“Kita pernah bertemu sebelumnya?” tanya Aldebaran.
“Tentu saja,” jawab Alasya yang membuat kening Aldebaran semakin mengerut dalam. “Kita pernah bertemu di pesta pernikahan Danish dan Savannah beberapa tahun yang lalu.”
“Apa? Kita bertemu di pesta pernikahan Savannah?” tanya Aldebaran memastikan.
“Kau tidak ingat?” tanya Alasya balik.
Aldebaran lantas mencoba mengingat tentang momen yang Alasya sebutkan. Namun, ia benar-benar tak bisa mengingat apakah ia pernah melihat Alasya di pesta itu atau tidak. Karena, yang ada di matanya saat itu hanyalah Savannah. Tidak ada yang lain.
‘Tidak! Dia sedang mengalihkan pembicaraan. Jangan terpancing, Al,’ batin Aldebaran.
“Jangan mengalihkan pembicaraan. Aku tahu kau sedang mencoba untuk kabur. Lagi pula, aku tidak ingat kita pernah bertemu di sana. Jadi, jangan mencoba untuk kabur dengan berbohong padaku,” tuduh Aldebaran yang membuat Alasya memutar bola matanya.
“Aku tidak berbohong. Kalau aku bohong, bagaimana bisa aku mengenal Danish dan Savannah. Dan lagi, bagaimana mungkin aku mengatakan kalau kau ada di sana jika tidak melihatmu langsung?” ujar Alasya.
‘Benar. Bagaimana dia bisa mengenal Savannah kalau dia juga tidak hadir di pesta pernikahan Savannah?’ batin Aldebaran.
“Waktu itu, Savannah memperkenalkan kita berdua di ruang tunggu. Kau tidak ingat?” tanya Alasya yang mengalihkan perhatian Aldebaran. Pria itu lantas menggelengkan kepala sebagai jawaban tidak. Ia benar-benar tak bisa mengingat tentang apa yang terjadi hari itu selain Savannah.
“Baiklah. Karena kau tidak ingat tentang hari itu, kau pasti juga lupa dengan namaku. Kalau begitu, bagaimana kalau kita berkenalan ulang?” tawar Alasya.
“Namaku Alasya,” ujarnya seraya mengulurkan tangan pada Aldebaran yang tak tertarik dengan ide tersebut. Pria itu bahkan hanya melirik tangan Alasya yang menggantung di udara. Sampai Alasya menyadari keengganan Aldebaran lalu segera menarik tangannya kembali.
“Ya, sudah, kalau kau tidak mau. Aku juga masih ingat namamu,” ucap Alasya. “Aldebaran, benar?” ujarnya seraya mengulas senyum yang tak mendapat balasan dari Aldebaran.
“Baiklah, Al. Pertemuan kita sampai di sini saja. Aku sibuk. Kalau kita berjodoh, kau pasti akan bertemu denganku lagi,” pamit Alasya kemudian beranjak dari sana dan masuk ke dalam mobilnya sebelum Aldebaran kembali mencegahnya.
“Hei! Kau mau ke mana? Tunggu! Aku masih belum selesai bicara! Masih ada yang ingin kutanyakan padamu! Hei! Tunggu!” teriak Aldebaran yang diabaikan oleh Alasya. Wanita itu bahkan terus melajukan mobilnya tanpa melirik sedikit pun ke arah Aldebaran.
“Siall!” maki Aldebaran kesal sembari menendang udara kosong dengan kantong kertas berisi belanjaannya yang berada di dalam dekapannya.
Sementara itu, Alasya justru mengulas senyum tipis saat melihat tingkah Aldebaran yang kesal melalui kaca spion mobilnya.
“Pria yang menggemaskan dan sangat polos,” gumam Alasya.
-------
Alasya menghela napas panjang seraya melempar tubuhnya ke atas sofa empuk dengan mata terpejam. Ia baru saja selesai menata barang belanjaannya di tempat masing-masing.
Akhirnya pun, ia tak jadi membuat sarapan pagi yang ia nantikan. Pasalnya, sekarang sudah pukul 10.40 pagi menjelang siang. Sudah sangat terlambat untuk sarapan.
Mata Alasya seketika terbuka saat ia kembali mengingat wajah Aldebaran.
“Pria yang sangat lucu,” gumam Alasya kemudian terkekeh.
“Padahal usianya pasti sepantaran dengan Savannah. Tapi, bagaimana dia bisa semenggemaskan itu di usianya sekarang? Sangat lucu dan imut,” ujarnya bermonolog sendiri.
“Ya, ampun! Kenapa pula aku berbicara seperti orang tua? Aku merasa sudah sangat tua,” gerutu Alasya.
Kruyuuuk...
“Lapar,” lirih Alasya.
“Tapi, aku sudah tak punya tenaga untuk masak,” gumamnya cemberut yang tak lama setelahnya langsung berganti dengan senyuman.
“Untuk apa repot-repot kalau bisa pesan antar makanan?” seru Alasya kemudian langsung mengeluarkan ponsel dari saku jersey-nya lalu memesan makanan dari sebuah aplikasi belanja yang sering ia gunakan untuk memesan makanan.
Baru saja Alasya selesai memesan makanan, alarm di komputernya tiba-tiba berbunyi. Dengan malas, ia pun meletakkan ponselnya di atas sofa lalu melangkah menuju komputernya yang berjarak tak jauh dari sofa.
“Siapa lagi yang mencoba membobol sistemku?” keluh Alasya seraya duduk di kursinya. Helaan napas panjang lantas keluar dari bibir Alasya saat mengetahui siapa pelakunya.
“Kenapa orang ini selalu mencari masalah denganku? Dasar tidak tahu kemampuan diri sendiri,” cibirnya.
Orang yang Alasya maksud adalah seseorang yang juga juga merupakan hacker. Sayangnya, kemampuan orang tersebut bisa dibilang sangat jauh dari Alasya. Meski begitu, orang itu tak pernah menyerah untuk mendapatkan informasi tentang Alasya dengan mencoba membobol sistemnya berkali-kali. Dan itulah yang membuat Alasya kesal.
“Kalau sudah begini, sekalian saja terima hadiah dariku,” gumam Alasya menyeringai.
Dengan cepat, jari-jari Alasya menari-nari di atas keyboard komputernya dengan mata tajam yang tak berpaling dari layar komputernya. Seringaiannya lantas semakin lebar saat ia telah menekan tombol terakhir.
“Aku berharap, kau berhenti menggangguku setelah ini,” ucap Alasya penuh harap.
-------
Di lain sisi, Aldebaran yang baru tiba di apartemen-nya langsung meletakkan belanjaannya di atas meja pantry. Saat ia hendak mengeluarkan belanjaannya dari dalam kantong kertas, tiba-tiba saja ia teringat dengan Alasya.
“Aku harus mengonfirmasi hal itu pada Savannah. Mungkin saja dia berbohong,” gumam Aldebaran.
Menunda kegiatannya, Aldebaran pun bergegas mengeluarkan ponsel dari dalam dalam saku celananya. Baru saja ia hendak menelepon Savannah, jarinya berhenti mendadak di udara saat mengingat kalau sekarang sudah hampir pukul 11. Yang mana, di Indonesia pasti sudah malam.
“Apa Savannah sudah tidur?” tanya Aldebaran.
“Aku chat saja,” putusnya kemudian bergegas ke aplikasi chat dan langsung mengirim pesan pada Savannah.
***
To : Savannah
Kau sudah tidur?
***
Dengan tak sabar, Aldebaran pun menunggu pesan balasan dari Savannah. Berkali-kali ia mengecek apa wanita itu telah membaca pesannya atau belum. Padahal ia baru saja mengirim pesan tersebut.
“Dia pasti sudah tidur,” gumam Aldebaran kemudian meletakkan ponselnya di atas meja.
Baru saja Aldebaran hendak beranjak untuk menata bahan belanjaannya, tiba-tiba ponselnya bergetar. Tanpa membuang waktu, ia pun segera mengambil ponselnya lalu membaca pesan yang berasal dari Savannah.
***
From : Savannah
Belum. Ada apa?
***
To : Savannah
Ada yang ingin kutanyakan.
***
From : Savannah
Apa?
***
To : Savannah
Apa kita bisa bicara di telepon?
***
Drt... Drt... Drt...
Savannah is calling...
Seketika, jantung Aldebaran berdebar kencang saat ponselnya bergetar dan nama Savannah tertera di sana. Padahal ia mengajukan hal tersebut, tapi ia juga yang terkejut saat menerima panggilan itu.
“Tenanglah, Al. Tenang,” gumam Aldebaran kemudian menghembuskan napas panjang. Setelahnya, barulah ia menjawab panggilan Savannah.
“Ha, halo,” sapa Aldebaran dengan jantung yang berdegup kencang
“Halo. Apa yang ingin kau tanyakan? Sepertinya penting sampai kau ingin bicara langsung. Aku sempat kaget, karena kau tiba-tiba menghubungiku di tengah malam,” ujar Savannah.
“Ah, ya. Itu ... aku ingin bertanya. Apa kau ... mengenal wanita bernama Alasya?” tanya Aldebaran yang berusaha untuk fokus.
“Alasya? Tentu saja. Dia sahabat suamiku,” jawab Savannah. “Aku juga sempat memperkenalkan kalian berdua di hari pernikahanku waktu itu. Kau lupa?”
“Ah ... benarkah?” tanya Aldebaran yang mulai kehilangan fokus saat mendengar Savannah menyebut Danish dengan suamiku.
“Iya. Tapi, wajar kalau kau lupa. Saat itu juga perkenalan kalian tidak terlalu lama, karena acaranya sudah akan dimulai,” ujar Savannah.
“Begitu, ya ...,” gumam Aldebaran yang tak berapa lama kemudian sayup-sayup terdengar suara pria yang meminta Savannah untuk tidur. Ia yang mengenal suara itu lantas hanya bisa tersenyum pahit.
“Baiklah, kalau begitu. Maaf telah mengganggu waktumu. Aku akan menghubungimu lagi nanti,” ucap Aldebaran kemudian langsung memutuskan sambungan teleponnya tanpa membiarkan Savannah membalas ucapannya.
“Ingat, Al. Dia sudah memiliki suami dan anak. Sekarang saatnya kau menghilangkan perasaanmu padanya,” lirih Aldebaran dengan tatapan sendunya.
“Setidaknya, aku sudah mengetahui kalau wanita itu tidak berbohong,” gumamnya.
“Tapi entah kenapa, aku masih merasa wanita itu tetap mencurigakan. Jelas dia menyembunyikan sesuatu,” tebak Aldebaran yang kemudian menghela napas panjang.
“Bagaimana caranya agar aku bisa tahu rahasia yang wanita itu sembunyikan? Aku saja tidak tahu apa-apa tentangnya,” gumamnya.
“Haaa ... Sudahlah, Al. Kau sudah terlalu banyak berpikir. Lagi pula, masalah di pesta malam itu juga bukan urusanmu,” ujar Aldebaran.
Ia pun meletakkan ponsel di atas meja kemudian mulai membongkar barang belanjaan lalu menatanya ke tempat masing-masing dengan perasaan campur aduk.
Di satu sisi, ia kembali merasa sedih saat mengingat fakta bahwa Savannah telah bahagia bersama pria lain.
Di sisi lain, ia masih penasaran dengan Alasya yang terkesan misterius untuknya.
-------
Love you guys~