BAB TIGA : SAKSI TERSEMBUNYI (part 1)

2141 Words
Di saat Rangga menikmati cuti hari pertamanya dengan mendampingi adiknya yang berulang tahun untuk menonton konser, Dimas yang lebih muda satu tahun dari Rangga, menikmati cuti hari pertamanya untuk pergi menyelam dengan teman satu grupnya. Menyelam memang sudah menjadi hobinya yang sudah ia geluti sejak di bangku sekolah menengah atas. Dengan beberapa teman yang ia dapatkan dari komunitas yang berisi orang - orang yang memiliki hobi yang sama dengannya, Dimas memang sudah merencanakan dari jauh - jauh hari untuk menyelam di beberapa tempat yang terkenal memiliki pemandangan bawah laut yang begitu mengangumkan di Indonesia. Namun, dari sermua tempat yang ada dalam daftar yang sudah dibuatnya, ia memilih kepualan Seribu yang akan menjadi tempat penyelamannya untuk cuti kali ini. Bukannya tanpa alasan ia memilih tempat yang tidak terlalu jauh dari domisili rumahnya, melainkan karena singkatnya cuti yang diberikan oleh atasan lah yang membuatnya terpaksa memilih kepulauan Seribu menjadi destinasinya kali ini. Dua hari bukan lah waktu yang cukup untuknya bepergian ke tempat yang jauh. Dengan berbekal kamera anti air yang ia beli dengan tabungannya selama bekerja paruh waktu saat masih duduk di sekolah menengah pertama, Dimas melompat dari kapal yang membawanya agak jauh dari tepi pantai dan baru saja ia menceburkan dirinya ke dalam air, pemandangan terumbu karang dan juga ikan - ikan kecil berwarna - warni menyambutnya dengan hangat. Ikan - ikan tersebut terus berenang kesana kemari melakukan aktifitas hariannya seperti biasa seolah - olah tidak terganggu dengan kehadiran Dimas dan teman - temannya. Dengan santai, Dimas mengeluarkan kameranya dan mengambil banyak foto ikan - ikan dengan warna dan bentuk yang unik. Tak lupa, ia mengambil foto ‘selfie’ dirinya bersama ikan - ikan yang tidak kabur saat didekati untuk diajak foto bersama. Benar - benar cuti untuk menghibur diri. Mungkin itu sebabnya Dimas terlihat lebih muda beberapa tahun daripada Rangga walaupun kenyataannya usia mereka hanya terpaut satu tahun. Dimas benar - benar tahu cara menikmati hidup. Berbeda dengan Agung, ketua tim mereka. Tidak seperti kedua bawahannya yang menikmati cuti singkat ini untuk tidur ataupun melakukan hobi, ia tetap berkutat dengan kasus - kasus yang belum terpecahkan, terutama kasus pembunuhan berantai anak yang menggegerkan publik kurang lebih enam bulan yang lalu. Pada saat itu tim mereka benar - benar dibuat stress dengan tekanan dari publik juga atasan mereka yang menuntut untuk segera ditemukan pelaku kasus tersebut yang hanya memilki minim petunjuk dan barang bukti serta jejak - jejak yang membawa mereka pada pelaku. Jam tangan yang tergantung pada spion depan yang tergantung di atas dashboard mobil, menunjukkan waktu pukul sepuluh lewat dua puluh enam menit. Agung dengan kaos putih yang senada dengan warna sepatu kets di kakinya, dibalut jas berwarna hitam yang serasi dengan celana jeans yang tampak pudar, terlihat begitu serius membawa mobilnya pergi menuju rumah sakit yang lebih terlihat seperti rumah perawatan untuk rehabilitasi. Sesampainya disana ia langsung menuju meja administrasi yang bisa dengan mudah ia temukan begitu ia memasuki pintu masuk kaca dua pintu tersebut. “Selamat pagi, detektif.” , sapa salah satu perawat yang sudah familiar dengan kedatangan Agung. Agung mengembangkan sebuah senyum kecil singkat untuk sapaan yang begitu ramah di pagi ini, “Pagi. Seperti biasa saya kemari untuk mengunjungi nona Danisa.” Mendengar nama yang disebutkan oleh Agung, perawat tersebut segera meraih salah satu tumpukan file - file data pasien yang hanya berjarak sepanjang lengan di samping kirinya, “Wali nona Danisa memutuskan untuk memulangkan Danisa beberapa hari yang lalu.” , katanya sambil membalik - balikan kertas data pasien dengan nama Danisa tertera pada bagian depan file dan menunjukkan pada Agung bagian yang menunjukkan waktu Danisa keluar dari rumah sakit dan memutuskan semua perawatan. “Mengapa ia memulangkannya? Apa keadaan Danisa sudah benar - benar pulih? Apa ia sudah mau bicara?” , tanya Agung mencoba mengetahui semua informasi yang terlewatkan olehnya. “Sepertinya karena masalah pembiayaannya. Ibunya yang hanya pedagang sayur keliling merasa tidak sanggup jika harus membiarkan Danisa dirawat lebih lama lagi.” , Agung tampak menyayangkan situasi yang baru saja didengar olehnya, “Yah.. dalam keadaan fisik Danisa sudah dalam keadaan baik. Luka - lukanya pun sudah sepenuhnya membaik. Tetapi.. Sepertinya dia masih enggan untuk bicara.” , jelas perawat tersebut dengan raut wajah prihatin. Agung terdiam sejenak untuk berpikir, “Apa dia mengatakan akan pulang kemana?” , tanyanya segera. Perawat tersebut tampak mengingat - ngingat kembali saat ibu dari Danisa datang untuk mengisi administrasi keluar dari perawatan, “Sepertinya ia kembali ke rumah lamanya.” “Ah begitu.. Terima kasih atas informasinya. Selamat bekerja.” , ujar Agung pamit pergi. Tanpa pikir panjang, Agung langsung melajukan mobilnya pergi dari sana. Dari jalan raya tol yang begitu luas dan macet hingga Agung bisa dengan leluasa melaju dengan kecepatan tujuh puluh kilometer per jam, beralih ke jalanan sempit dengan kanan kiri selokan mampat yang airnya berwarna hitam. Karena jalan ke depannya sangat kecil yang hanya bisa dilalui oleh motor, Agung memutuskan untuk memakirkan mobilnya di sini dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Begitu ia turun dari mobil dan menutup pintunya, ia bisa mencium aroma tidak sedap yang tidak lain adalah berasal dari selokan di sisi kanan kiri jalan. Hidungnya dengan spontan mengernyit menolak untuk menghirup udara dengan aroma yang seperti itu. Namun ia tidak memiliki pilihan lain selain tetap bernafas dengan kualitas udara yang aromanya sangat mengganggu daripada harus pingsan di sini, di sekeliling aroma tidak sedap. Tidak ingin berlama - lama lagi di tempat seperti itu, segera ia beralih menuju pintu mobil kursi di belakang kursi kemudi dan mengambil beberapa plastik yang berisi buah - buahan dan juga aneka cemilan. Tak lupa juga sebuah boneka berukuran anak bayi yang berusia beberapa beberapa minggu, dengan bentuk karakter kartun yang tengah digemari banyak anak - anak saat ini- Misha And The Deer, yang bisa mengeluarkan suara saat tangan kanan boneka tersebut sedikit di tekan. Dengan dua kantung plastik di tangan kiri berisi camilan dan buah yang ia beli di jalan tadi, juga tangan kanannya yang menenteng kantung kertas berisi boneka yang masih dalam kotak segelnya, Agung menyusuri jalan gang sempit yang ramai anak - anak kecil berlari berlalu - lalang tersebut dengan hati - hati. Belum lagi ditambah penduduk setempat yang mengendarai motor. Gang sempit tersebut terasa begitu sesak dan merepotkan. Agung berkali - kali harus mengangkat bawaannya tinggi - tinggi agar tidak tersenggol oleh anak - anak yang berlarian. Setelah beberapa menit menyusuri jalanan yang sempit, jalanan mulai melebar saat sudah memasuki komplek apartermen kumuh yang padat penduduk. Disinilah tempat tujuannya. Tempat tinggal Danisa. Agung melongokkan kepalanya melawan terik silau matahari untuk memastikan dimana apartemen Danisa. Bangunan apartemen tersebut terdiri dari tiga lantai yang cat dindingnya sudah mulai mengelupas di beberapa bagian. Jemuran pakaian dari tiap penghuni menghiasi bagian depan tiap kamar menambah kesan kumuh. Tidak mempedulikan penampilan apartemen tersebut, Agung melangkahkan kakinya memasuki kawasan apartemen tersebut. Saat melewati pos penjaga, Agung melihat satpam yang berjaga tengah menikmati tidur siangnya dengan mulut terbuka. Melihat hal itu, Agung menunjukkan raut wajah prihatinnya. Selain prihatin karena satpam tersebut melalaikan tugasnya, namun juga karena melihat satpamnya yang sudah berumur, rambutnya sudah memutih hampir seluruhnya. “Permisi,” , ujar Agung melongokkan kepalanya pada lubang kaca berbentuk kotak di bagian depan pos jaga tersebut. Namun, rupanya panggilan dari Agung dengan masih belum cukup keras untuk membangunkan bapak tua itu. Agung berdehem sebentar untuk mempersiapkan tenggorokannya, “PERMISI!” , ujar Agung lagi. Namun kali ini lebih kencang hingga membua satpam tersebut terkejut dan langsung meloncat berdiri dari kursinya. Dengan wajah yang masih tampak bingung karena terbangun dengan begitu mendadak, satpam tersebut menatap sekitarnya hingga akhirnya menangkap wajah Agung yang muncul dari lubang kotak, “Ada yang bisa saya bantu?” , tanyanya dengan tergopoh - gopoh berjalan keluar dari ruang kerja sempitnya untuk berhadapan langsung dengan Agung. “Selamat siang, pak. Saya mencari rumah anak bernama Danisa. Apa dia masih tinggal disini?” , tanya Agung langsung ke intinya. Dahi pria tua tersebut mengernyit mendengar nama Danisa, “Danisa? Oh nak Danis! Iya, betul. Sebelumnya ada keperluan apa menemui Danis? Atau sebenarnya ada perlu dengan ibunya?” , tanya satpam tua tersebut tersenyum licik menggoda sebab mengira Agung ada niat lain dengan ibunya Danisa yang statusnya janda. Agung yang tidak berpikir seperti yang satpam tua tersebut pikirkan, tanpa ragu menjawabnya, “Sebenarnya dengan keduanya.” , spontan hal tersebut membuat satpam tersebut terkesiap terpikirkan jawaban dari Agung yang malah mendukung prasangkanya, ditambah melihat penampilan Agung yang begitu muda dan kekinian ingin bertemu dengan janda anak satu. Namun sebelum satpam tua tersebut berspekulasi lebih jauh lagi, Agung memindahkan bawaannya di tangan kanannya ke tangan kirinya untuk mengeluarkan sebuah tanda pengenal dari saku jasnya yang menunjukkan identitasnya sebagai polisi, “Saya polisi. Tidak perlu khawatir, saya datang dengan maksud baik.” Satpam tersebut terkejut dan langsung malu, “Rumahnya ada di lantai dua, kamar yang paling ujung.” , katanya langsung memberikan informasi tanpa ditanya. Agung memasukkan kembali tanda pengenalnya dengan santai, “Ya, saya sudah tahu soal itu. Kalau begitu, permisi.” , Agung menganggukkan kepalanya sedikit untuk pamit undur diri. Satpam tersebut balas mengangguk dan memperhatikan Agung yang langsung berjalan masuk, “Apa tidak ada polisi yang ramah, ya?” , gerutu satpam tua tersebut dan kembali masuk untuk melanjutkan tidur siangnya. TOK TOK TOK “Permisi.” Wanita berperawakan gemuk dengan wajah yang terlihat berminyak tengah sibuk mengisi dan menggulung lembaran adonan tipis berwarna hijau dengan isian kelapa yang sudah dicampur dengan gula aren itu menghentikan kegiatannya sejenak begitu mendengar suara ketukan pintu dan panggilan dari Agung. Entah karena bobot berat badannya atau karena sudah terlalu lama duduk, wanita tersebut terlihat sedikit bersusah payah hanya untuk berdiri dan dengan berhati - hati namun berusaha untuk cepat melewati loyang - loyang dan juga nampan - nampan yang berjejer hingga ke ruang tengah, “Iya, sebentar!~” , sahutnya mencoba untuk meminta kesabaran pada Agung yang mengetuk pintunya. “Oh, mas detektif?” , wanita tersebut terkejut saat membuka pintu dan melihat Agung yang tidak pernah ia sangka akan datang. “Selamat siang.” , sapa Agung. Kali ini tampak keramahan pada wajahnya walaupun hanya sedikit. Wanita tersebut tidak tahu harus berbuat apa dan berekspresi seperti apa atas kedatangan Agung yang tidak pernah ia sangka sebelumnya, “Ada keperluan apa mas datang kemari?” , tanya wanita tersebut masih di pintu. Agung menunjukkan ketiga bawaannya dengan menaikkannya sedikit, “Saya ingin melihat perkembangan kondisi Danisa.” , jawabnya. Merasa tidak enak jika harus mengusir Agung pergi, wanita tersebut membuka pintunya lebih lebar memersilahkan Agung untuk masuk. Agung sedikit tercengang melihat keadaan dalam kamar apartemen tempat Danisa tinggal. Baru beberapa langkah masuk. ia sudah disambut dengan loyang - loyang dan nampan - nampan berisi kue - kue basah tersebar mulai dari ruang depan hingga ke dapur. Sontak Agung menghentikan langkahnya karean tidak menemukan celah untuk duduk kecuali sofa kecil, namun penuih dengan tumpukan pakian yang belum dilipat. “Maaf ya, mas, rumahnya berantakan.” , ujar wanita bertubuh gemuk tersebut yang tidak lain adalah ibu dari Danisa. Pandangan Agung memeriksa sekeliling mencoba untuk mendapatkan informasi dari menganalisa situasi rumah tersebut seperti yang biasa a lakukan saat berada d KP, “Tidak apa, bu. Saya tidak masalah jika saya harus berdiri.” Dengan langkah cekatan, ibu Danisa melewat nampan - nampan tersebut menuju Sofa untuk menyingkikan tumpukan pakaian aga Agung bisa duduk. Tumpukkan pakaian itu begitu besar, hingga bu Danisa haus memeluk semua tumpukan pakaian tersebut sekaligus, dan membawanya ke ruangan lainnya yang sepertinya adalah kamar. “Danis, ada om di luar, apa kamu tidak ingin menyapanya?” , terdengar suara ajakan ibu Danisa bicara pada Danisa yang berada di dalam kamar. Agung masih berdiri di sisi ruang depan, menunggu dengan sabar. Tidak terdengar ada suara lagi setelah suara ibunya Danisa, Agung sudah bisa menebak Danisa masih belum pulih dari traumanya setelah kejadian waktu itu. Danisa merupakan korban selamat dari kasus pembunuhan berantai yang tengah ia selidiki. Beruntung, Danisa bisa melarikan diri saat dirinya disekap dalam tempat persembunyian si pelaku. Namun, walaupun begitu, kejadian tersebut menjadi trauma yang besar untuk Danisa. Hingga saat ini ia enggan untuk berbicara dengan siapapun, termasuk ibunya sendiri. Menjadi satu - satunya korban yang selamat, membuat Danisa menjadi saksi kunci untuk menemukan pelaku. Hal itu tentu saja karena hanya Danisa lah yang benar - benar sudah pernah melihat dan kontak langsung dengan pelaku. “Danisa masih tidak ingin bicara.” , ujar ibu Danisa saat keluar dari kamar, “Silahkan duduk disini, mas.” , katanya lagi sambil menepuk - nepuk sofa dengan kain, berharap kotoran - kotoran ataupun debu yang ada segera pergi. Agung meletakkan semua bawaannya untuk mereka di atas meja yang ada di dekatnya, dan dengan langkah berhati - hati pergi menuju sofa. Nampan dan loyang yang bersebaran membuat Agung teringat pada ladang ranjau yang juga harus berjalan dengan sangat berhati - hati bagi siapapun yang hendak melewatinya jika tidak ingin tubuhnya hancur meledak bersama ranjau yang diinjaknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD