BAB SATU : KAMI, SEKARANG (part 3)

1592 Words
Dimas menepikan mobilnya di depan jalan sebuah restoran dengan nuansa cokelat tua dan putih di bagian luarnya. “Bagaimana kau menemukan restoran seperti ini?” , tanya Rangga terheran-heran saat baru saja keluar dari mobil dan melihat interior sekaligus nama restoran yang menyala terang di malam hari. Dengan tersenyum bangga, Dimas menggoyangkan tangannya yang menggengam ponsel miliknya, “Mas Rangga pikir kita sedang hidup di jaman apa? Ayo masuk.” Rangga mengerutkan keningnya, ia merasa takjub sekaligus merasa bodoh. Ia pun mengikuti Dimas yang sudah terlebih dahulu berjalan masuk. Dari luar, restoran ini terlihat biasa saja dan lebih terkesan ketinggalan jaman. Namun ketika masuk ke dalam, Rangga merasa takjub dengan interiornya yang sederhana namun terkesan mewah. Tidak jauh dengan tampilan luar restoran yang didominasi warna cokelat tua dan putih pucat, bagian dalamnya pun cat dindingnya berwarna putih dengan tiang-tiangnya di pojok-pojok ruangan berwarna cokelat tua. Terdapat hiasan-hiasan dan juga lukisan-lukisan yang meramaikan dinding. Dimas mengambil meja di dekat jendela. Selagi menunggu pelayan datang, ia membaca menu-menu yang sudah tersusun rapi di dalam buku menu beserta dengan keterangan harga-harganya. Banyak daftar makanan khas Kalimantan yang ada dalam buku menu, namun untuk minumannya tidak jauh berbeda dengan minuman-minuman yang ada pada restoran biasanya. “Selamat malam, mau pesan apa, mas?” , tanya pelayan wanita yang datang sambil membawa teko besi. Setelah meletakkannya diatas meja, ia beralih dengan buku kecil dan pena di tangannya untuk mencatat menu yang dipesan oleh pelanggan. “Umm..” , Dimas masih melihat-lihat daftar menu, “Mas Rangga mau pesan apa? Aku bingung harus memesan apa.” Rangga yang sejak tadi sama sekali tidak menyentuh buku menu dan hanya duduk bersandar pada sandaran kursi, memajukan tubuhnya mendekat pada meja sambil tangannya menarik buku menu yang ada di tengah meja, “Apa disini ada mie asin?” , tanya Rangga membuka-buka buku menu sebentar dan menatap pada pelayan wanita yang sedang menuangkan air putih pada masing-masing gelas untuk DImas dan Rangga. Pelayan wanita tersebut tesenyum, “Tentu ada, Pak.” , ia mencatat mie asin pada buku catatan kecilnya, “Satu atau dua porsi?” , tanyanya. Rangga menatap Dimas yang masih tampak bingung memilih menu, “Dua porsi. Untuk minumnya teh hangat saja.” “Tunggu-tunggu, aku masih memilih!” , protes Dimas pada Rangga yang dengan seenaknya memilihkan menu untuknya. “Ck, nanti tinggal pesan lagi. Akan memakan waktu lama jika harus menunggumu selesai memilih, aku sudah lapar.” , Dimas hanya bisa pasrah mendengar jawaban dari Rangga. Selagi menunggu pesanan datang, Dimas menandai menu-menu apa saja yang ingin ia coba. Sementara Rangga melihat-lihat sekeliling dan beranjak pergi ke kasir yang berada dekat pintu masuk. “Permisi, mba?” , tegur Rangga pada wanita penjaga kasir yang sedang mengumpulkan kertas-kertas bon pelanggan yang membayar dengan kartu kredit. “Iya mas, ada yang bisa saya bantu?” , jawab wanita tersebut segera meninggalkan kertas-kertas bon dan menghadap langsung pada Rangga. “Apa restoran ini menyediakan layanan pesan antar?” “Iya ada, mas. Tapi karena sudah jam segini, pegawai kami yang bertugas mengantar layanan pesan antar sedang mengantarkan pesanan terakhir malam ini.” “Ah begitu. Apa tidak bisa walaupun hanya mengantarkan ke kantor polisi di depan balai kota? Tidak begitu jauh dari sini.” , kekeh Rangga. Kasir tersebut tampak menimbang-nimbang