"Mommy.. Tadi Opa itu malah-malah sama kakak baju bilu." adu Cakra pada Renata yang kini nampak mematung ditempatnya.
Pandangan Rena benar-benar terkunci pada sosok pria setengah abad yang nampak tampan,dengan balutan kemeja biru dongker dan setelan jas yang nampak melekat sempurna ditubuh eight pack nya, percayalah karena Rena sudah melihat pria itu luar dalam.
Sama hal nya dengan pria yang sejak tadi beradu pandangan dengan Rena, mata hijaunya nampak meneliti Renata dari ujung kaki hingga kepala, bahkan Rena nampak seratus kali lebih cantik dengan balutan hijab. Kini pandangannya beralih pada bocah tampan berambut ikal coklat dan beriris hijau yang sedang memeluk kaki wanita itu, wanita yang sama dengan wanita yang enam tahun lalu ia nikahi secara siri dan ia tinggalkan begitu saja saat sedang mengandung. Inikah putranya?
"Astaghfirullah." lirih Renata, Ia sadar bahwa ia lalai menjaga pandangannya. Buru-buru Renata menundukan wajahnya dan mengangkat Cakra yang sejak tadi masih mengoceh ke gendongannya.
"Ada apa ini?" tanya Rena pada office girl yang sedari tadi berdiri di dekatnya sambil menunduk ketakutan.
"Maaf Bu Re, tadi saya nggak sengaja menabrak tuan ini, dan kemejanya terkena tumpahan kopi." jelas office girl tersebut dengan penuh penyesalan
"Maafkan saya Bu.. Jangan pecat saya.." lirih office girl bername tag Lina itu lagi.
Renata tersenyum manis menatap Lina, ia bias melihat sebuah ketulusan dalam ungkapan Lina. Tanpa Renata sadari senyum yang ia sunggingkan sangatlah manis, bahkan terlalu manis dan tulus hingga membuat d**a pria yang sejak tadi memperhatikannya itu berdesir seketika.
"Sejak kapan saya hobi pecat-pecat pegawai saya hmm?" Tanya Rena dengan lembut, Lina menggeleng seketika, reputasi Renata sebagai atasan yang sangat baik memang tak perlu diragukan. "kembalilah bekerja, dan tolong bawa anak saya ke ruangan saya." titah Rena sambil menurunkan Cakra dari gendongannya.
"Abang ikut sama kakak ini dulu ya, Mommy nanti menyusul." Cakra mengangguk, "Baik Mom."
Setelah Cakra dan office girl itu menjauh, Renata segera meminta maaf pada pria yang sejak tadi hanya diam menatap interaksi dirinya dan Lina. "Maafkan keteledoran pegawai saya tuan, dan maaf atas perkataan tidak sopan anak saya." ucap Rena tulus, meski kini hatinya sedang bergerimis, entahlah ia benar-benar merasa tidak baik-baik saja.
"Saya akan meminta asisten saya untuk menukar kemeja dan jas anda, sekali lagi saya minta maaf tuan." Lanjut Renata.
"Tatap saya Rena!" kata-kata itu meluncur tegas dari mulut lelaki bernama Nick itu.
"Maaf tuan, saya harus kembali bekerja." Renata segera berlalu dari hadapan mantan suaminya ini. Sungguh ia sendiri tak mengerti kenapa hatinya begitu ngilu kala mengingat kejadian enam tahun lalu.
Nick mencekal tangan Renata. "Dimana anakku?" tanya Nick tajam sambil mencengkram pergelangan tangan Renata.
"Anak yang mana yang anda maksud tuan?" tanya Renata dengan nada sarkastik. namun ia masih menundukan pandangannya.
"Apa bocah itu tadi anakku?!"
Renata tersenyum seketika, "Bukan, itu anak saya dengan pria lain." jawab Rena dengan tawa sumbangnya, teringat jelas di otak Rena saat Nick mengatakan bayi dalam kandungannya bukan darah daging pria itu.
Nick tersenyum miring mendengar jawaban Rena, "Percuma kamu menutupi tubuhmu dengan pakaian seperti itu. Sekali jalang tetaplah jalang." Nick berlalu begitu saja meninggalkan luka dihati Rena karena ucapan pedasnya.
Bibir Renata tersenyum kecut, lelaki itu tak berubah sedikitpun. Lelaki itu masih sama seperti dulu, sombong, bermulut pedas dengan tatapan merendahkan itu seolah tak pernah padam untuknya, hanya satu hal yang berubah dari Nick, pria itu semakin tampan dan memesona. Benar-benar menyebalkan!
Tak ingin berlarut-larut dalam baying-bayang sang mantan, Renata segera kembali keruang rapat.
Renata memasuki ruangan berpintu kayu berukuran besar itu setelah sebelumnya mengetuk.
Dengan senyuman ramah khas dirinya, Renata memberi hormat pada orang-orang penting disana.
“Maafkan saya terlambat, ada sedikit maslah penting yang harus saya selesaikan tadi.” Ujar Renata sebelum menduduki singgah sananya.
“Sangat tidak professional.” Ujar seorang pria yang sejak tadi menutupi wajahnya dengan sebuah koran bisnis.
Renata membeku seketika.
Ya Tuhan! Lelaki itu lagi!
Rena keluar dari ruang meeting dengan wajah muram, hancur sudah mood nya. Bagaimana bisa, perusahaan yang akan berinvestasi di kantornya adalah milik mantan suaminya.
Dan apa tadi katanya? Turkey?? Ohh yang benar saja. Jelas-jelas perusahaan itu berasal dari Jerman!
Bagaimana mungkin Fatimah bisa se teledor ini.. Huftt, Maki Renata dalam hati
Renata segera masuk ke ruangannya, ia menyusul Cakra yang nampak tertidur nyenyak di kamar khusus milik Renata, dipandanginya bocah tampan itu sambil sesekali mencuri kecupan di ppi putih miliknya.
Saat tengah asyik mengganggu tidur siang Cakra, tiba-tiba ponsel Renata berbunyi.
Kringg...
Renata meraih ponselnya di meja,
From : Ustadz Zafran
Assalamualaikum Dik, maaf mas mengganggu waktu Dik Re. Malam ini mas dan bapak ibu mas akan berkunjung ke rumah Dik Rena. Ibu bapak menanyakan perihal lamaran mas tempo hari, Bagaimana Dik?
Wassalamu'alaikum.
Renata menarik nafasnya dengan kasar, Zafran adalah ustadz muda sekaligus pemilik travel agent yang cukup besar di kota ini.
Pertemuan pertama Rena dan Zafran adalah saat Zafran mengisi sebuah pengajian yang kebetulan dihadiri Rena dan teman-temannya. Setelah itu sempat 3 kali bertemu di acara yang sama, dan tiba-tiba Zafran melamar Renata sekitar 2 bulan lalu, dan hingga kini belum ia jawab.
Zafran juga sudah nampak akrab dengan Cakra, karena hampir di setiap kesempatan, Rena selalu membawa Cakra kemanapun ia pergi. Lelaki itu juga terlihat sangat menyayangi Cakra.
Bukannya Rena menolak niat baik Zafran, namun dalam lubuk hatinya yang paling dalam, ia sungguh ia belum siap membina hubungan baru, lagi pula ia menikmati perannya sebagai single mom untuk Cakra, dan banyak pertimbangan lainnya, yang mungkin tak dapat di terima oleh laki-laki mana pun.
From : Renata
Wa'alaikumsalam Mas, Baik mas, sore ini Re akan pulang lebih awal.
Renata membulatkan niatnya, ia akan menolak lamaran Zafran malam ini juga. Tak peduli nanti omelan apa yang akan ia terima dari Kinanthi dan mamanya.
Renata berjalan ke lobby kantor nya sambil menggendong Cakra yang nampak lelap dalam dekapannya.
Renata melihat mobil Alphard miliknya yang sudah menunggu di lobby, Rena segera masuk ke dalam mobil lalu membenarkan posisi Cakra agar nyaman dalam dekapannya.
"Pak Mur, nanti mampir ke supermarket depan kompleks ya, saya mau masak banyak hari ini. Mas Zafran dan orangtuanya mau datang." Ucap Renata panjang lebar pada surpirnya. Sang supir hanya mengangguk saja tanpa menjawab tak seperti biasanya.
Rena merebahkan badanya, ia menutup matanya sebentar, lalu ia kembali membukanya saat sadar ini bukan jalan menuju rumahnya.
"Pak Mur? Ini mau kemana dulu?" tanya Rena bingung.
"Membawamu pergi jauh tentunya." ucap seorang lelaki yang tiba-tiba muncul dari jok belakang sambil menyodorkan pistol ke kepala Renata .
Renata mengenang seketika, ia tak berani berkutik barang sedikitpun. Dan kini mulutnya sudah dilakban oleh lelaki berbadan besar dan bertampang besar yang tiba-tiba muncul tadi.
Air mata Rena meluncur seketika, ia memeluk Cakra dengan erat. Dalam hatinya terus merapalkan doa agar dirinya dan Cakra baik-baik saja