Kesibukan Adelia setiap pagi setelah sarapan dan mandi bersama putrinya adalah membersihkan dan mempersiapkan ruang kelas yang ada di taman kanak-kanak Kasih Bunda. Taman kanak-kanak ini tidak jauh dari tempat tinggalnya, hanya dipisahkan oleh dinding tinggi dan juga pintu kecil untuk aksesnya keluar masuk.
Taman kanak-kanak ini milik wanita paruh baya yang masih sehat dan bugar, yang tinggal tepat di samping tempat tinggalnya. Atau lebih tepat jika Adelia yang tinggal di tempat milik wanita tersebut.
Bu Indira, begitu wanita paruh baya tersebut biasa dipanggil. Aura keibuannya begitu kental terasa walaupun pada kenyataannya ia tidak memiliki anak satupun karena kemandulan yang dideritanya hingga membuat suaminya berselingkuh darinya dan pergi meninggalkannya, lebih memilih untuk hidup bersama selingkuhannya.
Memiliki masa lalu yang menyakitkan, tidak membuat bu Indira patah semangat. Ia tetap menjalani hari-harinya dengan semangat. Besarnya rasa cinta dirinya pada anak-anak membuatnya mendirikan taman kanak-kanak yang diberi nama Taman Kanak-Kanak Kasih Bunda. Ia ingin menyalurkan rasa cintanya dengan metode pendidikan yang ia susun sendiri untuk anak-anak yang belajar di taman kanak-kanak ini.
Tidak hanya itu, ia juga sering mengadakan kegiatan amal untuk anak-anak jalanan dan para ibu yang kurang mampu dalam hal ekonomi. Benar-benar sosok seorang ibu yang amat penuh kasih sayang. Adelia yang sudah tidak merasakan kasih sayang seorang ibu sejak ia berumur delapan tahun, merasa bahagia bisa bertemu kembali dengan sosok ibu yang mengingatkannya pada ibunya yang sudah lama meninggal.
Pertemuan Adelia dengan bu Indira benar-benar seperti rancangan takdir yang diberikan oleh Tuhan pada Adelia. Saat Adelia pertama kali merantau jauh ke Jakarta dari kampung halamannya dengan hanya bermodalkan nekat dan tujuan ia merantau, bu Indira adalah malaikat penolongnya. Orang yang mau mengulurkan tangannya untuk membantunya tanpa melihat latar belakang Adelia dan tidak memandangnya sebelah mata saat mengetahui Adelia tengah hamil muda tanpa ayah dari janin yang sedang tumbuh berkembang di dalam kandungannya saat itu. Sampai Raya lahir pun, bu Indira tidak pernah menyinggung sedikitpun soal ayah dari Raya.
Adelia tidak tahu bagaimana ia harus membalas semua kebaikan yang telah bu Indira berikan padanya selain berdoa yang terbaik untuk bu Indira setiap malamnya. Tidak hanya itu, sebagai bentuk rasa terima kasihnya karena sudah diberi tempat tinggal, Adelia bekerja di taman kanak-kanak sebagai salah satu guru disana. Walaupun begitu, Adelia tetap digaji. Hal itu membuatnya semakin merasa tidak enak. Sebab, selain diberi tempat tinggal yang nyaman untuknya tinggal dengan Raya, ia juga diberikan pekerjaan untuk membiayai hidupnya bersama putrinya. Pada akhirnya dengan memaksa, Adelia meminta untuk dirinya yang membereskan serta mempersiapkan kelas sebelum anak-anak dengan orangtuanya berdatangan tanpa digaji sebagai bentuk rasa terima kasihnya.
Bu Indira tidak bisa menolaknya, sebab Adelia mengancam akan pergi dengan Raya. Ia sudah menganggap Adelia seperti putrinya sendiri dan Raya sudah seperti cucunya. Ia tidak ingin mereka pergi. Untuk membayangkannya sekalipun, ia tidak memiliki keberanian untuk itu. Ia hanya ingin menikmati setiap detik momen ini sepenuhnya, sebab ia sendiri sadar betul bahwa umurnya sudah tidak akan lama lagi.
***
Sinar matahari mencoba menerobos masuk melalui sela-sela tirai jendela yang masih tertutup di sebuah kamar yang bernuansa abu-abu. Ada jaket, baju, celana, dan juga ikat pinggang yang berceceran di lantai membentuk jejak menuju ranjang kasur, tempat dimana terlihat Rangga tengah tidur tengkurap pulas dengan selimut menutupi hingga ke pundaknya. Kondisi kamar tersebut begitu sunyi dan tenang, hanya terdengar dengkuran kecil dari Rangga.
Kedamaian yang terasa di kamar tersebut mulai terdistraksi saat terdengar langkah kaki menaiki tangga dan mendekat dari luar pintu kamar.
“Biarkan kakakmu tidur lebih lama, Kaila!” , sahut wanita yang tengah mencuci piring di lantai satu pada gadis yang melangkah menaiki tangga dengan langkah galak.
“Ini sudah hampir tengah hari, Ma! Bagaimana mungkin dia bisa tidur sampai siang begini di hari ulang tahunku?!” , protes gadis bernama Kaila tersebut tetap kekeh dengan tekadnya untuk membangunkan kakaknya yang sudah berani tidur hingga siang di hari ulang tahunnya.
“Kakakmu baru pulang setelah tiga hari tidak pulang, Kaila!”
“Oleh karena itu, Ma!”
Gadis itu berhenti sejenak saat ia sudah berdiri di hadapan pintu kamar kakaknya, ia menarik nafas sebelum membuka pintu tersebut. Matanya menangkap pakaian kakaknya yang berceceran di lantai, ia sudah tidak kaget lagi dengan hal ini setiap kakaknya pulang ke rumah. Langkah kakinya langsung mendekat pada kakaknya yang tertidur pulas. Dengan sekali hentakan, ia langsung berbaring diatas kakaknya sambil membentur-benturkan punggungnya pada punggung kakaknya.
“KAKAAAK! BANGUUUN! CEPAT BANGUUUN!” , teriak Kaila sambil menghentak-hentakkan tubuhnya, berniat untuk membuat kakaknya merasa terganggu dan segera bangun dari tidur nyenyaknya.
Walaupun merasa terusik, Rangga tetep melanjutkan tidurnya dan memilih untuk mengabaikan perlakuan adiknya. Merasa diabaikan, hal itu membuat Kaila semakin jengkel. Ia mencoba untuk mengubah metode gangguannya. Kali ini ia mencoba menarik selimut yang dipegang erat oleh Rangga.
Kaila berdiri dan mulai menarik selimut tersebut sekuatnya. Namun Rangga yang masih enggan membuka matanya tersebut, berusaha untuk menahan selimutnya agar tidak tersingkap darinya. Merasa kakaknya tidak ingin selimutnya diambil, membuat Kaila menambah kekuatan tarikannya. Ia berusaha dengan keras menarik hingga badannya mundur ke belakang.
Rangga yang merasa Kaila tidak akan berhenti sebelum berhasil menarik selimut tersebut, melepaskan genggamannya pada selimut yang membuat Kaila terjengkang jatuh dari kasur dan menghasilkan bunyi yang keras saat tubuhnya membentur lantai kamar Rangga.
Mendengar suara benturan tersebut membuat Rangga langsung bangun dan melihat pada Kaila yang tengah meringis sakit.
“Suara apa tadi? Apa yang terjadi?” , tanya ibu mereka yang tiba-tiba datang masih dengan tangan yang basah dan terlihat ada sedikit busa.
Rangga yang baru membuka matanya menatap bergantian pada adiknya yang masih tersungkur dan ibunya yang baru masuk ke kamarnya. Ibunya terkejut melihat Kaila tersungkur di lantai. Sedangkan Kaila menatap ibunya dengan mata yang berkaca-kaca menahan sakit.
***
Setiap perbuatan pasti ada konsekuensinya. Begitulah yang sedang terjadi pada Rangga sekarang ini. Karena telah membuat adiknya tersungkur jatuh— walaupun sebenarnya kejafian itu bukan sepenuhnya salahnya, ia harus memenuhi semua permintaan adiknya tersebut di hari ulang tahunnya ini.
Libur dua hari yang ia tunggu-tunggu setelah sekian lama, berjalan tidak seperti yang ia bayangkan sebelumnya. Tidur di rumah seharian, makan camilan sambil menonton ulang serial Sherlock Holmes untuk kesekian kalinya, dan juga duduk bermalas-malasan di sofa sambil memainkan ponsel, semuanya itu sekarang hanya tinggal angan-angannya.
Alih-alih duduk di sofa sambil menonton serial kesukaannya, saat ini ia tengah duduk di kursi kemudi dengan wajah merengut karena macetnya jalanan ibukota. Di sampingnya, Kaila duduk dengan wajah berseri sambil memainkan ponselnya. Kepalanya bergerak-gerak sambil bersenandung mengikuti irama lagu penyanyi kesukaannya yang ia mainkan dalam pemutar suara yang ada di mobil.
Rangga menjatuhkan kepalanya pada roda kemudi sebagai bentuk ungkapan rasa bosan dan kesalnya atas situasi yang sedang ia rasakan saat ini.
Melirik kakak satu-satunya tersebut, Kaila membanting pelan hpnya ke atas tas kecil yang ia pangku sambil menghela nafas sebal,“Kakak ini, manfaatkan waktu liburmu yang singkat untuk bersenang-senang. Tidur di rumah seharian apa manfaatnya? Bangun-bangun nanti sudah kembali masuk kerja, berurusan dengan orang-orang jahat. Apa kau tidak bosan hidup seperti itu, kak? Membayangkannya saja aku tidak sanggup.” , keluhnya yang sama sekali tidak digubris oleh kakaknya.
Diabaikan adalah perlakuan yang paling Kaila benci. Dan justru hal itu yang sedang kakaknya lakukan padanya. Untuk menunjukkan rasa tidak sukanya diperlakukan seperti itu, Kaila menekan kepala kakaknya pada klakson hingga membuat Rangga dan pengendara lainnya yang ada di sekitar mobil mereka terkejut.
“Kamu gila, Kaila?!” , protes Rangga sambil melihat ke sekitar yang menunjukkan pengendara di sekitar mereka tengah menatap ke arah mobil mereka dengan raut wajah yang tidak menyenangkan.
“Makanya jangan abaikan aku!” , balas Raya sambil memanyunkan bibirnya manja.
Walaupun Kaila sangat kekanakkan dan sering bertingkah konyol padanya, Rangga tidak bisa memarahi ataupun berlaku kasar pada adik satu-satunya itu.
Pada akhirnya Rangga bisa bernafas lega saat kondisi jalan sudah mulai lancar, “Apa kakak harus benar-benar ikut? Apa tidak bisa kakak menunggu saja di mobil?”
Kaila menggeleng, “Tidak! Kakak tidak tahu betapa sulitnya aku mendapatkan dua tiket konser ini. Kakak tahu, penjualan tiket ini habis terjual lima ribu tiket dalam waktu satu menit! BAYANGKAN KAK! SATU MENIT!!” , ucap Kaila dengan antusias.
Mendengar hal itu, Rangga hanya bisa menggeleng terheran-heran, “Kamu memang benar-benar tidak ada tandingan.” , pujinya dengan sarkas. Namun Kaila tersenyum bangga karena dipuji seperti itu oleh kakaknya.
***