keputusan, “Baiklah, nanti akan saya bicarakan pada kurir pengantar kami.” “Terima kasih, mba. Tolong satu porsi mie asin diantarkan kesana ya. Oh iya usahakan ketika sampai disana kuah dan mienya masih panas. Tagihannya nanti disatukan saja dengan tagihan meja tujuh.” Wanita kasir mengangguk mengerti, “Baik, mas. Pesanan atas nama siapa?” “Agung. Di divisi kejahatan kriminal I.” “Baik, atas nama Agung di divisi kejahatan kriminal I. Nanti akan kami kirimkan, terima kasih.” Rangga memberikan senyuman pada kasir tersebut sebelum melenggang pergi kembali ke mejanya. Dilihatnya Dimas yang masih melihat-lihat buku menu, ia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil membawa dirinya duduk tepat di hadapan Dimas. “Pada akhirnya aku memutuskan untuk mencoba ini semua, mas.” , ujar Dimas dengan mata berbinar-binar. “Bagus untukmu. Karena ini pakai kartu ketua tim, makanlah sepuasmu.” , sahut Rangga dengan sarkas. Dimas mengangguk-anggukan kepalanya setuju. Rangga mengalihkan perhatiannya ke jendela, ia baru menyadari hujan gerimis yang cukup deras sedang turun saat ini. “Hujan..” , katanya. Mendengar hal itu, Dimas pun ikut melihat keluar jendela. “Ini mie asinnya.” , sahut wanita pelayan tadi datang sambil membawa nampan yang berisi dua mangkuk berwarna putih yang berisi mie asin yang masih panas dan juga dua gelas teh hangat. Dimas yang belum pernah mencoba mie asin, terlihat sangat bersemangat karena exited sekaligus lapar. Otaknya langsung mengirim sinyal pada perutnya yang kemudian membuat mulutnya memproduksi lebih banyak air liur saat melihat mie asin yang tertata rapi diatas mangkuk, lengkap dengan kacang goreg, ikan teri goreng, pakcoy, dan juga daun bawang. “Kelihatannya enak sekali, mas.” , ujar Dimas yang membiarkan wajahnya terpapar oleh uap panas dari kuahnya. Rangga tersenyum bangga. Ia mengambil dua pasang sumpit dari kotak sumpit dan sendok yang ada di tengah meja untuk ia letakkan di samping mangkuk Dimas dan juga untuknya, “Ini makanan yang paling aku suka sewaktu disana. Orang sana juga menyebut ini mie panjang umur. Kau harus mencobanya.” , jelasnya. Dimas mengangguk mengerti. Segera ia meraih sumpitnya, menarik mie yang tenggelam dalam kuahnya, meniupnya sebentar dan menyeruputnya, “Uwaah, ini benar-benar enak!” , sahut Dimas masih dengan makanan di dalam mulutnya. Melihat Dimas menikmati makanannya, Rangga tersenyum senang, “Selamat makan.” Saat mie tersebut masuk ke mulutnya dan menyentuh lidahnya, sekelebat perasaan yang tidak asing akan suatu kenangan muncul di pikirannya. Suasana hatinya berubah seketika, pikirannya benar-benar hanyut ke dalam masa-masa saat di Kalimantan dulu. Perasaan sedih, rindu, kesal, menyesal, semuanya bercampur menjadi satu saat itu juga. Ditambah dengan hujan yang turun semakin deras diluar, Rangga benar-benar dibuat kembali ke masa itu. *** Di dalam kantor polisi yang tak terlalu jauh dari restoran tadi, Agung- selaku ketua tim, sedang melakukan tanggung jawabnya untuk menulis laporan keseluruhan kasus agar cepat dilaporkan untuk sidang nanti. Kacamata kotaknya memantulkan layar laptop yang menampilkan dokumen beserta foto-foto korban beserta bukti-bukti di lokasi tempat kejadian perkara yang didapat dari tim forensik. Jari jemarinya dengan lihai menekan tombol-tombol huruf seakan-akan mereka menari-nari disana. “Permisi..” , tegur seseorang yang memakai jas hujan berwarna putih memunculkan setengah badannya di dekat pintu masuk ruangan tersebut. Hal itu menginterupsi Agung yang tengah bergelut dengan pekerjaannya, “Iya? Siapa?” , tanya Agung sambil menyipitkan matanya berusaha mengenali wajah orang tersebut, namun nihil. Walaupun ingatannya sangat bagus dalam mengingat wajah orang, wajah orang tersebut asing baginya. “Layanan pesan antar. Untuk mas Agung.” , sahut pria dengan jas hujan tersebut sambil membaca lagi catatan alamat dan nama yang ia tuju. Mendengar namanya disebut, Agung segera berdiri dan menghampiri pria tersebut, “Iya, saya sendiri.” Pria berjas hujan tersebut tersenyum senang karena ia tidak perlu repot-repot lagi berkeliling seisi kantor polisi ini untuk mencari orang bernama Agung. “Satu porsi mie asin untuk mas Agung.” , ucapnya sembari memberikan kantung plastik berwarna putih yang basah terkena hujan. Namun Agung tidak serta merta langsung menerimanya. Ia menatap pria tersebut dengan alisnya terangkat sebelah, “Saya.. tidak memesan layanan pesan antar makanan.” “Saya juga tidak memesannya. Yang pasti saya hanya melakukan pekerjaan saya.” , Agung masih tidak menerima kantung plastik tersebut. “Tolong cepat terimalah, pak. Biar saya cepat pulang.” , rengek pria pengantar makanan tersebut. Mendengar hal itu, Agung pun menerimanya. Setidaknya ia bisa membiarkan pria muda yang mudah mengeluh ini pergi. “Ah iya, terima kasih.” Pria dengan jas hujan tersebut mengangkat tangannya dan mensejajarkan jari-jari tangan kanannya dengan pelipisnya memberi hormat sebagai balasan. Agung yang masih curiga dengan isi bungkusan tersebut tetap membuka dan mengeluarkan isinya. Satu mangkuk plastik tipis berwarna putih yang berisi gumpalan mie berwarna putih, satu kantung plastik yang berisi kuah yang masih panas, satu kantung plastik kecil yang berisi kacang goreng, satu kantong plastik kecil yang berisi daun bawang, satu kantung plastik kecil berisi teri goreng, dan juga dua kantung plastik kecil lainnya yang berisi kecap dan sambal. Alis kanannya naik. Selain tidak mengetahui makanan apa yang ada di hadapannya ini, ia juga penasaran siapa yang memesankan ini untuknya. Ada beberapa orang yang ia curigai. Pemiikiran positif hingga pemikiran negatif, datang menghantui pikirannya. Di tengah rasa penasarannya, sebuah pesan masuk dari Rangga yang menginterupsinya. Sepertinya tagihan kartu kreditmu benar-benar akan membengkak bulan ini. Dimas sudah mangkuk ke empat. Kau juga harus mencobanya. , begitu isi pesannya yang disertai sebuah foto yang menampilkan dimas yang sedang makan dengan lahapnya dengan tumpukan mangkuk yang sudah kosong di sampingnya. Melihat hal itu, ujung bibir Agung terangkat sedikit menunjukkan senyumnya. Ia membalas pesan tesebut dengan mengambil foto paket pesan antar yang sudah ia keluarkan semuanya ke atas meja dan mengirimkannya pada Rangga degan menambahkan tulisan Aku tidak tahu bagaimana menyajikannya dengan benar, sepertinya aku hanya akan mencampurkan semuanya jadi satu ke dalam mangkuk. Rangga yang tengah melahap mie di mangkuknya terhenti saat ponselnya bergetar dan menyala menampilkan pop up pesan balasan dari ketua timnya. Ia hanya tersenyum geli sebentar dan kembali melanjutkan makannya. Agung benar-benar memasukkan semuanya ke dalam mangkuk dan mengaduknya mencampurnya menjadi satu, membuat mienya terlihat sedikit menjijikan dan tidak membuatnya tergugah sama sekali. Agung mencoba suapan pertama. Setelah menyeruput dalam satu tarikan nafas, dirinya terperangah dengan sensasi rasa yang baru saja ia rasakan. Ia belum pernah merasakan sensasi rasa seperti ini sebelumnya. Ia pun langsung melahap semuanya dengan lahap. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD