“Sampai bertemu lagi besok~” , ucap semua anak-anak bersamaan untuk menutup kelas hari ini.
Setelah semua anak-anak dan para orangtua pulang, Adelia melanjutkan pekerjaannya membereskan semua sampah-sampah dan peralatan yang telah dipakai tadi saat kegiatan belajar mengajar berlangsung.
“Bu Adel,” , panggil salah satu guru yang mengajar di Taman Kanak-Kanak Kasih Bunda menginterupsi kegiatan beres-beres yang sedang Adelia lakukan. “ kami akan pergi makan siang bersama. Ayo ikut bersama kami.”
Adelia menghentikan kegiatannya dan berpikir sejenak. Tak lama ia tersenyum kecut, “Sebelumnya terima kasih karena sudah mengajak saya, tapi.. Maaf Bu, saya masih ada banyak pekerjaan yang harus saya lakukan. Lain kali ya, Bu.”
Ibu guru yang mengajak tadi merasa tidak enak untuk memaksa Adelia untuk ikut serta. Salah satu guru lainnya menyikut memberi kode pada guru yang mengajak Adelia untuk segera pergi, “Ah begitu ya.. Kalau begitu kami pergi dulu ya, Bu.”
“Iya, Bu. Hati-hati di jalan.” , jawab Adelia dengan ramah.
Saat para guru-guru tersebut sudah keluar dari ruangan dimana Adelia berada, salah satu dari mereka yang tadi menyikut memberi kode untuk segera pergi, membuka suara, “Kenapa kau masih mengajaknya? Dia pasti tidak akan mau ikut bersama kita.”
‘Lho, kenapa?” , tanya yang lainnya merespon.
Sambil melipat tangannya di depan dadanya dengan sombong, guru yang memulai pembicaraan tadi mulai berbicara dengan gaya khas ibu-ibu penyebar gosip, “Kalian tidak tahu? Dia tinggal menumpang di tempat bu Indira. Dan kudengar anaknya lahir tanpa ayah. Tidak hanya itu, dia juga tidak menyekolahkan anaknya. Dia pasti sangat malu, oleh karena itu dia tidak mau berkumpul dengan kita.”
“Ah tidak mungkin. Darimana kau tahu semua itu? Apa kau mendengarnya langsung dari Adelia? Atau itu semua hanya karanganmu saja?” , tanya salah satu dari mereka menuntut bukti.
Merasa semua perkataannya hanya dianggap sebagai omong kosong belaka, guru yang memberikan informasi tersebut tidak terima, “Kalian tidak percaya padaku?”
Mereka semua terdiam, Mata semua orang yang mendengar tadi langsung tertuju pada Raya yang sejak tadi berdiri tidak jauh dari mereka dan mendengar semua pembicaraan mereka.
“Nah ini dia anaknya. Raya, kemari.” , panggilnya. Raya yang tidak tahu harus berbuat apa hanya menurutinya.
“Raya sayang, bibi tidak pernah melihat ayahmu. Dimana ayahmu?” , Raya yang juga tidak tahu dimana ayahnya hanya terdiam. “Apa Raya pernah melihat ayah Raya?” , tanyanya lagi. Tidak tahu harus menjawab apa, Raya hanya diam menanggapinya.
Guru yang tadi mengajak Adelia merasa tidak tahan lagi, “Cukup bu Rina! Kau bahkan lebih buruk! Saya pulang duluan. Permisi.”
Alih-alih menanggapinya, guru yang menyebarkan gosip tadi lebih mempedulikan pernyataan yang ia katakan sebelumnya. “Kalian lihat, kan? Aku tidak berbohong, kan?”
Mendengar semua itu, tentu saja membuat guru-guru lainnya tercengang, kaget tidak menyangka. Pemikiran mereka soal Adelia pun langsung berubah. Yang sebelumnya mereka bersimpati pada Adelia yang masih muda tapi pekerja keras, sekarang mereka memandang Adelia seakan seperti sesuatu yang sangat rendah dan memalukan.
Merasa tidak seharusnya ia berada disana, Raya langsung berlari pergi dari sana. Baru beberapa langkah ia berlari, ia langsung teringat dengan janjinya pada ibunya dan juga ibunya yang melarangnya untuk berlari. Hal itu membuatnya memperlambat langkahnya dan berjalan dengan lebih santai sambil mengatur nafasnya agar detak jantungnya lebih tenang.
Langkahnya terhenti di depan pintu ruangan kelas dimana ibunya berada. Raya memperhatikan ibunya yang tengah sibuk menata buku-buku kembali ke dalam rak dan memunguti krayon-krayon yang berserakan di lantai. Ia diam di tempatnya berdiri dan hanya melihat ibunya sambil teringat perkataan guru-guru tadi.
Suasana taman kanak-kanak kembali sepi. Semua anak-anak, para orangtua yang mengantar, dan juga para guru-guru sudah pergi meninggalkan taman kanak-kanak. Kini hanya tinggal Adelia dan Raya yang ada disana. Bu Indira pergi untuk kegiatan amalnya da belum kembali.
“Bunda..” , panggil Raya masih di tempatnya.
Mendengar suara yang tidak asing baginya, Adelia langsung melihat ke arah suara sambil tersenyum, “Hm? Iya sayang? Raya sudah lapar ya? Tunggu sebentar, ya. Bunda sebentar lagi selesai.”
“Raya mau bantu Bunda.” , ujar Raya sambil melepas sepatunya dan masuk ke dalam ikut memunguti krayon-krayon yang berserakan di lantai dan juga di meja-meja.
Melihat tingkah anak semata wayangnya tersebut membuat rasa lelah yang Adelia rasakan menguap seketika. Ia tersenyum lembut, “Waah terima kasih, ya.”
***
Sejak tadi Adelia berjalan mondar-mandir tidak tenang. Sesekali ia melihat ke arah jam yang menempel di dinding dengan gelisah. Raya yang tengah memakan cemilannya sambil bermain dengan Lilo pun merasa tidak enak melihat ibunya gelisah seperti itu.
“Berangkat saja, Bunda. Raya bisa ditinggal berdua dengan Lilo.” ujarnya sambil mengelus-elus kepala Lilo, “Ya kan, Lilo?” , tanyanya pada kucing anggora berbulu putih tersebut yang dibalas dengan ngeongan.
Adelia tersenyum kecil melihat Raya yang terlihat senang walaupun hanya bermain dengan seekor kucing, “Tidak apa, Raya. Bunda akan menunggu sebentar lagi.”
Raya menghela nafas panjang, “Huffftt, Bunda akan terlambat jika tidak berangkat kerja sekarang. Raya tidak akan pergi kemana-mana kok sampai nenek datang. Oh iya, Raya juga tidak akan berlari.”
“Iya, Raya. Bunda percaya. Bunda hanya khawatir pada nenek.”
Saat itu juga terdengar suara pintu yang memisahkan tempat tinggal mereka dengan taman kanak-kanak, yang terbuat dari aluminium tersebut terbuka. Perhatian Adelia, Raya, dan juga Lilo langsung ke arah suara.
“Itu nenek!” , sahut Raya bersemangat.
Adelia segera keluar dan menghampiri bu Indira yang terlihat terengah-engah.
“Maaf Adel, Ibu terlalu lama, ya? Kau pasti akan terlambat masuk kerja, ya? Tadi di jalan macet sekali karena ada kecelakaan.” , jelas bu Indira sambil mengatur nafasnya.
Adelia segera mengambil bawaan bu Indira dan membawanya masuk ke dalam rumah bu Indira, “Tidak Bu, Adel bersyukur Ibu baik-baik saja.”
‘Adel cepat berangkat kerja sana.”
“Iya Bu, Adel titip Raya ya, Bu.”
Setelah meletakkan semua bawaan bu Indira, Adelia kembali ke rumahnya untuk mengambil tasnya dan berpamitan pada Raya.
Setelah meraih tasnya, Adelia menuju Raya dan memberikan kecupan pada puncak kepalanya, “Bunda berangkat dulu, ya. Jangan lupa mandi, oke?”
“Raya boleh tidak mandi bersama Lilo?”
Adelia mengelus gemas kepala anak kesayangannya, “Boleh, tapi minta ijin dulu sama nenek. Karena Lilo milik nenek.”
“Oke Bunda, sampai ketemu nanti malam. Love Bunda.” , Raya berkata sambil membentuk hati dengan merentangkan kedua tangannya dan melengkungkan tangannya ke atas kepalanya.
Adelia membalasnya dengan melakukan hal yang sama, “Love Raya. Love Lilo.” , Raya terkekeh mendengar nama Lilo juga ikut disebut.
***
Dengan terburu-buru Adelia berlari sesaat setelah dirinya turun dari bus. Lewat pintu belakang sebuah restoran, Adelia masuk dan langsung meletakkan tasnya ke dalam loker yang tertera namanya. Setelah selesai memakai seragamnya, tak lupa ia mengunci lokernya tersebut dan bergegas pergi untuk menemui atasannya.
“Sore, Pak. Maaf saya terlambat karena tadi saya terjebak macet di jalan.” , ujar Adelia pada pria tiga puluh tahunan yang tengah membaca dengan teliti buku catatan panjangnya yang selalu ia bawa kemana-mana.
Mata pria tersebut langsung beralih pada Adelia yang tiba-tiba muncul di hadapannya, “Adelia? Sudah keberapa kalinya ini?”
Adelia membungkukkan badannya memohon belas kasihan, “Maaf, Pak. Saya tidak akan terlambat lagi.”
“Ya sudah, tidak apa-apa. Kali ini masih saya beri toleransi, tapi tidak lain kali, ya.”
Lagi-lagi Adelia membungkukkan badannya. Namun kali ini untuk berterima kasih, “Terima kasih banyak, Pak.”
“Sudah sudah. Kerjakan pekerjaanmu sana.” , usir pria tersebut sambil melambaikan tangannya menyuruh Adelia untuk segera pergi.
***