“Karlina mengharapkan kematian Mbak Intan dan juga bayinya. Hanya dengan begitu, aku bisa mendapatkan kartu-kartuku.” Inara mempertegas maksudnya. “Otakmu di mana?” tegas Pandu dengan suara yang masih lirih. Dadanya masih bergemuruh seiring napasnya yang menjadi memburu akibat emosi yang tengah susah payah ia tahan. Inara tercengang kebingungan kemudian berangsur menunduk takut. Pandu benar-benar membuatnya tak bisa melawan. Bahkan, ia jauh lebih takut kepada Pandu daripada kepada Karlina. Apalagi, saat bersama Karlina kebersamaan mereka terbilang santai. Namun saat bersama Pandu, rasanya kehidupan Inara ibarat mesin pompa. Jantung Inara sampai berisik akibat rasa takutnya pada Pandu dan susah payah ia tahan. “Intan itu kakakmu. Dan harusnya kamu juga menganggap bayi Intan ibarat bayimu