BAB DUA : BERTEMU DALAM INGATAN (part 5)

1595 Words
TIIIN TIINN! Suara klakson dari kendaraan yang berada di belakang mobilnya dengan bersautan membunyikan klakson - klakson pada kendaraan mereka memaksa Rangga untuk segera menjalankan mobilnya karena lampu lalu lintas sudah berganti menjadi hijau. Rangga langsung tersadar dari lamunannya dan mengganti gigi mobil dan melaju pergi. “Kakak sejak tadi melamunkan apa sih?” , tanya Kaila yang sudah tidak tahan lagi dengan sikap kakaknya sejak tadi. Tidak ingin menjawab pertanyaan adiknya, Rangga memilih untuk fokus ke jalanan dan mengubur dalam - dalam ingatan masa lalunya yang keluar ke permukaan sejenak tadi kembali ke dalam kotak kenangan yang ia simpan dengan baik di sudut ingatannya. *** Adelia pulang dengan tergesa - gesa mengingat ia sudah terlalu larut saat ini sebab tertidur saat di bus hingga ke pemberhentian bus yang terakhir. Ini pertama kalinya baginya tertidur selama itu. Berkat kejadian itu, ia memutuskan untuk tidak lagi duduk di bus saat perjalanan pulang terlebih saat kantuk benar - benar menyerangnya. Bunyi pintu gerbang kecil yang terbuat dari aluminium terdengar berisik di malam yang sunyi ini saat Adelia mendorong membukanya. Suara sirine ambulan dan polisi dari jauh terdengar menggema, berbeda jauh dengan keadaan di balik pintu aluminium berwarna hijau tua yang merupakan tempat tinggalnya yang begitu tenang dan damai. Suara langkah sepatunya yang bergesekan dengan jalan semen bahkan terdengar dengan sangat jelas. Dengan langkah terburu - buru, ia melepas sepatu dan membuka pintu rumah kecilnya. Suasana hangat dan hanya suara kipas angin yang mengisi keheningan begitu berbeda dengan suasana di luar. Adelia dengan langkah cepat berjinjit menghampiri bu Indira yang tengah membereskan bekas makan Raya. Saat menuju dapur, Adelia melihat putri semata wayangnya tengah tertidur lelap dengan hanya memakai kaos dalam juga celana pendek, Lilo disampingnya yang juga tertidur dengan nyaman di atas selimut yang tak rapi. Rasa lelah Adelia lenyap seketika melihat pemandangan yang begitu menenangkan hatinya. “Ya ampun ibu, maaf aku terlambat.” , ujar Adelia dengan nada suara pelan agar tidak membangunkan Raya, meletakkan tasnya di atas kursi, melepas jaketnya, dan meletakannya pada punggung kursi untuk mengambil alih yang sedang dikerjakan oleh bu Indira. Bu Indira menyingkir dan mendudukan tubuhnya pada salah satu kursi di dekatnya agar Adelia lebih leluasa bergerak, “Apa kau tadi ketinggalan bus? Tidak biasanya selama ini.” , tanya bu Indira dengan suara pelan. “Tidak bu, tadi aku tertidur di dalam bus sampai ke pemberhentian ujung.” , jawabnya sambil meletakkan piring - piring kotor ke dalam bak cuci piring. “Benarkah? Tapi kau tidak apa - apa, kan? Tidak ada yang mengganggumu? Barang - barangmu tidak ada yang hilang?” Adelia tersenyum menanggapi kekhawatiran bu Indira padanya, “Aku pulang dengan selamat dan tidak ada yang hilang termasuk rasa lelahku. Hahahaha.” Bu Indira ikut tersenyum. Kulit wajahnya yang sudah mulai kendur tertarik ke atas. Tak lama senyumnya mulai memudar mengingat kejadian tadi saat Raya menunjukkan sebuah foto yang disembunyikan oleh Adelia selama ini, foto dirinya dengan ayah dari Raya. Hal yang membuat bu Indira merasa sedih adalah kenyataan Adelia yang bersikap baik - baik saja seolah telah melupakan laki - laki tidak bertanggung jawab tersebut. Namun kenyataannya, ia diam - diam masih menyimpan foto laki - laki tersebut yang menjadi pertanda jauh di lubuk hatinya masih terdapat secercah rasa rindu dan harapan untuk bertemu kembali suatu saat nanti. Satu hal lainnya lagi yang membuat hati bu Indira terasa teriris adalah fakta bahwa selama ini Raya telah mengetahui setidaknya wajah ayahnya dan tidak bertanya ataupun mengatakannya pada Adelia sama sekali, melhat Adelia pun tidak pernah mengungkit pasal ayah dari Raya sama sekali. Seingatnya Raya pernah bertanya mengenai ayahnya pada Adelia sekali. Dan hanya berbekal jawaban ayahnya sedang pergi jauh untuk mengejar kebahagiaannya, Raya tidak pernah bertanya lagi setelah itu hingga sekarang ini dia berhasil mengetahui wajah dari sosok ayahnya yang telah disembunyikan rapat - rapat oleh Adelia kepada siapapun. Melihat Adelia bekerja sangat keras untuk putrinya ditambah mengetahui beban rasa rindu yang tertahan dalam hatinya, hati bu Indira tidak bisa tidak terenyuh. Ia bisa membayangkan betapa kerasnya hidup yang dijalani oleh Adelia. Hal itu membuatnya bersyukur dipertemukan dengan Adelia oleh semesta. Setidaknya, ia bisa merasakan dirinya sebagai sosok seorang ibu sekaligus nenek yang sebenarnya tidak pernah bisa ia rasakan jika tidak bertemu dengan Adelia. “Ah iya nak Adel, apa mungkin Raya ada alergi dengan bulu kucing?” , tanya bu Indira menginterupsi Adelia yang tengah mencuci piring. Adelia meletakkan gelas terakhir pada rak gelas, mematikan keran dan mengelap tangannya dengan lap tangan, “Tidak bu. Selama ini juga dia baik - baik saja bermain bersama Lilo.” , jawab Adelia mendekat. “Ah begitu..” Melihat raut wajah bu Indira yang terlihat khawatir, membuat Adelia bertanya - tanya dalam pikirannya, “Ada apa memangnya, bu? Apa sesuatu terjadi hari ini?” , tanyanya tidak ingin melewatkan sesuatu pun tentang putri kesayangannya. “Tadi beberapa kali Raya seperti menarik nafasnya dalam - dalam saat bermain dengan Lilo. Ibu khawatir Raya terkena astma atau sejenisnya karena Lilo.” , jelas bu Indira menatap pada Raya dan Lilo yang tengah tidur dengan nyenyaknya. Wajah Adelia seketika terlihat khawatir dengan sangat jelas. Ia tahu ini adalah pertanda dari kondisi kesehatan Raya yang keadaan jantungnya semakin melemah dari waktu ke waktu. Dengan tatapan khawatir yang amat sangat, Adelia menatap putrinya dari jauh dengan nanar. Ia tidak ingin ada hal buruk yang terjadi pada Raya. “Tapi dia tidak berlari, kan? Jam tangannya tidak berbunyi, kan?” , tanya Adelia khawatir. Bu Indira menyadari hal itu, tangannya menyentuh tangan Adelia dan mengusapnya lembut dengan tangannya yang sudah keriput karena usia, “Semuanya akan baik - baik saja,” , sebuah senyum ia berikan dengan niat untuk menyemangati, “Jangan ragu untuk bilang pada ibu jika kau butuh sesuatu.” Adelia menatap tangan bu Indira dan beralih pada wajahnya yang terlihat tersenyum menenangkan membuat air mata Adelia nyaris menetes. “Ya sudah, ibu mau kembali ke kamar ibu dulu. Kau beristirahatlah.” , pamit bu Indira yang segera bangkit dari duduknya dan berjalan dengan sedikit tertitah. Adelia segera mengusap air matanya yang sudah berkumpul di pelupuk matanya, dan mengikuti bu Indira dari belakangnya untuk mengantarnya sampai ke pintu. Sebelum ke pintu, bu Indira menghampiri Raya dan Lilo yang tengah tertidur untuk mengambil dan membawa Lilo ikut serta bersamanya. “Selamat beristirahat, bu.” , ujar Adelia sambil menunggu hingga bu Indira masuk ke dalam rumahnya yang tepat berada di samping bagian depannya sebelum ia kembali masuk. Melihat sandal - sandal dan sepatu lucu miliknya dan juga Raya berserakan tepat di depan pintu, menggerakan dirinya untuk menyusunnya dengan rapi, mengambil beberapa untuk dibawa masuk dan hanya menyisakan sandal yang biasa digunakan oleh Raya untuk main juga sandal usang miliknya. Dengan perlahan, Adelia menutup pintu dan tak lupa menguncinya. Meletakkan sepatu - sepatu yang dibawanya tadi untuk diletakkan dengan rapi pada rak sepatu yang bersandar pada dinding sebelah kiri pintu masuk. Baru beberapa langkah kakinya masuk, mainan - mainan yang tadinya tidak terlihat oleh matanya karena terburu - buru untuk menghampiri bu Indira, sekarang terlihat dengan jelas dan menjadi titik - titik fokusnya. Dengan sabar Adelia memunguti satu per satu boneka - boneka, peralatan masak mainan, dan juga sebuah pancingan plastik dengan bulu yang tampak familiar terikat di ujung tali yang menjadi kailnya. Sesaat, Adelia menyadari bulu ini adalah bulu yang sama yang ada pada kemoceng yang biasa ia gunakan untuk membersiihkan debu pada rak buku di taman kanak - kanak yang ada di depan. Sebuah simpul senyum geli tersungging pada bibirnya membayangkan Raya menggunakan pancingan yang sudah putrinya modifikasi untuk memancing Lilo-- temannya si kucing peliharaan bu Indira. Ia merasa senang sekaligus bangga sudah melahirkan seorang putri yang kreatif seperti Raya. Entah kenapa, hal itu membuat tensi semangat yang ada pada dirinya meningkat perlahan. Ia merasa dirinya sudah pulih dari semua lelah yang ia rasakan tadi. Saat itulah, Adelia menyadari maksud dari Tuhan menghadirkan Raya dalam hidupnya. Untuk menjadi kekuatan dan dorongan semangat tak terbatas untuk melanjutkan dan terus bertahan untuk hidup. Ia tidak bisa membayangkan apa jadinya ia sekarang jika tidak ada dan tidak pernah bertemu dengan Raya. Setelah memungutinya, ia memasukkan mainan - mainan tersebut ke dalam keranjang besar yang berisi kumpulan mainan Raya sejak ia bayi hingga sebesar sekarang ini masih terjaga. Walaupun beberapa dari mereka ada yang tidak lengkap bagian tubuhnya-- sebut saja dua buah boneka barbie yang menjadi hadiah ulang tahunnya yang ketiga, dan juga ada beberapa yang sudah tidak terlihat berbentuk seperti pada awalnya-- sebut saja mainan mobil yang bisa dibongkar menjadi sebuah robot yang adalah pemberian dari salah satu temannya yang bersekolah di taman kanak - kanak milik bu Indira. Adelia beralih mendekat pada Raya yang masih terlelap tidur dengan hanya memakai celana pendek juga kaus dalaman dan tengkurap di atasnya. Hal itu membuat Raya yang berbadan sedikit gemuk semakin terlihat gemuk ditambah pipinya yang menggembung seperti sedang menyembunyikan buah rambutan di dalam mulutnya. Rasa gemas tidak bisa tertahankan tiap kali Adelia melihat putrinya saat sedang tertidur. Adelia merasakan emosi melankolis mulai merayap ke dalam pikiran dan perasaannya. Ia merasa waktu begitu cepat berlalu. Rasanya baru kemarin Raya belajar untuk bicara dan sekarang sudah bisa bicara macam - macam. Rasanya baru kemarin Raya belajar tengkurap dan sekarang sudah bisa berjalan dan berlari walaupun tidak diperbolehkan karena kondisi jantungnya yang tidak mendukung. Mengingat kondisi Raya menamparnya kembali pada kenyataan. Dengan lembut Adelia menyentuh d**a bagian kiri Raya dan merasakan tiap detaknya yang tidak beraturan. Detakannya lebih cepat daripada detak jantungnya. Dengan pelan, Adelia memeluk Raya. “Jangan pernah menyerah untuk terus berdetak ya, sayang..” , ujar Adelia pelan sambil memejamkan matanya bersungguh - sungguh dengan perkataannya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD