Chapter 12

1384 Words
Di dalam sebuah ruangan berukuran 5x5 meter, seorang pria berambut cepak rapi dan bertubuh kekar tengah sibuk membolak-balik lembaran-lembaran laporan kasus yang ia terima pagi ini. Keningnya mengerut membaca setiap baris dari laporan tersebut. Dan orang itu adalah Tony McNamee. Pria berusia 31 tahun yang merupakan ketua agen rahasia FBI (Federal Bureau of Investigation). Tony diangkat menjadi ketua agen rahasia 2 tahun yang lalu, setelah resmi menjalani profesinya sebagai agen rahasia selama 6 tahun. Bisa dibilang, Tony adalah salah satu orang yang dengan cepat diangkat menjadi ketua hanya dalam kurun waktu yang cukup singkat. Dan itu semua berkat ketelitian, kelincahan, dan kelihaiannya dalam menangani setiap kasus yang ia kerjakan. Tok... Tok... Tok... “Masuk!” pinta Tony tanpa mengalihkan tatapannya dari dokumen yang tengah ia baca. Tak berapa lama kemudian, seorang wanita berambut pendek sebahu masuk ke dalam. Seorang wanita bernama Lucy Mariana yang berusia 28 tahun dan merupakan salah satu agen rahasia yang bekerja di bawah Tony. “Ada apa?” tanya Tony. “Saya baru menerima laporan kalau bandar narkoboy yang selama ini kita incar akan melakukan transaksi 2 hari kemudian, Sir,” lapor Lucy yang sukses mengalihkan perhatian Tony dari dokumen-dokumen di tangannya. “Lion D’Amelion?” tanya Tony memastikan. “Benar, Sir,” jawab Lucy. “Siapa yang memberimu informasi?” tanya Tony. “Salah satu agen mata-mata yang ditugaskan mengawasi Lion D’Amelion,” jawab Lucy. “Apa identitasnya sudah dikonfirmasi?” tanya Tony. “Sudah, Sir. Dan dia memang salah satu agen kita,” jawab Lucy. Selama beberapa saat, Tony membisu seraya mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya di atas meja. Keningnya mengerut yang menunjukkan bahwa ia tengah memikirkan sesuatu. “Kumpulkan tim 1 dan tim 2, aku akan segera menyusul. Dan juga, siapkan semua tim lapangan. Kita akan melakukan penangkapan begitu mereka melakukan transaksi,” pinta Tony. “Baik. Saya mengerti,” ucap Lucy kemudian pamit dari ruangan Tony. Sepeninggal Lucy, Tony kembali membisu dengan kedua tangan yang ia katupkan di atas meja. Mata menatap lurus ke depan dengan pandangan tajam bak elang yang siap menerkam mangsanya. Sudah cukup lama ia menanti hari ini. Lion D’Amelion adalah salah satu bandar narkoboy terbesar di Amerika. Beberapa kali ia mencoba menangkap pria itu, namun hasilnya selalu gagal. Karena, Lion D’Amelion memiliki banyak anak buah yang tersebar di mana-mana dan siap membantu pria itu untuk kabur. Tony sendiri juga tak mengerti, kenapa Lion D’Amelion selalu bisa meloloskan diri darinya. Padahal ia telah melakukan berbagai upaya pencegahan agar pria itu gagal meloloskan diri dengan kabur. Tapi, tetap saja ia kecolongan. Dan itu adalah satu-satunya kasus yang belum bisa Tony selesaikan hingga sekarang setelah menjabat sebagai ketua agen rahasia FBI. Maka dari itu, selama beberapa bulan terakhir, Tony hanya menempatkan beberapa agen mata-mata untuk mengawasi setiap gerak-gerik Lion D’Amelion. Dan akhirnya, setelah cukup lama tidak melakukan transaksi secara langsung, kini pria itu kembali bergerak. “Selama ini, dia hanya menyuruh anak buahnya untuk melakukan transaksi. Tapi, kenapa sekarang dia sendiri yang bergerak?” tanya Tony. “Itu artinya, kliennya adalah orang yang cukup berpengaruh,” tebaknya. “Apa pun yang terjadi, kali ini aku pasti akan menangkapmu. Pasti,” geram Tony dengan kedua tangan terkepal erat. “Aku bersumpah kalau ini adalah terakhir kalinya kau bisa menghirup udara bebas.” ------- Ceklek. Tubuh Aldebaran dipenuhi oleh keringat begitu masuk ke dalam apartemen-nya. Beberapa saat lalu, ia baru saja selesai berolahraga di gym yang berada di gedung apartemen-nya. Dari pada membersihkan tubuhnya di kamar mandi yang telah disediakan, Aldebaran lebih memilih untuk mandi di apartemen-nya sendiri. Karena itulah, tubuhnya masih dipenuhi oleh keringat. Setelah mengganti sepatunya menjadi sendal rumah, Aldebaran melangkahkan kaki menuju dapur lalu minum air hangat yang selalu ia sediakan di atas meja pantry. Baru saja Aldebaran hendak beranjak dari sana, tiba-tiba ponselnya berdering. Ia lantas bergegas meraih ponsel di dalam saku jaketnya. “Ada apa dia menelepon jam begini?” gumam Aldebaran dengan kening mengerut ketika melihat nama Marcus tertera di sana. “Halo,” sapa Aldebaran begitu menjawab panggilan tersebut. “Halo. Selamat malam, Pak Aldebaran,” ujar Marcus. “Malam,” balas Aldebaran. “Saya hanya ingin mengingatkan Anda agar tidak terlambat di pertemuan besok,” ujar Marcus. “Baik,” ucap Aldebaran. “Dan karena pertemuan tersebut adalah pertemuan yang cukup penting bagi Pak Ardi, jadi saya berharap kalau Anda bisa berada di lokasi lima belas menit sebelum jadwal temunya,” ujar Marcus. “Saya mengerti,” ucap Aldebaran. “Sekali lagi, saya ingin mengingatkan Anda agar tidak memberitahu siapa pun mengenai pertemuan besok. Anda juga tidak diperkenankan untuk membocorkan semua yang akan Anda lihat dan dengar selama berada di sana. Jika Anda melanggar perjanjian, kami bisa menuntut Anda untuk biaya ganti rugi,” tutur Marcus. “Baik. Saya mengerti,” ucap Aldebaran. “Terima kasih telah mengerti dan maaf karena saya telah menyita waktu Anda,” ujar Marcus. “Tidak apa-apa,” ucap Aldebaran. “Sampai jumpa besok, Pak Aldebaran,” pamit Marcus. “Iya,” balas Aldebaran kemudian memutuskan sambungan teleponnya. Kening Aldebaran lantas mengerut sembari meletakkan ponselnya di atas meja. “Sebenarnya pertemuan seperti apa yang akan kuhadiri? Kenapa pertemuannya begitu tertutup dan sangat rahasia? Pria bernama Marcus itu bahkan kembali meneleponku lagi hanya untuk mengingatkan tentang hal itu. Padahal dia telah menjelaskan semuanya saat aku menerima tawarannya,” gumam Aldebaran curiga. “Apa aku telah menerima job yang salah?” “Haruskah aku membatalkannya?” ------- Alunan musik karya Johannes Chrysostomus Wolfgangus Gottlieb Mozart atau lebih sering dikenal dengan Mozart yang merupakan salah seorang komposer musik klasik terkenal mengalun indah di seluruh penthouse Alasya. Sebuah musik klasik berjudul Eine Kleine Nachtmusik yang terdengar merdu di telinga. Sementara itu, si penikmat musik, Alasya, tengah duduk di depan meja kerjanya sembari mengutak-atik sebuah alat. Kurang lebih sudah hampir 3 jam ia duduk di sana hanya untuk mengutak-atik alat tersebut. Sebuah alat yang akan membantunya dalam misi kali ini. Dan itu adalah earpiece yang memungkinkannya mendengar percakapan di dalam grupnya. Sebelum itu, Alasya telah membuat sistem baru yang bisa mengubah teks obrolan di grupnya menjadi suara. Dan begitu pula sebaliknya. Apa pun yang Alasya katakan akan otomatis menjadi teks dan terkirim ke dalam grup. Jadi, ia tak perlu repot-repot membuka grup untuk membaca atau pun memberikan instruksi. Karena, earpiece-nya yang akan bekerja. Dan hanya Alasya satu-satunya orang yang bisa menggunakan earpiece tersebut. Karena, ia sengaja membuat sistemnya hanya bisa mendeteksi suara Alasya. Jadi, siapa pun tidak bisa menggunakannya. Tak hanya itu, Earpiece tersebut juga dapat mendeteksi sekecil apa pun suara Alasya. Sekarang, Alasya hanya tinggal memperbarui earpiece-nya agar dapat terhubung dengan sistem buatannya. Dan inilah alasan kenapa Alasya malas terjun langsung ke dalam misinya. Merepotkan. “Akhirnya selesai juga!” seru Alasya kemudian menghela napas panjang. Tanpa membuang waktu, Alasya langsung menghubungkan earpiece tersebut dengan sistem buatannya. Tak lama. Alasya hanya perlu menunggu selama 10 detik dan ... yup! “Betapa beruntungnya dirimu telah terlahir ke dunia ini melalui tangan ajaibku,” ujar Alasya kemudian mengecup earpiece-nya dengan penuh cinta dan suka duka. Alasya lantas ikut menyenandungkan musik klasik Mozart yang telah ia dengarkan berulang-ulang kali. Selain terdengar merdu di telinga, musik klasik juga bisa membuat Alasya bekerja hingga lupa waktu dan tanpa sadar pekerjaannya telah selesai. Mata Alasya lalu melirik ke arah jam yang telah menunjukkan pukul 2 dini hari. Tanpa mengatakan apa pun, ia langsung me-non-aktifkan komputer dan menyimpan earpiece-nya di atas meja. Sembari melakukan peregangan tangan dan leher, Alasya melangkahkan kaki menuju dapur lalu menyeduh kopi instan favoritnya. Jika kopi membuat kebanyakan orang terjaga, lain hal dengan Alasya yang bisa mengantarnya ke alam mimpi jika meminumnya di malam hari. Bisa dibilang, kopi adalah obat tidur yang paling manjur bagi Alasya. Karena itu, terkadang Alasya meminum kopi setelah semua pekerjaannya selesai. Selain membantunya merasa rileks, juga membantunya untuk tidur nyenyak. Setelah menyeduh kopi, Alasya kembali melangkahkan kakinya menuju balkon. Dan lagi-lagi angin malam langsung menerpa kulitnya. “Ya, ampun! Dingin sekali,” celetuk Alasya kemudian bergegas kembali masuk ke dalam. “Padahal minum kopi sangat enak kalau ditiup angin sepoi-sepoi,” gumam Alasya sembari duduk di kursi empuk yang menghadap ke balkon. Hingga ia bisa melihat langit melalui dinding kaca yang tak tertutup tirai. Alhasil, Alasya hanya bisa menikmati kopinya dari dalam sembari memandangi langit yang malam ini hanya dihiasi oleh bulan tanpa bintang-bintang. ------- Love you guys~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD