BAB SATU : KAMI, SEKARANG (part 2)

2430 Words
Semakin lama langkah Rangga membawanya masuk semakin dalam. Pencahayaan semakin minim, namun Rangga masih bisa melihat samar-samar barang-barang yang sudah terbuang dan juga kayu-kayu yang sepertinya bekas pembangunan salah satu ruko ini. Tak disangka, ujung dari celah kecil ini ternyata lebih luas dari dugaannya. Saat matanya menatap sekeliling dengan waspada, tiba-tiba dari sisi samping kanannya, ia mendapat hantaman balok kayu yang sudah mulai rapuh. Dengan sigap ia menahan pukulan itu dengan tangannya untuk melindungi kepalanya. Balok kayu tersebut patah begitu mendapat tangkisan dari tangan Rangga. Orang tersebut langsung melarikan diri setelah menghantam Rangga dengan balok kayu, namun Rangga tidak kalah cepat. Tangannya langsung menarik hoodie pria tersebut dan melemparkannya ke arah tumpukan karung-karung dan kayu-kayu. Saat pria tersebut tersungkur kesakitan karena badannya menghantam kayu-kayu, Rangga menghampirinya sambil merogoh sesuatu di kantong jaket bomber hitamnya. Ia menarik tangan pria tersebut dan mengeluarkan borgol dari kantong jaketnya. “Mas Asep, anda ditahan atas pembunuhan berencana dan p*********n seorang wanita-” , belum sempat Rangga melanjutkan kata-katanya, pria tersebut memberikan tendangan ke arah perut Rangga yang berhasil membuat Rangga tersungkur. Melihat hal itu, ia langsung memanfaatkan kesempatan ini untuk kabur. Namun belum sempat ia pergi keluar dari gelapnya gang, besi dingin terasa di keningnya membuatnya berjalan mundur perlahan. Keningnya ditodong dengan pistol oleh seseorang yang pria tersebut yakini adalah salh seorang teman dari orang yang mengejarnya. Ia berjalan mundur hingga ke tempat semula. Pria yang menodongnya melihat Rangga yang tersungkur dan sedang mencoba untuk bangun. Rangga tidak bisa melihat dengan jelas siapa orang di depannya. “Cepat borgol dia. Dimas, jemput kami segera.” , perintahnya dingin. Mendengar suara itu, Rangga langsung bisa mengenali siapa orang di depannya. Suara yang terasa sangat familiar di telinga Rangga. Ia pun langsung melakukan yang diperintahkannya tadi. *** Setir kemudi diambil alih oleh Dimas. Ia membawa mobil kembali ke kantor polisi. Di depan aula pintu masuk kantor polisi sudah banyak wartawan berdiri menunggu. “Tanganmu tidak apa-apa?” , tanya pria dengan blazzer tadi sambil melihat kerumunan wartawan di luar. Rangga mengangguk mantap, pria yang bertanya tadi pun mengangguk. “Baiklah, ayo.” , mendengar hal itu Rangga langsung membuka pintu mobil dan keluar sambil menuntun pelaku, menunggu rekan-rekan lainnya keluar dari mobil. Dimas menjadi yang terakhir keluar lalu membantu Rangga mengawal pelaku masuk, sedangkan pria dengan blazzer hitam tadi merapikan lengan blazzernya sambil berdehem mengatur suaranya. Dimas dan Rangga menunggu komando darinya. Setelah menarik nafas, ia pun menganggukkan kepalanya sekali memberi kode dan memimpin mereka masuk. Melihat Rangga dan timnya, para wartawan dengan cekatan langsung mengerumuni mereka bagaikan semut melihat permen. Pria dengan blazzer hitam yang merupakan ketua tim, memimpin sekaligus melindungi pelaku yang mereka bawa dari para wartawan dan reporter. Begitu juga dengan Rangga dan Dimas yang melindungi pelaku dari sisi kanan dan kiri. Tidak tinggal diam, petugas polisi yang sedang ada di dalam pun ikut keluar untuk mengamankan situasi. “Apa motif pelaku dalam kasus ini, pak?” “Bagaimana kronologi kejadiannya, pak?” “Sudah seminggu lebih polisi baru bisa menangkap pelaku, apa saja kendala yang terjadi,pak?” “Dimana lokasi penangkapan pelaku, pak?” “Apa hubungan korban dengan pelaku, pak?” Para wartawan dan juga reporter menyerang mereka dengan rentetan pertanyaan-pertanyaan yang mereka kemukakan dengan saling bersautan tidak mau kalah. Belum lagi kilatan cahaya dari kamera yang berusaha menangkap wajah pelaku setiap detiknya. Tim Rangga dan pelaku berdiri berbaris sejajar membiarkan para wartawan memotret mereka, sebelum Rangga dan Dimas membawa pelaku masuk ke ruang introgasi sedangkan ketua tim mereka menjawab pertanyaan-pertanyaan dari para wartawan. *** Setelah menyelesaikan semua prosedur dan telah membawa masuk pelaku ke ruang interogasi, Rangga langsung keluar dari ruangan tersebut untuk pergi ke kamar mandi. Di dalam kamar mandi, di depan cermin besar yang menempel pada dinding, Rangga menaikkan lengan jaketnya dan melihat luka bekas hantaman kayu tadi. Terlihat ada sedikit memar dan terasa ngilu saat di sentuh. Rangga tidak terlalu mempedulikannya dan menaikkan lengan jaket tangan yang lainnya sebelum mencuci wajahnya yang sedikit kotor karena perkelahian tadi saat berusaha menangkap pelaku. Selesai mencuci wajahnya, ia masuk ke dalam ruangan kecil yang berada di balik kaca cermin besar yang ada di dalam ruang interogasi. Di dalamnya sudah ada beberapa orang yang diantaranya adalah seorang profiler dan juga analisis suara. Dari kaca di depannya, ia bisa melihat ketua timnya ditemani Dimas, sedang menginterogasi pelaku. Sambil meneguk segelas kopi hangat, ia melihat semua proses interogasi berlangsung. *** “Dimana kali ini?” , tanya Dimas bersemangat sambil melihat kedua rekan satu timnya sibuk membereskan meja mereka yang berserakan kertas-kertas dan juga foto-foto tempat kejadian perkara kasus yang sedang mereka kerjakan. Rangga menatap Dimas sebentar kemudian beralih pada ketua timnya, “Biar ketua tim saja yang memutuskan.” , tangannya kembali sibuk mengelompokkan dan memasukkan kertas-kertas ke dalam kotak. Ada beberapa juga yang ia buang ke keranjang sampah yang ada di dekatnya. “Mas Agung?” , tegur Dimas agar ketua tim mereka mau memperhatikannya sebentar dan berhenti dengan kertas-kertas di mejanya. “Aku tidak bisa ikut, malam ini aku harus menulis laporan lengkap untuk kasus ini. Kalian berdua saja, ya.” , jawab Agung sambil mengeluarkan sesuatu dari dompetnya dan menyodorkan sebuah kartu kredit. Rangga melempar kertas-kertas yang sudah tidak terpakai ke dalam keranjang sampah, “Apa yang disebut makan malam tim jika ketua tim tidak ikut?” “Lalu apa kau yang mau menyelesaikan laporan ini?”, Agung berkacak pinggang pada Rangga. Melihat hal itu, Rangga ikut meletakkan kedua tangannya pada pinggangnya dan berjalan mendekat ke meja Agung. Dimas melihat mereka berdua dengan cemas. Rangga berhenti dan menatap Agung yang masih pada posisinya. Tak disangka, ia mengulurkan tangannya ke depan, “Mana?” , tanya Rangga meminta barang yang sedang dipegang oleh Agung. Agung pun memberikan kartu kredit yang dipegangnya, “Aku harap kau tidak menyesal.” , ujar Rangga pada Agung, “Ayo Dimas, kita buat tagihan kartu kreditnya membengkak.” , tambah Rangga sambil melangkah pergi meninggalkan ruangan itu. “I-iya! Tunggu aku! Terima kasih, ketua tim. Selamat bekerja.” , Dimas sedikit membungkukkan badannya sebelum menyelonong pergi menyusul Rangga. Agung yang melihat tingkah kedua bawahan sekaligus rekan kerjanya itu hanya menggelengkan kepalanya sambil menatap kepergian keduanya. Suasana ruangan itu langsung berubah jadi sepi, hanya terdengar suara dari kertas-kertas yang saling bergesekan akibat perbuatannya. *** Dimas dan Rangga pergi menyusuri jalanan kota yang masih ramai di tengah terangnya malam oleh lampu-lampu jalanan, mereka mencari tempat makan untuk makan malam mereka. Namun sudah duan puluh menit berlalu, masih belum ada tempat makan yang menarik perhatian mereka. “Makan apa kita malam ini, Ga?” , tanya Dimas yang mengambil alih kemudi sambil melihat ke kanan dan ke kiri. “Ck, aku lebih tua darimu setahun.” , keluh Rangga sambil menatap tajam pada Dimas yang duduk di sampingnya. “Iya iya, ralat, mas Rangga.”, Dimas mengangguk-angguk dengan malas. “Mas Rangga sebelum di Jakarta tinggal di Kalimantan, kan?” , tambahnya. “Iya.” , jawab Rangga singkat. Terdengar ada sedikit perubahan suasana dari nada bicara Rangga. Matanya beralih menatap pemandangan di luar kaca jendela mobil di sampingnya. Pikirannya melayang mengenang masa lalunya mendengar kata Kalimantan. “Aku belum pernah ke Kalimantan sebelumnya, orang-orang bilang disana panas seperti di neraka. Apa iya seperti itu, mas Rangga?” “Orang-orang memang suka melebih-lebihkan.” Dimas mengangguk-angguk setuju dengan jawaban Rangga sekaligus mengangguk mengerti, “Bagaimana dengan makanannya? Kudengar, orang-orang bilang, masyarakat disana makan serangga-serangga yang mereka temukan. Apa iya seperti itu, mas Rangga?” Mendengar pertanyaan konyol seperti itu tentang tempat tinggal masa lalunya, Rangga spontan langsung menatap Dimas, “Aku pikir sebaiknya kau berhenti mendengarkan perkataan orang-orang.” Dimas nyengir, “Ya mau bagaimana lagi mas Rangga, aku punya telinga yang masih berfungsi dengan baik.” Pandangan Rangga beralih lurus ke depan, “Aku masih tidak mengerti bagaimana bisa kau masuk ke kepolisian.” , celetuk Rangga dengan sarkas. Mendengar hal itu, tak disangka Dimas melengkungkan senyuman polos namun terlihat licik, “Soal itu.. Aku juga hanya mendengarkan perkataan orang lain.” *** Di pagi hari yang cerah ini, terlihat seorang wanita muda tengah sibuk mencuci sayuran di wastafel, meniriskannya, memotongnya dan memasukkannya ke dalam panci berisi air yang telah mendidih di atas kompor. Sambil menunggu sayuran tersebut matang, ia beralih pergi dari dapur menuju ruang depan televisi yang menampakkan seorang gadis kecil masih terlelap dalam tidurnya dengan posisi terlentang dan selimut yang sudah terlempar jauh darinya. Melihat hal itu, ia tersenyum dengan lembut pada malaikat kecilnya. Mengambil seminut yang sudah berada jauh dari tubuh gadis tersebut, ia langsung melipatnya dan meletakannya di atas bantal yang tak jauh dari gadis tersebut. Melihat buah hatinya yang tertidur dengan nyenyaknya membuat hatinya tenang dan bahagia. Segera ia merangkak mendekat pada gadis kecilnya dan menciumi pipinya tanpa henti. “Raya, ayo bangun. Matahari sudah menunggumu.” , ucapnya di sela-sela kecupannya. Mendengar suara lembut itu, gadis tersebut mengerang dan segera melenturkan otot-otot di tubuhnya dengan meregangkannya jauh-jauh lalu kembali tidur. Merasa tidak diacuhkan, sang ibu segera mengangkat putrinya tersebut untuk berdiri dan menuntunnya berjalan keluar menuju bangku kecil berwarna kuning yang ada di tengah lahan rumput kecil. Ia menuntunnya untuk duduk dan mengambil meja kecil untuk diletakkan di depannya menjaganya jika gadis kecilnya masih ingin tidur. Tak lupa ia memeriksa sinar matahari dengan menatapnya silau. Masih hangat, pikirnya, lalu pergi meninggalkan putrinya yang sedang tidur bermandikan sinar cahaya matahari pagi yang hangat. Saat kembali masuk ke dalam rumah, dengan terburu-buru ia berlari kecil saat melihat panci yang berisi sayuran tadi mulai meluap. Segera ia mengecilkan apinya dan mencoba rasanya. Kepalanya mengangguk senang saat dirasa enak. Ia beralih memotong tempe menjadi bentuk persegi panjang tipis lalu menatanya diatas teflon yang sudah diolesi mentega tipis-tipis. Sementara sang ibu sedang bergelut dengan peralatan masak di dapur, sang anak yang tengah berjemur dengan merebahkan kepalanya di atas meja kecil yang sudah disiapkan oleh ibunya sebelumnya. Matanya terbuka, mata yang bulat dan jernih. Ia hanya diam sejak tadi, masih mengumpulkan semua kesadarannya kembali. “Selamat pagi, Raya.” , sapa seorang wanita berusia sekitar enam puluh tahunan dengan suaranya yang lembut dan hangat khas. Ia keluar dengan membawa kantung plastik yang berisi sampah rumahnya dari pintu yang bersebrangan dengan pintu masuk rumah Raya. Mendengar suara yang familiar tersebut, Raya langsung menengok ke arah suara dan tersenyum dengan wajah bangun tidurnya. “Selamat pagi, nenek.” , balas Raya dengan ceria. Wanita yang dipanggil nenek tersebut langsung tersenyum. “Baru bangun ya? Mana bundamu?” Raya mengangguk mengiyakan sambil menggaruk-garuk kepalanya yang membuat rambutnya semakin terlihat kacau, “Bunda di dalam.” , jawabnya sambil menguap. Ia berusaha membuka mulutnya lebar-lebar saat menguap. Sesaat setelah menguap, matanya menangkap sesuatu yang gemuk dan berbulu keluar dari pintu wanita tua tadi. Melihat hal itu matanya langsung berbinar dan bibirnya tertarik keatas membentuk sebuah senyuman yang menampakkan gigi-gigi kecilnya. “Lilo, sini, kemari, ckckck.” , panggil Raya pada hewan berbulu lebat yang adalah seekor kucing anggora berwarna putih bersih. Kucing tersebut menatap pada Raya saat namanya dipanggil. Namun ia hanya berdiam diri di depan pintu. Raya yang sudah gemas, ia dengan perlahan mendekati Lilo sambil terus merayunya dengan memanggil namanya sambil menjentik-jentikkan jarinya agar kucing tersebut mau menghampirinya. Lilo memang kucing rumahan yang dirawat dengan sepenuh hati untuk menemani wanita paruh baya tadi. Bulunya yang lebat, putih bersih, mencirikan sekali betapa terawatnya dia. Raya selalu bersemangat setiap kali melihat Lilo. Beruntung Lilo adalah kucing rumahan, Raya bisa memeluknya dengan bebas tanpa harus takut dicakar ataupun digigit. “Lilo, ayo kita main bersama.” , sahut Raya sambil memeluk Lilo dengan lembut dan mengusap-usap kepala Lilo pada pipinya. Tak diduga, seekor cicak jatuh dari atas plafon depan rumah Raya dan Lilo yang melihat hal itu langsung melompat dari pelukan Raya dan berlari mengejar cicak tersebut, membuat Raya terkejut. Cicak yang baru saja jatuh tadi juga terkejut saat melihat Lilo yang tengah berlari dengan cepat ke arahnya. Dengan sigap, ia segera berlari masuk ke dalam rumah Raya dengan Lilo yang mengejar di belakangnya. “Lilo, jangan!” , ujar Raya sedikit berteriak. Merasa tidak didengarkan, ia segera berlari menyusul Lilo yang berlari ,masuk ke dalam rumahnya. Ibu Raya yang masih berada di dapur tengah menyiapkan lauk lainnya, mendengar keributan itu. Suara langkah kucing yang berlari masuk dan juga suara langkah suara Raya yang berlari masuk menyusul kucing tersebut. “Raya, jangan berlari.” , sahut ibu Raya mengingatkan. “Lilo mengejar cicak, Bunda. Dia akan mengacak-acak semuanya!” , jawab Raya dengan lantang masih sambil mengejar kucing anggora tersebut, berusaha menangkapnya. “Tidak apa-apa, nanti kita bereskan kembali. Raya berhentilah berlari sebelum jam di tanganmu berbunyi.” , kembali ibunya memberi peringatan. BIP BIP BIP BIP BIP Mendengar suara itu bagaikan mendengar suara petir di siang bolong yang terik. Ibu Raya langsung menjatuhkan sendok sayurnya dan berlari menuju asal suara, “Raya!” Raya yang mendengar suara ibunya yang meninggi saat memanggilnya, langsung berhenti berlari. Ibunya langsung berlutut di hadapannya dan memegang bahunya, memeriksa keadaannya dengan khawatir. Perhatiannya menuju ke sebuah jam tangan khusus berwarna pink yang melingkar di pergelangan tangan mungil Raya. Jam tangan tersebut bukannya menunjukkan waktu, melainkan angka yang memberitahukan jumlah detak jantung Raya dalam satu menit. Kondisi kesehatan Raya tidak begitu baik. Ia memiliki kelainan jantung sejak lahir yang membuatnya tidak boleh kelelahan dan harus menjaga detak jantungnya tidak lebih dari sembilan puluh kali per menit. Sambil menggenggam tangan Raya erat-erat, ibu Raya memejamkan mata sambil menunggu bunyi peringatan dari jam tersebut berhenti. Wajahnya begitu panik, Raya merasa bersalah melihat hal itu. Ia bisa merasakan bahwa ia baru saja melakukan hal yang ibunya tidak ingin ia melakukanya. Berusaha untuk tersenyum, ibu Raya mencoba untuk menatap langsung pada Raya. Bibir Raya masih berwarna merah muda, hal itu membuatnya bernafas lega. “Raya.. Bunda tidak ingin mendengar suara jam ini berbunyi. Dan jam ini akan berbunyi setiap kali Raya berlari. Jika suara jam ini berbunyi, Raya akan merasa kesakitan seperti waktu itu. Jadi Raya berhenti berlari ya, Bunda sangat benci suara jam ini.” Raya memiringkan kepalanya, “Kalau begitu kenapa tidak kita lepas saja jamnya, Bunda?” , tanya Raya polos. Ibunya menggeleng, “Jika kita melepasnya, Raya dan Bunda akan dijauhkan. Jadi Raya harus tetap memakainya terus dan menjaganya agar tidak berbunyi ya, janji?” , ibunya mendekatkan wajahnya dan menunggu. Raya diam sejenak untuk berpikir, lalu mendekatkan wajahnya dan mengusapkan hidungnya dengan hidung ibunya sebagai tanda perjanjian. Hal itu membuat kekhawatiran di wajah ibunya memudar dan melihat hal itu, Raya merasa senang. Ia merasa sudah melakukan sesuatu yang baik dan benar kali ini. “Ayo kita makan, bunda memasak kesukaan Raya hari ini.” , ajak ibunya sambil mencubit gemas pipi Raya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD