Chapter 11

1510 Words
Green Fly : Yeyyy! Asyik! Ada misi lagi! Blue Hat : Kau seperti anak kecil saja. White Cat : Kali ini apa? Red Spider : Mengungkap transaksi bandar narkoboy. Blue Hat : Apa?! Narkoboy?! Green Fly : Narkoboy?! White Cat : *emoticon shock* Red Spider : Aku juga masih belum tahu detailnya. Tunggu saja sampai Black Alpha muncul. Green Fly : Red Spider, kau yakin kali ini misinya tentang bandar narkoboy?! White Cat : Aku butuh penjelasan secepatnya! Blue Hat : Aku masih tidak percaya! “Padahal aku sudah memberitahu Red Spider untuk tidak memberitahu mereka dulu,” gumam Alasya sembari menggeleng-gelengkan kepala. Alasya kembali mengalihkan pandangan dari laptop ke komputernya yang berisi pesan dari klien barunya. Berulang kali ia membaca pesan itu dan berulang kali pula ia memikirkannya. Apa ia harus menerimanya atau tidak. Identitas klien-nya? Tentu saja Alasya tahu siapa orang yang mengiriminya pesan tersebut. Walaupun bukan orang itu langsung yang mengirimnya. Dan orang itu adalah salah satu bandar narkoboy terbesar di Spanyol. Sementara targetnya adalah rival dari kliennya. Alasya pun mengakui kalau misinya kali ini lumayan berisiko. Pasalnya, klien dan targetnya kali ini merupakan sasaran yang telah lama diincar oleh polisi. Karena, misinya bukan hanya mengungkap transaksi bandar narkoboy. Tapi juga mencuri narkoboy yang akan ditransaksikan saat itu juga. Sebenarnya, itu tugas yang mudah bagi Alasya. Hanya saja, jika ia melakukan satu kesalahan saja, semuanya bisa kacau dan nama baiknya di depan publik akan rusak. Alasya mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja. Matanya sesekali melirik ke layar laptop yang menampilkan percakapan grupnya. Di mana orang-orangnya telah antusias menyambut misi baru mereka. Tak hanya itu, matanya juga tak bisa berpaling dari nominal bayaran yang akan ia terima begitu ia menerima misi tersebut. Helaan napas panjang akhirnya keluar dari bibir Alasya. Tangannya terangkat dan dengan satu kali enter, garis di layar di komputer yang tadinya merah berubah menjadi hijau. Akhirnya, Alasya menerima misi tersebut. “Aku terlalu lemah pada uang,” decak Alasya. Begitu menerima misi tersebut, Alasya pun muncul di obrolan grup dan langsung menjelaskan tentang misi mereka dengan sangat detail. Tenggat eksekusinya tinggal beberapa hari lagi. Jadi, mereka harus mulai membuat persiapan mulai dari sekarang. Black Alpha : Ada pertanyaan? Red Spider : Tidak ada. Blue Hat : Tidak ada. White Cat : Tidak ada. Green Fly : Tidak ada. Kami mengerti. Black Alpha : Bagus. White Cat : Tapi Black Alpha, kau bilang kau sendiri yang akan mencuri narkoboy itu. Apa mulai sekarang kau akan terjun langsung ke medan tempur? Blue Hat : Benar. Saat misi terakhir, kau juga ikut langsung ke medan tempur. Black Alpha : Aku hanya sedang kurang kegiatan akhir-akhir ini. Blue Hat : Apa itu artinya iya? Black Alpha : Mungkin. Green Fly : *emoticon shock* White Cat : Tunggu. Karena Black Alpha akan terjun langsung ke medan tempur, apa itu artinya kita bisa melihat wajah Black Alpha? Green Fly : Benar juga. Lokasi medan tempurnya bukan di tempat keramaian. Jadi, akan lebih mudah mengetahui Black Alpha. Blue Hat : Kalian benar. Wah! Akhirnya aku bisa melihat Black Alpha! Black Alpha offline. White Cat : Black Alpha! Kenapa kau pergi?! Blue Hat : Black Alpha! Jangan kabur! Masih ada yang ingin kutanyakan! Red Spider : Sudah, sudah. Lebih baik kalian semua bersiap-siap. Sisa waktunya tinggal sedikit. Red Spider offline. Green Fly offline. White Cat offline. Blue Hat : Kalian benar-benar tidak punya hati! Blue Hat offline. Lagi-lagi Alasya menggelengkan kepala setelah membaca percakapan tersebut. Ternyata mereka masih berusaha mencari tahu identitasnya yang sudah pasti tidak akan pernah terungkap oleh siapapun. Alasya lantas mengangkat kedua tangannya ke atas seraya mengerang kemudian menghembuskan napas panjang. “Padahal yang kulakukan hari ini hanya bermain game. Tapi, kenapa aku merasa sangat lelah?” gumam Alasya kemudian beranjak dari kursinya menuju dapur untuk meminum air putih. Selesai minum, Alasya langsung melangkahkan kakinya menuju kasur lalu merebahkan dirinya di atas sana dengan posisi tengkurap sembari memejamkan mata. Ia lantas mengepak-ngepakkan kedua tangan dan kakinya untuk merasakan sensasi dingin dari kasur tersebut. Kebiasaan yang sering ia lakukan sejak kecil. “Enaknya,” gumam Alasya seraya mengulas senyum sebelum jatuh terlelap. ------- Drt... Drt... Drt... Aldebaran lantas meraih ponselnya yang bergetar di atas meja. Ia pun langsung menjawab panggilan masuk yang berasal dari Ansel dalam mode speaker agar ia bisa tetap fokus pada layar laptop-nya. “Halo,” sapa Aldebaran. “Halo, Tampan,” balas Ansel. “Kau sedang apa?” “Hanya mengedit foto,” jawab Aldebaran tanpa mengalihkan tatapan dari layar laptop-nya. “Ck! Kehidupanmu sangat membosankan,” decak Ansel yang hanya dibalas kekehan oleh Aldebaran. “Oh, iya! Tebak, dengan siapa aku sekarang,” pintanya. “Tidak tahu. Memang kau bersama siapa?” tanya Aldebaran. “Ayolah. Aku menyuruhmu menebak,” dengus Ansel. “Mmm ... bersama Pak Olif?” gurau Aldebaran. “Ck! Kalau aku sedang bersama tua bangka itu, aku tidak akan meneleponmu,” decak Ansel yang membuat Aldebaran terkekeh. “Kalau begitu kau bersama siapa?” tanya Aldebaran. “Bersama denganku,” sahut seorang wanita di seberang sana yang sontak membuat tubuh Aldebaran mematung. Ia sangat mengenali suara ini. Bagaimana bisa ia melupakan suara cinta pertamanya? Mereka bahkan baru berbicara di telepon beberapa hari yang lalu. “Sa ... vannah?” gumam Aldebaran ragu. “Benar! Selamat, Anda mendapat hadiah ciuman dari Ansel!” seru Savannah. “Berapa kali?” tanya Ansel. “Kau mau berapa?” tanya Savannah balik. “Unlimited,” jawab Ansel. “Tidak bisa. Karena, hadiahnya akan digunakan lagi untuk pertanyaan yang lain,” tolak Savannah yang mendapat dengusan dari Ansel. “Bagaimana kalau 10 kali?” tawarnya. “Yah~ Lumayan,” gumam Ansel. Sementara Savannah dan Ansel asyik bergurau, Aldebaran hanya bisa membisu sembari mendengarkan suara wanita yang masih bertahta di hatinya. Ia bahkan tak berniat untuk menurunkan derajat wanita itu dari hatinya. Meskipun Aldebaran tahu kalau ia tak akan pernah memiliki wanita itu. “Al, kau di sana?” tanya Ansel yang membuat lamunan Aldebaran buyar. “Ah! Ya. Aku di sini,” jawab Aldebaran. “Dari mana saja kau? Kami memanggilmu sejak tadi,” tanya Ansel. “Maaf. Aku terlalu fokus mengedit foto,” jawab Aldebaran asal. “Al, kapan kau kembali ke Jakarta?” tanya Savannah. “Entahlah. Aku juga belum tahu,” jawab Aldebaran. “Kau selalu menjawab seperti itu setiap kali kutanya. Ansel sudah sangat merindukanmu,” ujar Savannah yang langsung mendapat cubitan dari Ansel. “Aw! Sakit!” keluh Savannah. “Diam! Kau terlalu cerewet,” pinta Ansel yang terdengar kesal. “Aku tidak cerewet,” bantah Savannah. “Ya. Kau memang cerewet. Aku bingung, kenapa suamimu mau menikah dengan wanita cerewet sepertimu,” cibir Ansel. “Karena dia mencintaiku,” ujar Savannah dengan bangga. “Aku tidak percaya. Mungkin saja kau memberinya pelet,” tukas Ansel. “Hei! Kau mau mulutku kujahit?” kecam Savannah. “Coba saja, coba. Ayo. Lakukan kalau berani,” tantang Ansel. “Kau-” Ting tong! Aldebaran lantas mengalihkan pandangannya ke arah pintu ketika mendengar bel apartemen-nya berbunyi. Entah mengapa, ia langsung merasa lega saat itu juga. “Ada tamu. Sudah dulu, ya. Aku akan menghubungi kalian lagi nanti,” pamit Aldebaran kemudian langsung memutuskan sambungan teleponnya tanpa mendengar balasan dari Savannah dan Ansel. Setelah panggilannya terputus, Aldebaran langsung menghela napas lega seraya mengusap dadaanya yang entah mengapa selalu berdegup kencang setiap mendengar suara Savannah. Ting tong! Perhatian Aldebaran lantas teralihkan saat ia kembali mendengar suara bel. Aldebaran pun bergegas melangkahkan kakinya untuk membuka pintu. Dan yang pertama kali ia lihat adalah sebuah kue tart cokelat. Aldebaran lantas mengulas senyum. Tanpa menebak pun, ia bisa tahu siapa yang berada di balik kue tart tersebut. “Tadaaa~ Ini kue untukmu!” seru Maria dengan senyum cerianya. “Hari ini aku belajar membuat kue. Dan kau harus merasa terhormat, karena menjadi orang pertama yang menerima kue buatanku.” “Baiklah. Aku merasa sangat terhormat bisa menjadi orang pertama yang menerima kue buatan Miss Maria Darcy,” ujar Aldebaran seraya menerima kue tart tersebut dari Maria. “Tapi, apa kau yakin kue ini bisa dimakan? Kau, ‘kan, baru pertama kali membuatnya,” goda Aldebaran. “Maksudmu kue buatanku tidak enak?” kesal Maria sembari bersedekap dadaa. “Bukan begitu. Aku-” “Jadi, kau meragukan kue buatanku?” tuduh Maria semakin kesal. Aldebaran lantas menggaruk keningnya. Merasa pusing meladeni gadis remaja yang berada dalam fase sensitivitas tertinggi. Harusnya, ia tidak memancing emosi gadis itu. “Baiklah. Aku minta maaf atas ucapanku. Aku tidak pernah mengatakan kue buatanmu tidak enak, apa lagi meragukannya. Aku pasti akan menikmati kue ini sampai habis,” ujar Aldebaran seraya mengulas senyum. Meski begitu, hal tersebut tak membuat suasana hati Maria berubah. Terlihat jelas dari raut wajah gadis itu yang membuat Aldebaran semakin merutuki dirinya. “Kau mau masuk?” tawar Aldebaran yang tak tahu harus mengatakan apa lagi. “Tidak usah,” tolak Maria dengan ketus kemudian beranjak dari sana dan kembali ke apartemen-nya. BLAM! Sontak, Aldebaran terperanjat kaget mendengar suara debuman pintu yang cukup keras yang ditimbulkan Maria. “Kenapa semua wanita yang kutemui sangat rumit?” gumam Aldebaran. ------- Love you guys~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD