Part 2

1114 Words
Tumpukan pekerjaan hari ini begitu membuatku lelah. Tanpa berganti pakaian, aku langsung merebahkan diri di tempat tidur. Mataku terpejam sesaat melepas segala kepenatan. Sebenarnya aku tak perlu melakukan semua pekerjaan ini, suamiku lebih dari sekedar mampu untuk menafkahiku, tapi terbiasa menjadi wanita mandiri membuatku tak ingin menjadi istri yang selalu bergantung pada suami. Lagipula akan terasa sia-sia jika ilmu yang aku dapatkan tidak dimanfaatkan. Karena aku percaya, sebaik-baiknya manusia, adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Kuedarkan pandangan ke seluruh ruangan kamar, tidak terasa sudah hampir 7 bulan aku tinggal di sini. Bersama dengan dia, orang yang aku cintai sepenuh hati, suamiku. Katakanlah aku orang yang mudah jatuh cinta, kalau kata anak zaman sekarang mudah "baper" alias bawa perasaan. Dalam hitungan minggu, dia berhasil membuatku jatuh dalam pesonananya. Aku tersenyum mengingat awal pertemuan kami... Flashback Juli, 2015 "Bi, kamu masih ingat Om Danu dan Tante Rieke kan?...besok Om Danu sekeluarga mau ke sini lho." ibu tiba-tiba bersuara di tengah keheningan makan malam kami. "Hem...yang dulu temen kantornya ayah waktu di Bandung kan Bu?Memangnya ada acara Bu?" tanyaku penasaran "Iya betul...ga ada acara apa-apa, pingin ketemu aja, kan mereka baru balik dari Newyork. Rencananya akan menetap kembali di sini." "Aku kenal ga Bu?" tanya adikku yang juga tertarik dengan obrolan ini, sedangkan ayah hanya diam sibuk dengan makanan kesukaannya yang disiapkan ibu "Kayaknya ga deh Kin...kamu kan waktu itu masih balita, iya kan Bu? " Iya...tapi tante Rieke ingat kalian berdua lho, terutama kamu Sabrina!" jawab ibu "Masa sih Bu?" tanyaku lagi "Iya...dari dulu kan tante Rieke mau kamu jadi mantunya, katanya kalo udah pada gede, mereka mau melamar kamu sebagai istri anaknya. Kalau ingat itu, Ibu suka senyum-senyum sendirk deh! Kalian itu lucu banget kalo lagi barengan, kamu selalu ngikutin ke mana Olan pergi, sampe-sampe dia kesel dan sering ngadu ke maminya." Aku memikirkan cerita ibu, masa sih aku begitu. Aku tidak begitu ingat dengan apa yang ibu ceritakan, maklum usiaku waktu itu masih sangat kecil, antara 6 atau 7 tahun dan masih duduk di kelas 1 SD. Tapi ada beberapa memori yang terekam di otakku, aku suka mencubit pipi anaknya Om Danu. Tubuhnya yang gempal, membuatnya lucu. Ah...seperti apa dia sekarang yaa?? Masih adakah pipi tembem nya itu? --------------------------------------------------------- Minggu pagi adalah waktuku berlama-lama di tempat tidur. Terbebas dari segala macam dokumen dan tumpukan file dalam komputer. Sedikit bisa berleha-leha rasanya. Tapi hari ini waktu santaiku sedikit terbatas, dari semalam ibu sudah mewanti-wanti aku dan Sakina untuk membantunya beberes dan memasak. Rencana kedatangan keluarga om Danu menciptakan kesibukan kecil di rumahku. Sakina dan ayah berbenah rumah, aku dan ibu memasak di dapur. Prinsip kerja sama yang selalu ayah dan ibu terapkan dalam keluarga kami membuat aku dan Sakina menjadi pribadi yang mandiri dan tidak terlalu bergantung pada orang lain. Lahir di keluarga yang berkecukupan tidak lantas membuat kami menjadi anak yang manja. Ayahku seorang senior manager di sebuah bank asing. Ibuku seorang dokter gigi di salah satu rumah sakit terkemuka di Jakarta. Tapi mereka tidak pernah mendidik kami dengan harta. Karena kata ayahku, jika kita menginginkan sesuatu, kita harus berusaha agar kita tahu pentingnya sesuatu yang kita perjuangkan itu. Semakin ke sini, aku semakin bersyukur, ternyata apa yang dilakukan ayah dan ibu selama ini justru karena mereka sangat sayang kepada kami. Aku menjadi pribadi yang mandiri dan tidak mudah putus asa. Begitu sih kata teman-temanku. Aku dan ibu memasak banyak menu hari ini, mulai dari olahan seafood kesukaan tante Rieke, balado terong kesukaan ayah, dan ceker ayam kesukaan Olan, anak tante Rieke. Aku baru tahu kalau dia suka sekali dengan ceker ayam, padahal dilihat saja terasa mengerikan. Olan...aku kembali mengingat nama itu, karena penasaran, semalam aku mencari album foto lama dan menemukan beberapa fotoku dan Olan. Benar kata ibu, hampir di semua foto, aku selalu berada di dekat Olan. Sebegitu centilnya kah aku dulu, mengingatnya membuat ku malu. Bagaimana kalau dia ingat padaku yang dulu selalu menempel padanya. Rasanya aku tidak ingin keluar kalau Om Danu dan keluarganya datang nanti. Semuanya sudah beres tertata di meja makan, rumah juga sudah rapi oleh ayah dan Sakina. Kami juga sudah segar dan siap menyambut kedatangan om Danu dan keluarga. Ibu terlihat paling antusias, sudah lama Ia tak bertemu sahabat dekatnya itu. Ayah juga tak kalah hebohnya, papan catur sudah disiapkan nya di ruang tamu, ayah dan Om Danu memiliki hobi yang sama, bermain catur. Entah kenapa ayah suka sekali bermain catur, terkadang beliau memaksa aku atau Sakina untuk menjadi lawannya, dan kalian tahu?belum sampai sepuluh menit kami sudah kalah. Dan itu membuat ayah bosan, merasa tidak ada lawan. Makanya hari ini ayah tampat bersemangat, sebentar lagi keinginannya untuk bermain catur dengan lawan yang seimbang akan segera terwujud. Lain lagi dengan Sakina, gadis itu hanya cuek karena belum memiliki kenangan apa-apa dengan keluarga om Danu. Bagaimana denganku? Jangan tanyakan...karena sejujurnya aku takut, takut jika Olan mengingat semua tingkah ku saat kecil dulu. Menjadi pengintil ke manapun dia pergi. Oh Tuhan....semoga ia amnesia, dan melupakan kejadian memalukan itu. Suara bel menghentikan lamunanku. Sepertinya itu Om Danu dan keluarga. Gugupku bertambah! "Mungkin itu mereka datang Yah." kata ibu seraya bangkit menuju pintu. Ayah pun ikut berdiri dan mengekor dari belakang. Sementara aku berjalan ke arah dapur dengan alasan ingin minum. Tak lama kemudian terdengar suara ibu di ambang pintu. "Sabrina....kok kamu malah di sini, ayo keluar! Olan menanyakan kamu lho." Deg.... Perkataan ibu sukses membuat jantungku berpacu lebih cepat dan cepat lagi. "Iya bu...nanti Bina nyusul." jawabku "Iya...buruan!" Kuhembuskan napas sesaat, mengingat kenyataan bahwa Olan masih ingat denganku membuat dadaku terasa sesak. Semoga dia hanya ingat namaku, bukan sikap pengintilku waktu itu. Aku berjalan ke arah ruang tamu. Sampai di sana, aku melihat seorang perempuan cantik,yang meskipun umurnya sudah tidak muda lagi, tapi keanggunan dan kecantikan nya tetap terpancar seperti 20 tahun yang lalu. Walaupun aku tak ingat betul bagaimana tante Rieke waktu itu, tapi dari foto-foto yang kulihat semalam, dia sama cantiknya dengan yang kulihat hari ini. Di sebelahnya pasti Om Danu. Aku tersenyum sendiri, perutnya sudah tampak membuncit, rambutnya juga sudah sedikit memutih. Tapi garis-garis ketampanan tetap tak bisa terhapus dari wajahnya. Tapi di mana Olan? Tak ada pria tambun di sini.... Hingga mataku menangkap sesosok pria dengan sorot mata tajam dan senyumnya yang....aghh, tak bisa aku gambarkan, sungguh indah. Pandangan mata kami bertemu, tapi tak ada yang menyapa. Hingga tante Rieke menyadari kehadiranku. "Ini pasti Sabrina yaa? Kenapa berdiri di situ? Ayo sini, tante kangen sama kamu!" sapa tante Rieke ramah Semua mata menoleh ke arahku "Hai Bi...tumben berdiri jauh? Udah ga ngintilin saya lagi? Tanya pria itu Satu detik.... Dua detik.... Hah....??aku sukses melongo, pria super tampan dengan senyum sejuta watt yang menatap ku tadi adalah Olan si gendut menggemaskan?? Oh my God....kubur saja aku!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD