6

1009 Words
Aldo mendengus sebal saat hari minggu yang tidak ia inginkan datang begitu cepat. Ingin rasanya Aldo tiadakan hari minggu. Mana dari hari jumat harapannya tidak kunjung datang lagi. Boro-boro deh mimpiin nikahin si Dira, yang ada bayang-bayang wajah Dillia yang terus saja datang bagaikan kaset rusak di dalam mimpinya.  “Ayo berangkat, keluarga Dillia udah nungguin.” Ujar Papi Aldo membuat pundak Aldo melorot ke bawah.  “Pi, mundur deh. Aldo belum siap Pi.” Aldo memelas menatap sang Papi yang sudah memakai out fit sama dengannya itu. Elvira menatap putranya dengan tatapan nyalang, “nggak ada, nggak ada. Yang ada kamu hamilin anak orang lain nanti. Mami udah srek sama Dillia, mantu idaman Mami itu.”  “Idaman apaan! Oon begitu, Aldo nggak suka diginiin Mi.”  Mami Aldo melangkah maju mendekati sang putra. Tangannya terulur, menoyor kepala Aldo. “Kalau nggak suka, tangan kamu kondisiin makanya. Udah cepetan ayo berangkat! Mami pecat jadi anak kamu lama-lama ya Do.” Amuk Elvira. Araf dan Dino menahan tawa mereka melihat kemalangan Aldo. Aldo melawan Mami mereka? Hohoho, SIA-SIA! “ALDOOOOOO, CEPETAAAN!” teriak Elvira dari luar memanggil Aldo. Aldo dengan gontai keluar dari rumahnya menuju ke dalam mobil sang Papi.  “Sabar ya Do.” Ujar Araf lalu terbahak membuat Aldo menyumpah serapahi sang Abang. Jika dirumahnya Aldo tadi masih bisa berdebat dengan sang Mami, di depan rumah keluarga Dillia laki-laki yang masih berstatus siswa di Angkasa Jaya itu berdiri dengan keringat dingin yang membuat kemejanya basah. Air liurnya terus turun membasahi kerongkongannya.  Mati gue, gue ditebas bapaknya Dillia enggak ini ya. “His, cepetan pencet Do.” Kesal Mami Aldo melihat Aldo yang justru yang berdiri mematung di depan pintu kediaman calon besannya. “Ben.. Bentar Mi. Aldo do’a dulu.” Ucap Aldo bergetar.  “Alah lama, awas biar Mami aja.” Sentak Mami Aldo menggeser tubuh putranya itu. Geram juga melihat tingkah lambat Aldo.  Aldo menelan ludahnya gugup saat laki-laki yang Aldo yakini adalah Papa dari Dillia, membukakan pintu untuknya.  Napas Do, napas! Kok bapaknya tampangnya galak banget, anjir! Buru-buru Aldo mengambil tangan laki-laki itu untuk bersalaman. Dari pada nanti dia dimaki-maki udah mencabuli anak perawannya.  Rizkan memandang Aldo lekat. Sopan amat itu anak bantinnya, “Heh, lo sopan banget. Sama supir gue aja pake salaman. Bagus-bagus.” Ujar Rizkan membuat Aldo melepaskan tangannya. Keluarga Aldo terkikik geli melihat tampang Aldo yang salah tingkah.  “Ayo, masuk, ayo. Istri Saya sudah menunggu di dalam Pak Mahendra.”  Aldo menatap laki-laki rupawan yang menuruni tangga rumah Rizkan. Sialan, dia pikir laki-laki perparas sangar tadi Papanya Dillia, ternyata Papanya Dillia wajahnya kalem banget. Ketipu Aldo.  Grogi sialan! **   Setelah acara lamaran yang berjalan cukup alot karena ke dua orang tua Dillia yang meminta bertunangan dulu saja sedangkan Maminya yang ngebet ingin langsung menikah saja. Disinilah Aldo sekarang, di rumah Dillia untuk melaksanakan hasil dari acara lamarannya minggu lalu itu. Entah Aldo bahagia atau tidak dengan pertunangan yang bisa dikatakan terpaksa ini. Tapi melihat betapa cantik dan dewasanya Dillia hari ini, membuat perasaan senang hinggap dihati Aldo. Terpanakah dirinya dengan sosok tunangannya siang ini? Dengan gaun merah yang melekat pas ditubuhnya, Dillia menjadi sangat berbeda dengan hari-hari biasa yang hanya memakai kaos dan celana jeans saja. Rambutnya yang biasanya tergerai, kini di gelung menjadi satu. Mempertontonkan keindahan lehernya. Aldo menelan ludahnya, saat matanya dengan lancang terus menatap batang Dillia yang nampak menggiurkan dimatanya itu. Dillia cantik, sangat. Bahkan banyak saudara laki-lakinya yang mengagumi tunangannya itu secara terang-terangan.  Aldo sudah menahannya. Menahan kakinya untuk melangkah, dan menarik pinggang gadis yang sudah menjadi tunangannya itu. Dia ingin menunjukkan bahwa gadis yang menjadi bintang utama diacaranya adalah miliknya. Jadi tidak pantas mata nakal-nakal yang hadir menatap ke arah gadisnya, termasuk para saudaranya. Aldo semakin tidak bisa menahan gejolak dihatinya saat melihat senyum Dillia yang ditunjukan pada Zillo; Sepupunya darik pihak sang Mami. Ingin rasanya Aldo mematahkan setiap tulang yang menyangga tubuh Danzillo Restiawan. Tapi akal sehatnya menahan ego di dirinya. Nanti kalau ditanya apa motifnya? Aldo harus jawab apa? Karena pengen? Bisa diremukin tulangnya yang ada sama Maminya. “Dill, ikut yuk.” ajak Aldo menarik tangan Dillia. Dillia yang diajak Aldo dengan setengah terseret itu hanya menurut mengikuti anak laki-laki yang merupakan tunangannya itu. Kata Mamanya, Dillia harus belajar patuh pada Aldo. Begitu-begitu Aldo adalah calon suaminya, begitulah isi petuah dari sang Mama yang Dillia coba terapkan dalam hidupnya mulai sekarang. “Aku mau ngomong Dil.” Aldo menatap Dillia intens. “Ini bukannya Aldo lagi ngomong ya?” Damn! Gue lupa kalau tunangan gue g****k, rutuk Aldo dalam hati. Antara gemas pengen nyubit sama nabok pipi tembem Dillia.     “Jangan bercanda ih, otaknya di adain dulu.” Kesal Aldo membuat Dillia menatap Aldo kesal. “Ngomong aja Do, ada apa si Do? Tuh temen-temen pada liatin kita, Dillia malu.” Kata Dillia menunjuk Dipta dan Dira yang nyatanya malah fokus pada piringnya dan Dipta yang marah-marah ke istrinya yang tengah hamil tua itu. “Nggak disini. Ditempat yang private  Dil.” Kata Aldo. “Yaudah ke kamar aku aja Do, disana private kok.” “Njir kuat iman kaga ini gue. Maen ngajak ke kamar aja ini bocah.” Aldo terus mengikuti Dillia hingga ke kamarnya.  Aldo menelan ludahnya berulang kali, saat Dillia justru membuka cepolan rambutnya hingga rambut lurus itu jatuh terurai di depan matanya. “Ya Allah. Seksi banget Dillia, kok gue baru tahu.” “Aldo mau ngomong apa?” tanya Dillia yang memutuskan untuk duduk diranjangnya. Kakinya terasa ngilu dari tadi pagi berdiri. “Ena-ena Dil.” Aldo membekap mulutnya, saat mulut laknatnya itu kelepasan bicara. “Eh maap-maap bukan itu maksud gue.” Gugup Aldo. Dia merutuki dirinya sendiri. Sebenarnya-kan dia nggak mau ngomong apa-apa. “Hah ena-ena?” Dillia mengerutkan keningnya bingung,  “Ena-ena  itu apa sih Do?” tanya Dillia. Mati gue gimana jelasinnya sama nih anak, rutuk Aldo dalam hati. Susah juga sih, kalau punya tunangan o’onnya kelebihan. Salah ucap aja dia harus jelasin, gimana kalau beneran pengen sesuatu. Bisa nunggu bangkotan baru terealisasi deh keinginannya.  Poor Aldo!  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD