Ch.06 Ditinggal Tanpa Bayar

2778 Words
BAB 6 Ditinggal Tanpa Bayar Ketika jam di tangan sudah menunjukkan pukul 5.30 PM, langkah kaki Marina berjalan keluar dari lift di kantor. Setelah menyapa beberapa rekan kerja di perusahaan tersebut, ia langsung menuju pintu keluar. Sudah waktunya pulang, kembali ke apartemen dan beristirahat. Namun, seorang lelaki tinggi besar dengan mata tajam berdiri di dekat pintu lobi. Tersenyum menatapnya dengan wajah dingin menawan. Antonio Zambrotta. Pria itu mengenakan mantel panjang berwarna cokelat gelap, rambutnya tersisir rapi. Wajahnya sumringah seolah sudah lama menunggu dan akhirnya yang ditunggu-tunggu muncul juga. Saat pandangan mereka bertemu, Antonio tersenyum mesra, lalu melangkah mendekat. “Aku ingin mengajakmu makan malam,” ucapnya dengan suara syahdu. “Anggap saja ini penebusan atas sikapku kemarin.” Marina menghela singkat, pelan. Raut wajahnya memperlihatkan kelelahan dan jengkel bercampur menjadi satu. “Aku tidak lapar,” katanya datar. “Dan aku juga tidak punya waktu untuk berpura-pura baik-baik saja setelah semua yang kamu lakukan.” Mata cokelatnya menatap dingin pada sang kekasih. “Bagaimana kabar Rodee? Apa dia baik-baik saja? Kamu begitu cepat meninggalkan aku untuk bersamanya, bukan?” Antonio menatapnya dalam-dalam. Ada kesungguhan di mata pria itu, sekaligus juga rasa kecewa yang ia sembunyikan di balik senyum menawan. “Aku tidak akan pergi sebelum kamu mau makan malam denganku,” ujarnya berdesis. “Hanya makan malam, Marina. Anggur merah bersama makanan khas Spanyol yang lezat. Kamu selalu suka itu, aku masih mengingat semua kesukaanmu, karena aku mencintaimu.” Rayuannya memang selalu maksimal. Akan tetapi, apa yang ia perbuat telah membuat Marina di ujung perjuangan. Wanita itu sudah sangat dekat untuk melambaikan bendera putih. “Kamu tidak mengerti,” balas Marina dengan nada lirih, berusaha menahan emosi yang mulai naik di kerongkongan. “Aku sudah lelah dengan semua permintaan maafmu yang selalu berulang tapi tidak pernah berubah.” “Kamu menyakiti aku, lalu datang lagi seolah semuanya bisa diperbaiki dengan hadiah atau makan malam. Sekarang, aku tidak mau lagi makan malam denganmu atau ada urusan apa pun denganmu!” Ia kembali melangkah dan meninggalkan kekasihnya. Akan tetapi, baru saja dua kali kaki itu menapak menjauh, tangannya sudah ditarik secara kasar dan direngkuh keras. Keduanya kembali berhadapan. Seringai Antonio muncul bersama wajah tampan yang berubah sedikit menyeramkan. “Aku tidak mau membuat keributan. Tapi, aku bersumpah tidak akan beranjak dari sini sebelum kamu mau makan malam denganku!” ancamnya serius. Beberapa karyawan yang baru keluar mulai memperhatikan mereka. Tatapan penasaran dan bisikan pelan membuat wajah Marina memanas. Ia tidak mau digunjing oleh teman-teman kantor karena masalah ini. Sang wanita cantik melirik sekeliling dan membalas dengan engah tertahan serta wajah merah padam. “Antonio, tolong jangan buat keributan di sini,” katanya pelan, bisa dibilang memohon. “Aku tidak mau menjadi sumber gosip!” Namun, Antonio justru melangkah satu kali lebih dekat dan meremas lengan kekasihnya lebih kencang. “Aku tidak peduli kalau orang lain melihat kita sedang ribut,” katanya pelan dan dingin. “Yang aku pedulikan hanya kamu. Aku hanya ingin memperbaiki semuanya malam ini. Dan sekali lagi, aku tidak mau melepaskanmu sebelum kamu mau pergi denganku!” desis sang pria tersenyum angkuh. “Kamu mau memperbaiki semuanya dengan memaksaku makan malam di depan semua orang?” sergah Marina dengan suara tajam tertahan. “Kamu pikir itu bentuk peduli? Kamu pikir itu akan membuatku luluh?” Antonio menatap balik, dadanya kembang kempis menahan emosi yang sama. “Aku tahu aku salah,” kata pria itu. “Tapi, setidaknya beri aku kesempatan untuk menebusnya, walau hanya malam ini.” Hening sesaat. Marina menunduk, merasa seluruh perhatian di sekitar semakin menekan kewarasannya. Ia tidak tahan menjadi tontonan. Suara bisikan rekan-rekan kerja yang mengenalnya membuat napas sesak. Akhirnya, ia berkata dengan nada letih, “Baiklah. Kita akan makan malam. Setelah ini, aku mau kamu jangan ganggu aku lagi.” Senyum sang pria melebar dan rengkuhan di tangan Marina mengendur. “Aku tahu kamu masih bisa memaafkan diriku.” Namun, wanita tinggi semampai menggeleng cepat. “No, aku hanya tidak mau dijadikan bahan tontonan seisi gedung ini.” Tawa pelan terdengar dari bibir Tuan Muda Zambrotta. “Ayolah, aku sudah membuat reservasi di restoran Spanyol yang enak dan mewah, khusus untukmu.” Sepanjang jalan, Marina hanya diam. Setiap langkah terasa berat, setiap embusan napas terasa seperti menahan sesuatu yang ingin pecah. Ia tidak tahu kenapa masih menuruti keinginan Antonio, mungkin karena terlalu lelah untuk melawan, atau mungkin karena hatinya meski hancur, belum benar-benar bisa melepaskan. Lift berbunyi ketika sampai di lantai bawah. Mereka melangkah keluar menuju deretan mobil yang berkilau di bawah lampu putih neon. Sebuah kendaraan Lamborghini berwarna merah menunggu, milik Antonio. “Silakan,” seringainya bahagia, membukakan pintu untuk Marina seolah dia adalah lelaki sejati. Marina menatap jengah untuk sesaat, lalu masuk ke dalam. Ia bersandar di kursi, menatap keluar jendela. Dalam hati, ia hanya berbisik pelan pada dirinya sendiri, ‘Mungkin ini terakhir kalinya aku mau duduk di sisi Antonio, sebelum semuanya benar-benar berakhir.’ ‘Sebelum aku sungguh akan menikahi pria itu, Draco Lycenzo.’ *** Restoran Boqueria Soho adalah salah satu restoran Spanyol paling mewah di jantung New York. interiornya dipenuhi cahaya hangat dari lampu dinding berwarna keemasan. Aroma rempah dan anggur merah memenuhi udara, membuat suasana malam terasa menyenangkan sekaligus romantis. Di tengah keramaian itu, Marina dan Antonio duduk berhadapan di meja paling sudut dekat jendela besar yang menghadap taman. Antonio tampak santai, mengenakan kemeja hitam dengan jas armani cokelat muda yang rapi. Wajahnya berseri seperti pria yang baru saja menang lotere. Ketika red wine datang, mereka meneguknya beberapa kali dan mengobrol ringan mengenai kejadian sekitar. Tentang betapa mewah restoran ini dan tentang beberapa hal lain. Ia menatap Marina tanpa henti, seolah ingin mematri wajah cantiknya di dalam ingatan. “Aku sungguh minta maaf atas semua yang sudah terjadi,” katanya lembut sambil meraih jemari Marina di atas meja. “Aku sadar aku terlalu banyak membuatmu terluka. Tapi, mulai sekarang, aku akan berubah. Aku akan berbuat lebih baik.” Marina hanya menatap permukaan meja, jemarinya yang terlihat mungil terperangkap di antara tangan besar Antonio. “Kamu sudah terlalu sering mengatakan itu hingga aku sulit untuk percaya,” ujarnya pelan. “Karena setiap kali aku percaya, yang kudapat hanya luka baru. Aku merasa sudah cukup, Antonio. Aku tidak ingin melanjutkan hubungan ini.” “Apa katamu?” desis sang Tuan Muda terdengar dingin. Marina menaikkan wajah, mengadu pandang, dan menatap lirih. “Kataku, aku sudah tidak ingin lagi melanjutkan hubungan denganmu. Semua sudah berakhir.” Sekejap, ekspresi di wajah Antonio berubah. Dari berseri menjadi dingin dan murka. Genggamannya yang semula lembut perlahan berubah kasar, menekan punggung tangan Marina hingga terasa sakit. “Jangan kamu berani mengatakan hal seperti itu,” ucapnya dengan suara berat. “Kamu tidak akan pernah bisa lepas dariku. Sampai kapan pun kamu tetap milikku.” Marina menatapnya tanpa gentar, meski hatinya bergetar dengan perubahan sang kekasih. “Aku bukan barang yang bisa kamu miliki sesuka hati. Aku adalah manusia yang punya hati!” engahnya menahan butiran bening menggenang di mata. Jemari lentiknya coba ditarik, tetapi cengkeraman sang lelaki semakin menguasai. “Lepaskan aku! Aku sudah muak menjadi kekasihmu dan terus menerus kamu sakiti karena kamu tidak bisa melepas Rodee!” “Kamu tidak bisa memilih di antara aku atau Rodee, maka biar aku yang memilihkannya untukmu! Aku yang akan pergi darimu! Dengan demikian, kamu bebas bersama Rodee tanpa harus menyakiti diriku lagi!” Antonio mendengkus pelan, lalu terkekeh seram. “Kata siapa aku mengijinkan kamu pergi, hmm? Marina … oh, Marina tersayang. Kamu adalah milikku, kepunyaannku. Dan aku tidak akan mengijinkan kamu pergi meninggalkanku!” Cengkeraman pria itu semakin terasa ketat di jemari Marina hingga ia mulai kesakitan. Terengah, matanya memandang Antonio dengan kebingungan. Lalu, terdengar lagi desis kasar pria tak setia tersebut. “Kalau kamu mencoba pergi, aku akan menghancurkan siapa pun yang menjadi tempat pelarianmu,” katanya tajam dengan mata berkilat mengancam. “Aku tidak akan biarkan siapa pun menggantikan posisiku di hidupmu. Kamu dengar itu? Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyentuhmu dan menggantikan aku!” Tegangnya suasana di meja itu sempat menarik perhatian beberapa pengunjung di dekat mereka. Marina menarik tangannya dengan paksa, tetapi masih tidak bisa. Dan sebelum Marina sempat menarik lebih kencang, ponsel Antonio berbunyi nyaring. Pria mengambilnya dengan kasar dan menatap layar. Ada nama sahabat lama di sana menelepon. “Ya, halo,” suaranya berubah cemas. “Apa? Bagaimana keadaannya sekarang?” Marina menajamkan telinga. Dia mendengar nama itu disebut di saluran telepon, yaitu … Rodee. Ia tersenyum dingin, sudah menduga pasti momen mereka akan dikacau lagi oleh sang wanita. Dia bahkan sempat berpikir apa Rodee mengikuti seluruh gerak-gerik Antonio hingga selalu tahu kapan mereka bersama dan mengacaukan segala sesuatu? Namun, itu semua tidak penting. Karena seperti dugaan, seperti yang sudah-sudah pula, pilihan Antonio selalu jelas. “Aku harus pergi. Ada masalah. Bibiku terjatuh di tangga dan sekarang harus dibawa ke rumah sakit. Ibuku meminta aku datang ke rumah sakit menemaninya.” Tawa sinis Marina meluncur begitu saja. “Yeah, right. Apakah bibimu itu bernama Rodee? The hell, Antonio. Kamu pikir aku bodoh?” Antonio tidak menjawab. Ia hanya menatap wanita itu sebentar dengan wajah kesal, lalu pergi meninggalkan meja dengan langkah terburu-buru. Kursi berderit, suara sepatunya bergema di lantai kayu mengkilat. Restoran tetap ramai dengan celoteh riang pengunjung ditambah live music yang mulai mengalun, seolah tidak ada apa pun yang baru saja terjadi. Marina duduk diam menatap piring di depannya. Di antara kerlip lampu dan iringan musik Spanyol yang lembut, ia merasa seolah berada di dunia yang tidak lagi memiliki warna. Tanpa emosi, ia mulai menyuap makanannya. Satu demi satu gigitan terasa hambar. Tidak ada rasa sedih, tidak ada amarah, hanya kehampaan. “Biar saja dia pergi mendatangi Rodee. Aku akan tetap di sini menghabiskan makan malam yang nikmat. Lumayan, paling tidak malam ini tidak terlalu buruk karena red wine ini sungguh enak,” kekehnya menghibur diri. Setelah menghabiskan makanan, Marina berdiri dan meraih tasnya. Ia melangkah pelan ke arah pintu keluar, tetapi dua orang petugas keamanan restoran menghentikannya. “Nona,” kata salah satu dengan sopan, “Mohon maaf, tetapi tagihan di meja Anda belum dibayar.” Marina memandangi piring yang telah kosong di hadapannya. Perutnya memang tak terlalu lapar, tetapi tadi mulutnya butuh sesuatu untuk dikunyah sekaligus menghibur diri agar hatinya tidak terlalu pecah. Marina tertegun. “Maksud Anda?” tanyanya pelan dengan detak jantung mulai berdebar. Pria itu menatap tablet di tangannya. “Tagihan atas nama Antonio Zambrotta. Total $2700, belum dibayar.” Wajah Marina langsung memucat. “$2700?” Ia menatap meja tadi, masih ada sisa red wine di gelas kristal. “Itu ... untuk apa … kenapa bisa sebanyak itu habisnya?” Pria itu menjawab datar, “Red wine Château Margaux, satu botol, $1800. Sisanya adalah makanan untuk dua orang mulai dari hidangan pembuka, hidangan utama, dan hidangan penutup.” Marina mengerjap, kaget sekaligus malu. “Antonio tidak membayarnya?” Pria itu menggeleng. “Sayangnya belum.” Marina menghela napas dan membuka tas kecilnya, mengeluarkan kartu kredit. “Aku akan bayar sekarang.” Ia menyerahkan kartu itu, berharap transaksi cepat selesai dan ia terbebas dari rasa malu. Namun, suara mesin EDC justru mengeluarkan bunyi penolakan yang menusuk telinga. “Maaf, kartu Anda ditolak,” ucap kasir yang berdiri di depannya. Marina menunduk, menahan degup jantung yang makin cepat. “Coba sekali lagi,” pintanya gugup. Dicoba kembali, hasilnya sama. “Limit Anda sudah terlampaui, Nona.” Suasana restoran yang tadinya hangat kini berubah tegang. Beberapa pengunjung yang juga hendak membayar mulai memerhatikan. Manajer restoran datang, berdasi rapi dan berwajah kaku. “Apakah ada masalah di sini?” Petugas keamanan berkata cepat, “Nyonya ini makan dengan temannya. Total tagihan $2700 dan dia tidak bisa membayarnya.” Marina menjelaskan terbata-bata. “Aku kira Antonio yang akan membayarnya. Dia yang mengajakku kemari. Aku akan segera menelepon Antonio. Dia pasti akan menyelesaikan masalah ini.” “Silakan,” tanggap sang manajer dingin. “Kami tunggu sampai lima menit ke depan, jika tidak ada penyelesaian, kami terpaksa menghubungi pihak berwajib.” Marina pun mengeluarkan ponselnya, menekan nomor Antonio berulang kali. Tidak dijawab. Ditelepon lagi, tetap masih sunyi tidak ada jawaban. Dada Marina kembang kempis. Ia ingin menangis saking malunya. “Sialan kamu, Antonio! Bagaimana mungkin kamu tidak membayarnya! Kamu lupa atau sengaja menyiksaku, hah!” erang sang wanita terus menelepon dan tidak ada tanggapan apa pun. Dengan napas tersengal, Marina menatap memelas. “Aku berjanji akan membayarnya. Tapi, tolong beri aku waktu sebentar. Aku harus berpikir bagaimana membayarnya. Aku sungguh tidak tahu apa-apa, aku hanya diundang kemari!” “Aku berjanji akan membayarnya!” pinta Nona Woodhsen memelas. Manajer menatapnya tajam. “Sayangnya, kami tidak menerima janji. Jika Anda tidak bisa membayar, kami harus memanggil pihak berwenang.” Marina menatapnya cemas. “Jangan polisi, kumohon. Aku hanya butuh waktu sebentar. Aku bukan penipu.” Namun, manajer itu sudah memberi isyarat ke salah satu stafnya untuk menghubungi pihak berwajib. “Aturannya jelas, Nona. Kami tidak bisa menunggu.” Keringat dingin mengalir di tubuh Marina. Ia terus menelepon Antonio dan berusaha mencari solusi dengan manajer. Hanya saja, semua mengalami jalan buntu. Lima menit kemudian, dua polisi berseragam masuk ke restoran. Salah satu dari mereka mengeluarkan borgol. “Kami mendapat laporan adanya penipuan oleh pelanggan yang tidak mau bayar?” Marina mundur setengah langkah. “Tunggu, ini salah paham!” Ia masih menggenggam erat ponselnya, panik. “Anda kami tahan,” ujar sang polisi tidak mau memberikan kesempatan untuk menjelaskan. “Anda berhak untuk diam. Apa pun yang Anda ka—” “Aku bukan penjahat! Jangan tangkap aku!” engahnya memekik tertahan, berusaha menghindari rengkuhan polisi yang hendak memborgolnya. Tepat saat itu ponselnya berdering. Layar kosong … Ia segera memekik, “Ini! Aku akan meminta orang ini untuk membayarnya! Tunggu sebentar!” Polisi menangguhkan borgolnya, lalu berucap, “Lima menit. Kalau tidak ada solusi, kami terpaksa membawa Anda ke kantor polisi dan menyelesaikannya di sana.” Marina mengangguk, lalu menjawab cepat. “Halo? Draco? Tolong aku!” rintihnya setengah menangis. “Ada apa?” Suara dingin sang pria segera menyahut. Sambil terisak, Marina menjelaskan, “Aku sedang makan malam dengan seorang teman di sebuah restoran mewah. Dia yang mengundangku kemari.” “Tapi, dia pergi sebelum membayar dan sekarang aku yang dimintai pertanggung jawaban. Mereka mau memasukkan aku ke penjara kalau aku tidak membayar!” Suara Draco tetap datar. Ia hanya berkata singkat, “Sebutkan nama restorannya.” “Boqueria Soho,” jawab Marina cepat. “Oke, tunggu lima menit,” ujar Draco pelan tetap dingin. “Oh, ya, aku menelepon karena mau mengabari pertemuan kita terpaksa aku tunda satu hari lagi, aku ada acara penting yang tidak bisa aku batalkan.” Marina mengangguk, lalu menanggapi sambil mengusap air mata di pucuk pelupuk. “Iya, tidak apa. Just help me out here, please? Aku bersumpah akan kubayar uangmu. Bantu aku, ya?” Terdengar tawa kecil sang pria di ujung sambungan. “Sudah, duduk diam dan biarkan aku selesaikan masalah ini.” Telepon berakhir, layar kembali gelap. Marina terengah, menatap orang-orang yang sudah siap menjebloskannya ke penjara karena masalah sepele ini. “Kata temanku ini, dia akan mengurusnya. Dia mungkin akan transfer dalam lima menit ke depan. Aku mohon, tunggu dulu, ya?” Manajer menghela kesal, lalu mencemooh dengan kasar. “Kalau memang miskin, jangan makan di sini! Lima menit, tidak lebih! Kalau sampai masih tidak membayar, aku serahkan masalah ini ke polisi!” Baru satu menit, ponsel sang manajer berdering keras. Ia mengangkatnya, mendengar suara dari seseorang yang ternyata adalah pemilik restoran. “Lepaskan wanita itu sekarang juga atau kita semua besok pagi akan berada di selokan tanpa kepala, Bodoh! Lepaskan dia sekarang juga!” “Dan beri satu botol anggur terbaik, anggur termahal yang kita punya! Berikan itu sebagai permintaan maaf! f**k! Kamu benar-benar tidak tahu telah berurusan dengan siapa!” Wajah manajer langsung pucat pasi. “Ya, Tuan. Maaf, Tuan. Saya akan segera melaksanakannya!” Ia menatap Marina dengan ketakutan. “Nona, Anda bebas pergi, masalah sudah selesai. Oh, tunggu! Kami dari pihak restoran meminta maaf atas kesalah pahaman ini!” Manajer lalu memerintah karyawannya untuk membawa anggur terbaik seperti yang tadi diminum oleh Marina. Ia memberikan dengan tangan gemetar dan wajah pucat pasi. “Sebagai permohonan maaf dari kami, silakan Anda bawa pulang anggur ini.” “A-apa?” Mata Marina membelalak sempurna. Tak percaya dengan apa yang terjadi, sedemikian mudah keadaan berbalik. Polisi yang sudah siap memborgol pun kebingungan. Petugas hukum itu hanya menghela, “Well, aku rasa masalah berakhir di sini, bukan? Baiklah, kami pergi kalau begitu.” Marina menerima botol anggur itu dan berjalan dengan perasaan keheranan sekaligus takjub. Di dalam hatinya, sebuah pertanyaan berputar tanpa henti. ‘Siapa sebenarnya pria bernama Draco Lycnezo itu? Kenapa semua orang menunduk hanya karena satu panggilan darinya?’ ‘Siapa sebenarnya pria yang akan aku nikahi?’
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD