahku menghangat. Bagaimana tidak, di kantor tidak pernah sekalipun Pak Revano menaruh perhatian pada pekerjaanku. Jangankan memuji, menoleh aja nggak. Dia, kan suka tipe cantik seperti Marsha ataupun sexy seperti Mbak Lana. Nah kalau aku, apanya?! Aku sudah sering mendengar desas-desus tentang Pak Revano dari mantan bawahannya di cabang lain. Pak Revano sangat royal dan baik terhadap karyawan wanitanya, terutama yang berparas cantik dan menggoda. Yaah, gitu deh. Tahu sendiri kan sebutannya. Playboy! Bahkan bukan hanya dengan karyawannya, dia juga sering bergenit ria dengan nasabah. Uhh, jadi ilfeel deh. "Kamu kenapa senyum-senyum sendiri?" Lagi-lagi suara galak itu mengacaukan lamunanku. Nggak bisa ya lihat aku senang sebentar saja dengan mengosipkannya di dalam hati. "Saya lapar, Pak," jawabku asal. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas siang. Waktu yang tepat untuk buru-buru pulang ke kantor dan makan di warteg sebelah. "Mau makan apa? Nanti saya yang traktir."  *** "Warteg sebelah kantor, Pak," jawabku jujur. Seketika wajah Pak Revano berubah, keningnya berkerut dan bibirnya melengkung sinis. "Nggak ada pilihan lain?" tanyanya masih dengan wajah meremehkannya. Bos aneh, dia sendiri yang tanya mau makan apa. Giliran dikasi pilihan, malah nggak mau. "Nggak ada, Pak. Cuma disitu satu-satunya tempat makan yang bisa bayar dengan duit sepuluh ribuan," sahutku. Kalau selevel dia sih, mau makan dimanapun nggak perlu pikir. Nah aku dengan gaji pas-pasan yang hanya setara tunjangan jabatannya, harus bisa mengatur menu makanku setiap hari. "Saya yang traktir! Cari makan yang berkelas sedikit dong," ujarnya. Aku meliriknya sekilas. Huh dasar sok kaya, diajak makan murah nggak mau. Mana aku tahu jika disuruh memilih tempat makan dengan seleranya yang seperti itu. "Tapi saya lagi pengen makan disitu, Pak," kataku dengan wajah memelas.  Wajahnya semakin berkerut. "Nggak!" Dia tetap bersikeras. "Kita kebetulan lagi jauh dari kantor, ngapain kamu balik ke kantor lagi cuma makan makanan yang dimanapun bisa kamu temui," lanjutnya. Aku tersenyum masam. Kalau makan jauh dari kantor, jangan-jangan setelah ini dia masih mau mengajakku prospek nasabah. Padahal aku sudah eneg setengah hari bersamanya. Nggak asyik nih si Bos. "Ya sudah kalau gitu, Bapak aja yang tentukan mau makan dimana," sahutku lemah. Dia tersenyum penuh kemenangan. *** "Jangan lupa tinggalkan kartu namamu." Dia meneguk air mineralnya dengan perlahan. Aku kira dia akan mengajakku makan di restoran ternama di Jakarta atau paling nggak yang saat bayar tagihannya bisa buat perut mulas saking mahalnya. Ternyata dia hanya membawaku ke rumah makan Padang yang bahkan di dekat kantor juga ada. Seperti dugaan awalku, dia pasti berencana membawaku untuk mencari nasabah baru. Dilihat dari tingkah lakunya yang sok berbasa basi dengan pemilik rumah makan tadi, aku yakin dia pasti mengincar pemilik rumah makan Padang ini. Masa pakai tanya cabe sekilo berapa, nggak penting banget basa-basinya. "Pakai kartu nama Bapak aja," ujarku sambil menyeka mulut dengan tisu. Sebagai marketing, aku nggak asal kasih kartu nama buat calon nasabah.  Harus calon nasabah yang benar-benar terseleksi. Aku sudah pernah diteror calon nasabah gara-gara asal menyebar kartu nama yang berisi nomor ponselku. Dari sok ngajak kenalan sampai marah-marah gara-gara kecewa sama produk bank. Memangnya aku call center? "Loh tujuan saya ngajak kamu makan disini biar bisa ngelobi pemilik rumah makan ini." Wajahnya tampak tidak senang. "Tapi, kan, tadi Bapak yang ngelobi, bukan saya," sahutku. "Jangan suka pilih-pilih nasabah." Dia menatapku tajam. "Saya nggak pilih-pilih nasabah, Pak. Cuma nggak sreg aja sama calon nasabah yang Bapak pilih," kilahku. "Sama aja," katanya ketus. Aku menundukku kepala, pura-pura takut menatapnya. "Saya nggak suka nasi Padang, Pak. Masa tiap prospek ke sini, saya mesti pura-pura makan nasi Padang yang saya nggak suka," ujarku dengan suara pelan. Wajah Pak Revano kontan berubah. Dia seperti sedang menahan tawa tapi pura-pura berlagak angkuh. Jadi marketing itu harus banyak menguasai trik. Kalau nasabahnya punya toko pakaian, paling enggak sebelum prospek, beli satu atau dua baju dari tokonya. Baru deh setelahnya bisa basa-basi nawarin produk. Yang gawat kalau nasabahnya dealer mobil, paling aku cuma bisa senyum-senyum sambil elus-elus mobilnya. "Nggak harus makan disini juga kali," sahut Pak Revano. "Kamu bisa ngobrol hal-hal yang disukai nasabah sampai mereka nggak canggung lagi. Ciptakan kedekatan sama nasabah bukan keterpaksaan." Waduh, si Bos ini malah ceramah. Aku mengusap keningku yang berkeringat karena efek makanan pedas. Aku tidak suka makanan pedas, karena selalu sukses mengacaukan riasanku dengan keringat yang bercucuran. "Lain kali kita makan di tempat yang kamu suka aja," kata si Bos tiba-tiba. Aku mengangkat wajahku. Lain kali? Ini yang terakhir! "Kenapa nggak bilang kalau kamu nggak bisa makan pedas," lanjutnya. "Percuma, Pak," sahutku. Bapak, kan tipe tukang paksa paling yahud. "Ya sudah ayo balik ke kantor. Saya ada janji dengan direktur BPR Persada," katanya kemudian. Aku menarik napas lega. Syukurlah, aku kira dia akan mengajakku keliling Jakarta lagi dengan kondisi badanku seperti habis disauna. Aku buru-buru beranjak dari dudukku dan menuju parkiran sebelum Pak Revano memaksaku meninggalkan kartu namaku di rumah makan ini. Lagipula aku sebagai pihak yang ditraktir lumayan tahu diri kok dengan nggak mau tahu berapa tagihan makan kami tadi. "Sudah cukup dinginnya?" tanyanya saat di mobil sambil menurunkan temperatur pendingin mobil. Sebelum sempat aku menjawab, dia mengambil beberapa helai tisu dari atas dashboard mobil dan menyerahkannya padaku. Aku menatapnya bingung, tanganku bahkan lebih dekat untuk menjangkau tempat tisu itu. "Besok ajak saya kalau kamu mau makan di warteg sebelah kantor," ujarnya sambil menyalakan mesin mobil.(*)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD