Cahaya putih menyilaukan mata Marina ketika perlahan kesadarannya kembali. Napasnya berat, d**a terasa nyeri setiap kali menarik udara. Ia mencoba menggerakkan lengan, tetapi pergelangan tangannya terasa ditusuk-tusuk.
Tubuhnya kaku, seperti baru disusun ulang dari kepingan-kepingan yang remuk.
Suara langkah kaki pelan terdengar dari sisi tempat tidur. Seorang perawat muda mendekat sambil membawa clipboard. “Miss Woodhsen?” panggilnya lembut. “Anda sudah sadar? Bisa mendengar suara saya?”
Marina mengerjap pelan. “Di mana saya?” suaranya terengah serak.
“Di rumah sakit St. Ellis,” jawab perawat itu sopan. “Anda mengalami kecelakaan satu hari yang lalu. Taksi yang Anda tumpangi tertabrak truk dari arah berlawanan.”
Marina diam. Pikirannya berusaha mencerna kalimat itu. Satu hari lalu? Ia menatap langit-langit, mencoba mengingat, dan tiba-tiba bayangan kaca pecah, suara dentuman keras, serta teriakan samar sopir taksi berkelebat di kepalanya.
“Apakah saya …?” suaranya terhenti karena sakit di d**a. “Parah? Apakah luka saya parah?”
Perawat itu tersenyum menenangkan. “Tidak terlalu, Nona. Anda beruntung karena mengenakan sabuk pengaman. Tapi, mohon jangan banyak bergerak dulu. Dokter akan segera datang.”
Beberapa menit kemudian, pintu kamar terbuka. Seorang pria paruh baya dengan jas putih dan stetoskop di leher masuk, menatap Marina. “Selamat pagi, Nona Woodhsen. Saya dokter yang menangani Anda.”
“Senang melihat Anda sudah sadar. Apa Anda ingat kejadian terakhir?”
“Y-ya … saya hendak berangkat ke kantor, lalu taksi saya ditubruk truk. Uhm … apakah luka saya parah? Berapa lama saya harus di sini?” tanya Marina pelan.
“Saya sudah memeriksa hasil CT scan dan rontgen,” ujar dokter itu tenang. “Anda mengalami gegar otak ringan dan ada dua tulang rusuk yang retak.”
“Tidak perlu operasi, hanya istirahat penuh sekitar lima hari. Setelah itu, kami akan evaluasi ulang apakah Anda sudah boleh pulang.”
Marina hanya mengangguk. Rasa sakit menjalar pelan di sisi kiri tubuhnya. Dokter itu menatapnya sejenak, lalu menulis sesuatu di berkas pasien dan berpamitan.
Waktu berlalu lambat. Siang berganti malam, malam berganti pagi, tapi ruangan itu tetap terasa dingin dan sunyi. Marina hanya ditemani suara mesin infus dan langkah perawat yang datang memeriksa tiap beberapa jam. Tidak ada pesan masuk, tidak ada telepon.
Ia sengaja tidak mengabarkan kecelakaan ini pada siapa pun. Bukan karena ingin terlihat kuat, tetapi karena ingin tahu apakah sang kekasih yang sedang di Italia akan mencarinya atau tidak.
Hari pertama terlewati. Lalu, hari kedua. Ketiga. Keempat. Hingga hari kelima datang, dan layar ponselnya tetap kosong. Tidak ada nama Antonio di sana. Tidak ada pesan, tidak ada panggilan, tidak ada tanda bahwa lelaki itu bahkan peduli ia hidup atau mati.
Ketika dokter mengatakan bahwa ia sudah boleh pulang, Marina hanya tersenyum hambar. “Terima kasih, Dok,” katanya pelan. “Saya akan beristirahat di rumah.”
Dokter mengangguk, memberi resep obat dan surat izin pulang. Marina menandatangani beberapa berkas lalu memanggil perawat. “Maaf, bagaimana dengan administrasi? Apakah pihak asuransi dari kantor saya sudah menyelesaikannya?”
Perawat itu tampak ragu sejenak, lalu menjawab, “Semua sudah diselesaikan, Nona. Tidak melalui asuransi, tapi langsung dibayar lunas oleh seseorang.”
Marina menatap tertegun. “Seseorang? Siapa?”
Perawat itu menunduk. “Maaf, saya tidak tahu namanya. Kami hanya menerima instruksi agar semua tagihan ditutup, tanpa mencantumkan identitas penanggung.”
Keheningan mengalir di antara mereka. Marina tidak bertanya lagi. Ia tahu tidak akan mendapat jawaban dari staf rumah sakit. Sudahlah, yang penting sekarang ia bisa pulang.
Mengenakan pakaian yang dikirim oleh tetangga apartemennya ke rumah sakit, perlahan ia keluar dari sana.
Jemari yang masih kaku dan dibalut perban tipis menghentikan taksi, lalu duduk di kursi belakang. Tubuhnya masih terasa lemah, tetapi matanya menatap lurus ke depan, seperti sedang menahan sesuatu yang tidak ingin meledak, yaitu emosi dan kesedihan.
Saat taksi baru melaju beberapa ratus meter, ponselnya berdering. Marina menatap layar. Tidak ada nama. Tidak ada nomor. Hanya layar kosong yang tampak mengerlip di tangannya.
Sudah bisa menduga siapa yang menelepon dengan keadaan seperti ini, misterius.
Ia menarik napas panjang, lalu menekan tombol hijau. “Halo, Draco.”
Suara di seberang terdengar dingin saat bertanya. “Apakah kamu baik-baik saja? Sudah pulang dari rumah sakit rupanya?”
Marina membeku sejenak. “Kamu tahu?”
“Hmm, menurutmu?” tanggap sang pria singkat.
Detak jantung Marina meningkat sedikit lebih pesat. “Aku … ya, aku baru saja keluar rumah sakit.”
“Aku tidak tahu kalau kamu sudah pulang. Kalau aku tahu, akan kusuruh orang untuk menjemputmu.” Nada berat itu terdengar bersungguh-sungguh, bukan sekadar gombalan palsu.
Marina menggigit bibir. Suara Draco memang tidak bernada lembut, tapi ada sesuatu di sana … entah perhatian, entah perintah … yang jelas membuat jantungnya berdetak tidak beraturan.
“Tidak apa-apa,” helanya lirih. “Aku baik-baik saja sekarang. Sudah menuju apartemen.”
Ada jeda sunyi. Hanya terdengar napas dari kedua sisi.
Lalu Marina memberanikan diri bertanya, “Apakah kamu yang membayar semua biaya rumah sakit?”
Beberapa detik hening. Kemudian Draco menjawab hanya dengan kalimat samar, “Seorang lelaki harus bertanggung jawab terhadap wanita yang akan dinikahinya.”
Marina menatap ponselnya seolah bisa melihat wajah di balik suara itu. “Kenapa? Kenapa rela mengeluarkan uang untuk membayar biaya rumah sakit?” tanyanya lirih. “Kita bahkan belum benar-benar bertemu. Apa kamu tidak takut uangmu keluar sia-sia?”
“Kita akan bertemu,” ujar Draco datar. “Tapi bukan hari ini. Aku masih di luar negeri. Mungkin tiga hari lagi aku kembali ke New York. Setelah itu, aku akan menghubungimu, dan kita akan membicarakan semuanya secara langsung.”
Lalu, ia tertawa kecil dan tetap terdengar acuh. “Aku tidak pernah takut mengeluarkan uang, apalagi hanya jumlah … yah, itu jumlah yang terlalu kecil."
Restoran termahal yang kemarin seharusnya menjadi tempat pertemuan mereka, biaya rumah sakit yang katanya kecil. Marina mengerutkan kening dan mulia berpikir siapa Draco sebenarnya?
“Baiklah, kita bertemu saat kamu sudah kembali.” Marina menunduk, memandangi jari-jarinya yang pucat dan memiliki bekas luka gores akibat pecahan kaca. “Aku akan menunggu kabarmu.”
Draco tidak menjawab langsung. Hanya terdengar suara napasnya, lalu kalimat pelan yang terasa seperti perintah terselubung. “Jaga dirimu, Marina. Aku tidak suka kehilangan sesuatu yang sudah menjadi hakku.”
Klik!
Telepon terputus.
Marina mematung beberapa detik, lalu meletakkan ponsel di pangkuannya. Kata-kata itu bergema di telinganya lama sekali. Ia tidak tahu apakah harus merasa tenang atau takut.
“Aku tidak suka kehilangan sesuatu yang sudah menjadi hakku.”
Uh, kenapa kalimat itu membuat bulu kuduknya berdiri?
Taksi terus melaju menembus jalanan sore. Langit New York berwarna kelabu, awan menumpuk di atas gedung-gedung tinggi. Marina menyandarkan kepala di jendela, matanya setengah terpejam.
Pikirannya melayang pada dua pria yang kini mengisi hidupnya dengan cara berbeda. Antonio yang semakin menjauh dengan cara sangat menyakitkan, serta Draco yang semakin mendekat dengan cara yang sangat misterius sekaligus mendebarkan.
Mungkin luka yang ia bawa saat ini bukan hanya dari tubuh yang retak, tetapi juga dari hati yang sudah terlalu sering diabaikan selama satu tahun terakhir. Dan entah kenapa, suara Draco Lycenzo tadi justru membuatnya merasa … tidak sendirian.
***
Apartemen itu terasa asing bagi Marina malam ini setelah lima hari ia tinggalkan. Udara di dalam ruangan terlalu sunyi, seakan setiap dinding ikut memantulkan kesepian yang dibawa pulang dari rumah sakit. Ia menaruh tasnya di atas meja, lalu berjalan pelan ke arah ranjang.
Tubuhnya terasa berat. Luka di rusuk masih nyeri, tetapi lebih menyakitkan lagi adalah heningnya telepon yang tidak pernah berdering dengan nama Antonio selama lima hari ia terbaring di rumah sakit.
Ia menatap langit-langit putih, menatap kosong, lalu perlahan memejamkan mata.
Tidurnya lelap. Tidak bermimpi, hanya tenggelam dalam kegelapan panjang. Empat jam kemudian, suara notifikasi dari ponselnya membuyarkan ketenangan itu. Bunyi getar yang berulang-ulang membuatnya terbangun.
Dengan gerakan malas, Marina meraih ponsel di meja samping ranjang. Layar menyala, menampilkan belasan notifikasi dari satu nomor asing.
Ia mengusap wajah, lalu membuka pesan pertama.
[Kamu sedang tidur nyenyak, Marina?]
Keningnya berkerut. Ia menggulir ke bawah, penasaran dengan isi pesan lainnya.
[Aku cuma mau menunjukkan sesuatu yang mungkin bisa membuka matamu sehingga tidak mengantuk lagi.]
Pesan berikutnya diikuti foto-foto. Jantung Marina berdegup keras ketika gambar pertama muncul. Antonio dan Rodee di sebuah pesta malam di Italia.
Senyum Antonio lebar dan bahagia, matanya menatap Rodee seolah tak ada dunia lain di sekitarnya.
Marina menatap layar itu lama. Jari-jarinya gemetar, tetapi ia tetap menggulir ke foto berikutnya.
Foto kedua menunjukkan keduanya duduk berdekatan di meja makan panjang bersama beberapa teman Antonio. Rodee menyandarkan kepala di bahu pria itu, sementara sang pria tidak terlihat keberatan. Mesra … sungguh mesra.
Foto ketiga, Antonio mencium puncak kepala Rodee di depan menara tua Florence.
Marina menahan engah, dadanya sesak.
Ia terus menggulir. Ada foto Antonio dan Rodee naik kapal pesiar, foto mereka di restoran mewah dengan cahaya lilin, foto mereka berdua berdansa di tengah pesta. Totalnya lebih dari sepuluh foto.
Semuanya nyata, semuanya baru, semuanya diambil dalam minggu yang sama ketika ia terbaring di rumah sakit menahan sakit dan kesepian.
Foto terakhir adalah Antonio dan Marina berciuman di sebuah balkon kamar hotel. Jelas dari situ menegaskan bahwa keduanya … tidur bersama.
Lalu pesan terakhir muncul.
[Sebentar lagi Antonio akan mendepakmu, Marina. Aku hanya ingin kamu tahu lebih dulu daripada kamu terkaget-kaget.]
[Karena hanya aku yang benar-benar dicintainya. Kamu hanya pelengkap saat aku tidak ada di sana selama lima tahun.]
[Ketika setelah ini dia kembali dari Italia, kamu tidak akan punya tempat lagi. Kamu akan menjadi gelandangan setelah dia membuangmu.]
Marina menatap pesan itu dengan tangan gemetar dan wajah pucat. Lalu, perlahan matanya berkaca.
Ia berusaha menahan air mata, tetapi gagal. Butiran bening jatuh satu per satu, menodai layar yang masih menampilkan wajah Antonio dan Rodee berciuman di bawah langit kota Roma.
“Jadi, selama ini dia tidak menghubungiku, tidak peduli aku hidup atau mati, karena dia bersama Rodee di Italia?” lirihnya, mengusap air mata.
Ia meletakkan ponsel di atas ranjang. Napasnya tersengal. Mata sembab menatap gelang berlian di pergelangan tangannya,pemberian Antonio beberapa hari lalu.
Perhiasan itu berkilau indah di bawah lampu kamar, tetapi kilauannya kini terasa seperti ejekan. Tawa Rodee yang semakin menunjukkan kemenangan atas dirinya.
Semua janji, semua kata cinta yang pernah diucapkan Antonio terasa omong kosong.
“Selama ini aku pikir kamu hanya bingung dengan perasaanmu sendiri,” katanya pelan, seolah berbicara pada bayangan Antonio di pintu kamar. “Ternyata kamu tidak bingung, kamu hanya serakah ingin memiliki semua
Air mata Marina kembali jatuh. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, berusaha menahan isak yang pecah pelan di antara sela jari.
Setelah semua ini, setelah segala rasa sakit, kenapa dia masih ingin melihat satu saja perubahan di Antonio yang mungkin bisa membuatnya berpikir untuk bertahan.
Dan meski ia sudah menerima perjodohan dengan Draco Lycenzo, kenapa ia masih terus berharap kekasihnya itu kembali ke sisinya seperti dulu?
Apa karena ia hanya ingin bisa mengalahkan Rodee, atau karena dia memang sungguh masih mencintai Antonio?
***
Pagi itu udara di apartemen Marina masih lembap oleh embusan penghangat udara yang belum ia matikan sejak malam. Ia baru saja selesai mengganti perban di pergelangan tangannya ketika suara bel terdengar dari arah pintu.
Suara berat Antonio menyusul setelahnya, “Marina, ini aku.”
Dan seperti biasa, lelaki yang memang memegang kunci duplikat apartemen Marina langsung masuk tanpa menunggu jawaban.
Marina terkejut. Ia tak menyangka Antonio akan datang setelah satu minggu tak ada kabar.
Ketika pintu dibuka, pria itu tampak berdiri dengan wajah yang tertegun, matanya langsung tertuju pada luka-luka di wajah dan tangan sang kekasih.
“Tuhan … apa yang terjadi denganmu?” tanyanya cepat, langkah kakinya langsung mendekat, nyaris menubruk tubuh Marina yang masih lemah.
Sekian banyak tas belanjaan dengan merek ternama ia jatuhkan di atas lantai. Secepat kilat ia duduk di sebelah Marina dan menangkup wajah sembab kekasihnya.
“Aku baru saja kecelakaan,” jawab Marina datar sambil berbalik, berjalan perlahan ke sofa. “Taksi yang kutumpangi ditabrak truk.”
Lalu, sang wanita tersenyum sarkas, pahit. “Tapi, tentu saja kamu tidak tahu, ‘kan, kalau aku kecelakaan ?”
“Karena kamu sedang bersenang-senang di Italia … bersama Rodee.” Nada suaranya dingin, tetapi tajam seperti pecahan kaca yang mengakibatkan luka di wajah serta tangan.
Antonio membeku di tempatnya duduk, pupil matanya melebar mendengar ucapan itu. “Kamu … tahu?” tanyanya terengah, seperti seseorang yang baru tertangkap basah sedang berdusta.
Marina menatap, pandangan tenang, meski matanya menyimpan perih yang begitu dalam. “Ya, aku tahu. Rodee sendiri yang mengirimkan foto-fotonya. Lebih dari sepuluh.”
“Kamu terlihat begitu bahagia di sana. Mungkin bahkan tidak sempat memikirkan perempuan sepertiku yang hampir mati di tengah jalan.”
“Dan aku yakin, jika saat itu truk melindas tubuhku sampai aku mati, kamu tidak akan bersedih. Kamu mungkin akan tertawa bersama Rodee di atas kuburanku.”
Antonio terdiam beberapa detik. Lalu, seperti biasa, ia menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri sebelum berusaha memperbaiki segalanya. “Marina, dengar aku. Itu … itu tidak seperti yang kamu pikirkan.”
“Benarkah? Kalau begitu jelaskan padaku, Antonio,” sahut Marina ketus, menatap lurus ke matasang pria. “Jelaskan kenapa kamu bisa menghabiskan waktu bersamanya di Italia. Jelaskan kenapa kamu tak sempat sekadar menanyakan apakah aku hidup atau mati.”
“Aku… aku minta maaf,” bisik sang Tuan Muda, lirih. “Aku memang bodoh. Aku tak seharusnya pergi dengan Rodee. Aku Cuma … aku hanya berusaha menyelesaikan sesuatu yang tertinggal. Tapi, lihatlah … aku tetap kembali padamu.”
Marina tersenyum pahit. “Kembali padaku? Untuk apa, Antonio? Untuk memastikan aku masih cukup lemah untuk kamu kendalikan?”
Antonio tidak menjawab. Ia melirik sepuluh tas belanja di meja depan sofa. Aneka tas, dompet, serta sepatu berlogo Prada, Dior, Gucci, Louis Vuitton, dan lain-lain.
Seolah benda-benda itu bisa menebus luka menganga di d**a Marina. “Aku membawakannya untukmu. Aku tahu ini tidak sebanding dengan sakit hatimu, tapi itu bukti bahwa aku mengingatmu di sana. Aku tidak benar-benar melu—"
“Kamu pikir aku senang menerima benda-benda itu, hah? Kamu benar! Memang semua itu tidak sebanding!” Marina memotong dengan tawa kecil yang getir.
“Kamu pikir luka yang seperti ini bisa sembuh hanya dengan barang-barang mewah? Kamu pikir hati yang hancur bisa ditambal oleh merek terkenal?”
Antonio mendekat lagi, wajahnya menegang. “Aku hanya ingin kamu tahu kalau aku menyesal.”
“Menyesal?” Marina berdiri, menatapnya dengan napas tersengal saking emosi mulai meledak. “Kamu bilang menyesal, tapi kamu terus melakukan hal yang sama.”
“Kamu minta maaf setelah mendorongku ke sungai, kamu minta maaf setelah mengkhianatiku, dan sekarang kamu minta maaf lagi setelah pergi bersama perempuan itu.”
“Kamu tidak menyesal, Antonio! Kamu hanya takut kehilangan sesuatu yang sudah terbiasa kamu miliki.”
Hening panjang menggantung di antara mereka. Marina memalingkan wajah, menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuknya.
Ketika suasana mulai menegang, ponsel Antonio berdering. Nada dering itu terdengar keras dan sangat mengganggu. Ia mengeluarkan ponsel dari saku, melihat layar, lalu wajahnya berubah.
“Rodee,” gumamnya. Dan tepat seperti yang dikatakan Marina, pria itu tidak berubah. “Ya, ada apa?” Dengan tenangnya menerima panggilan dari wanita yang sudah mengahncurkan hubungannya dengan sang kekasih.
Marina tidak bergerak, hanya menatap dengan pandangan muak saat pria itu mengangkat panggilan. Dari jarak itu, ia masih bisa mendengar suara panik di ujung sana.
“Antonio! Tolong aku!” suara Rodee terdengar tersengal, penuh kepanikan. “Mobilku mogok di jalan sepi. Ada dua pria mencurigakan yang mengikuti. Aku takut mereka akan berbuat jahat.”
Tanpa berpikir panjang, Antonio langsung berdiri dan meraih jaketnya. “Aku akan ke sana sekarang!” katanya cepat.
Marina hanya berdiri diam. Tangan mengepal di sisi tubuhnya. Wajah tak menunjukkan apa-apa lagi selain dingin yang menyerupai batu.
Antonio menatap Marina sebentar, seolah ingin menjelaskan sesuatu, memohon pengertian, tetapi akhirnya ia hanya berkata, “Aku harus pergi. Aku tidak bisa membiarkan dia dalam bahaya.”
“Pergilah,” jawab Marina pelan tapi mantap. “Kamu memang tidak pernah bisa membiarkannya, bukan? Segala sesuatunya akan selalu tentang dia!”
Pria itu tidak sanggup menjawab. Ia lanjut keluar dari apartemen dengan langkah tergesa, pintu tertutup keras di belakangnya.
Marina menatap pintu itu lama, sampai keheningan menelan seluruh ruangan. Napasnya berat, matanya berkaca-kaca, tetapi tidak setetes air mata pun jatuh. Ia memandangi tas-tas mewah yang tertumpuk di meja, lalu duduk perlahan di sofa.
Tangannya menyentuh salah satu tas Prada yang masih terbungkus plastik bening. Ia membuka perlahan, melihat selembar kertas kecil di dalamnya.
Ada nota pembelian dengan tanda tangan Antonio. Hanya itu. Tak ada surat, tak ada pesan pribadi.
“Semua yang tersisa dari kita cuma barang-barang mewah ini,” bisiknya pelan, sangat pilu.
Ia menutup tas belanja itu kembali dan mendorongnya ke sisi sofa. Semua benda itu kini terasa tak lebih dari tumpukan kebohongan, tumpukan kemunafikan yang dibungkus indah.
***
Udara Kanada malam itu terasa mencekam di gudang tua dekat pelabuhan Halifax. Lampu neon di langit-langit sebuah gudang tua berkelap-kelip tak stabil.
Draco Lycenzo berdiri bersandar pada peti kayu besar, mengenakan jas hitam panjang dengan sarung tangan kulit. Tatapan matanya tajam seperti ujung pisau, dingin, mengintimidasi, dan tanpa emosi.
Di hadapannya, dua pria dengan tangan terikat berlutut, wajah mereka lebam akibat interogasi panjang. Salah satunya masih berani menatap balik dengan tatapan penuh dendam.
Draco mendekat perlahan, suara langkah sepatunya menggema di lantai beton. “Kalian berani mengedarkan barang ke wilayah Lycenzo tanpa izin?” tanyanya terkekeh bengis. “Atau kalian hanya boneka yang disuruh pihak lain?”
Pria itu terdiam. Akan tetapi, napasnya yang berat dan mata yang terus bergerak gelisah sudah cukup bagi Draco untuk tahu bahwa mereka menyembunyikan sesuatu.
“Jawab! Atau kalian akan kehilangan lidah untuk selamanya!” Suara berat dan bengis dari pria lain terdengar dari arah kanan.
Keane Gabriel Lycenzo melangkah keluar dari bayangan di antara box-box besar. Dia adalah sepupu Draco.
Mereka memiliki darah Lycenzo sekaligus dengan kebengisan dan aura menyeramkan yang sama.
“Mereka bekerja untuk keluarga Moretti,” ucap Keane sambil menyeringai dingin. “Moretti mencoba merebut jalur pengedaran di sepanjang pantai timur Kanada. Mereka pikir Lycenzo sedang sibuk di New York, jadi bisa menyusup diam-diam.”
Draco menatap sepupunya sekilas, lalu kembali pada pria yang berlutut. “Kalian memilih musuh yang salah,” desisnya, lalu meludahi kedua orang musuh.
Ia menunduk, mendekatkan wajah ke arah tawanan itu hingga jarak di antara mereka hanya beberapa inci. “Sampaikan pada bosmu, wilayah pelabuhan Halifax tetap milik Lycenzo.”
“Siapa pun yang berani mengusik, akan berakhir di dasar laut ini.”
Lalu, ia tarik keluar lidah salah satu tahanan bersamaan dengan ia menarik keluar pisau kecil tajam dari balik jaket kulit panjangnya.
“AAAAKKKK!”
Jerit kesakitan terdengar menggema di gudang tua tersebut. Seonggok potongan lidah manusia sudah tergeletak di atas lantai kotor.
Tahanan satunya mendelik saat melihat lidah temannya dipotong dengan sadis oleh Draco. Darah muncrat ke mana-mana dan tubuh temannya mengejang kesakitan.
Kedua Putra Mahkota Lycenzo terkekeh melihat kengerian di mata tahanan. Itu sudah akan menjadi pesan yang sangat efektif kepada siapa pun yang berusaha main-main dengan mereka.
Beberapa menit kemudian, keduanya sudah berada di luar gudang. Angin laut menerpa, dingin dan menggigit. Keane menyalakan rokok, mengembuskan asap pelan sambil menatap horizon gelap. “Kita sudah membereskan urusan ini. Tapi Moretti tidak akan berhenti,” katanya tenang. “Mereka hanya kehilangan kaki tangan, bukan kepala.”
Draco menatap tenang ke arah pelabuhan. “Maka, setelah ini kita potong kepalanya,” jawabnya pelan dan tegas. “The f**k are we waiting for?”
Keane tersenyum miring. “Selalu dengan cara paling ekstrem, ya?”
“Tidak ada jalan tengah, apalagi jalan damai dalam dunia gelap ini,” balas Draco. “Mereka mencoba merebut lahan kita, berarti mereka sudah siap mati.”
Hening sejenak. Hanya suara ombak memecah kesunyian. Keane mematikan rokoknya, lalu berbalik menatap Draco dengan ekspresi yang lebih serius. “Aku akan bahas dulu dengan ayahku untuk menyerbu Klan Moretti.”
“By the way, setelah ini kita harus segera kembali ke New York,” tandasnya. “Kita disuruh menghadiri acara penting.”
Draco menatap sepupunya sekilas. Sambil mengepulkan asap putih, ia berdesis, “Untuk apa? Acara penting apa?”
“Acara sekutu terbesar kita. Merek sedang menghelat pengangkatan ketua klan Zambrotta yang baru,” jawab Keane.
Lalu, tersebutlah sebuah nama. “Antonio Zambrotta akan resmi menggantikan ayahnya.”
Luar biasa!
Ternyata Antonio dan Draco adalah sesama mafia dan bahkan berada di kubu yang sama.
Kalau begini, di mana posisi Marina kemudian?