8

1028 Words
Kedua mata Ibu Windu membola. Mulutnya pun membuka sedikit menganga. "Menikah? Apa aku tak salah dengar? Windu?" tanya Ibunya pelan. Windu hanya mengangguk pasrah. Ini harus segera di selesaikan. "Kita masuk dulu yuk Bu. Biar mereka menjelaskan di dalam," ucap Windu pelan sambil menggandeng Ibunya masuk ke dalam. "Baiklah. Silahkan masuk ke dalam," ucap Ibu Windu yang menyuruh Lita dan Wibisono untuk segera masuk ke adalam rumahnya dan duduk di sofa sederhana. "Biar Windu yang buatkan minum. Ibu duduk saja di sini, terima mereka. Sekalian mau tengok Bapak di kamar," ucap Windu lembut dan sopan. "Iya Windu," jawab Ibu pelan. Tatapannya kini lekat pada dua tamu yang sudah duduk di depannya. Wibisono dan Lita saling menatap dan melempar tugas dalam kontak mata mereka. Lita menarik napas dalam dan berusaha menenangkan dirinya. Ini adalah tugas berat melamarkan anak gadis perawan untuk majikannya sendiri. Itu bukan hal mudah. Apalagi semuanya terjadi begitu terburu -buru. "Jadi begini Bu. Kedatangan kami berdua kesini untuk melamar Windu, seperti yang sudah kmai niatkan tadi di depan," ucap Lita sedikit gugup. Lebih mudah membereskan rumah dan memasak bukan melamarkan anak gadis jauh rasa gugupnya lebih besar. takut salah ucap, salah bicara, salah kata hingga maksudnya pun jadi salah. "Apa aku benar tidak salah dengar?" tanya Ibu Windu yang sambil mengerjapkan kedua matanya. "Kami serius Bu. Bukan hanya itu saja kami juga sudah membawa mahar untuk Windu. Ini maharnya," ucap Lita sambil menyodorkan satu tas berukuran sedang yang berisi uang tunai untuk Windu dan keluarganya. 'Terimalah Bu. Say asudah banyak bicara pada Windu untuk memberikan mahar sebanyak ini, karena setelah ini Windu tidak saya perbolehkan lagi untuk bekerja dan dia hanya ingin bertanggung jawab pada keluarganya untuk membantu semua biaya kebutuhan hidup. Jadi, saya akan menggantikan posisi Windu. Pergunakan uang ini dnegna baik, kalau memang kurang, Ibu bisa minta dengan saya," titah Wibisono pelan. "Tidak Nak. Ibu tidak bisa menerima ini semua. Nama kalian saja, Ibu tidak tahu. Kalian seperti terburu -buru. Sebenarnya kalian punya maksud apa? Ibu jadi curiga?" tanya Ibu Windu pelan. Windu pelan berjalan membawa sebuah nampan besra ditangannya. Tatapannya tepat tertuju kontak dnegan Wibisono ynag juga sedang menatapnya. "Maaf cuma ada teh manis. Silahkan di minum Kak Lita, Pak Wibisono," ucap Windu dengan sopan. Windu ikut duduk di sofa tepat di sebelah Ibunya. "Windu? Kamu yakin ingin menerima lamaran Pak Wibisono?" tanya Ibunya dengan cepat. Merasa memang sudah menjadi kewajiban Windu menjalankan pernikahan kontrak tersebut. Windu hanya tersenyum dan mengangguk pasrah. Ia tidak mau Ibunya curiga dengan keadaan yang sebenarnya. Windu menjalani semuanya apa adanya dan secara wajar. "Ya Bu." jawab windu singkat. "Kamu yakin? Usia kamu berbeda jauh. Bisa jadi lelaki ini sudah memiliki istri dn keluarga. Kenapa Ibu tidak pernah tahu kamu menjalani hubungan dengan seseorang?" tanya Ibu Windu yang seolah sedang mendesak. "Maaf Bu. Biar saya yang akan menjelaskannya kepada Ibumu, Windu. Jadi begini Bu. Saya memang sudah mempunyai istri, saya sudah menikah belasan tahun, dan belum juga di karuniai anak. Keluarga besar saya, menginginkan keturunan dari saya sebagai anak satu -satunya. Jadi, saya harus memiliki istri lagi untuk memiliki keturunan. Ijinkan saya untuk melamar Windu," ucap Wibisono dengan suara tegas dan lantang. "Lalu, jika Windu mengandung dan melahirkan, kamu akan menceraikannya? Mau membuat kisah seperti di novel -novel seperti itu? Istri kedua di acuhkan dan di abaikan yang pada akhirnya di ceraikan? Begitu, Nak Wibisono?" tanya Ibu Windu dengan geram. Menurut Ibu Windu, alasan Wibisono menikahi putrinya sangatlah tak masuk akal. Berarti pernikahannya tak di dasari cinta dan kasih sayang. Hanya ingin memiliki putra saja. "Tidak Bu. Bukan seperti itu." jawab Wibisono gugup. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Alasannya untuk melamar dan menikahi Windu memang kurang mengena. "Terus? Kamu mau pernikahan yang seperti apa? Memperisitri dua perempuan? Kamu yakin tidak ada yang sakit hati? Mana ada wanita yang mau di madu kecuali ada alasan lain. Dan alasan itu bukan masalah anak atau tidak punya keturunan. Ada alasan lain yang lebih pentinga untuk menutupi suatu masalah. Ibu itu berumah tangga sudah lama, mendengar permasalahan rumah tangga orang lain pun Ibu sudah sangat sering, jadi Ibu paham dnegan setiap permasalahan berikut dengan alasan tepatnya. Jadi, Ibu tidak bisa di bohongi begitu saja," ucap Ibu Windu dengan suara tegas menjelaskan. Wibisono , Windu dan Lita nampak tertegun. Setidaknya apa yang di ucapkan oleh Ibu Windu itu adalah benar, dan sepertinya Ibu Windu tahu persis apa yang sedang terjadi. Mungkin perasaan seorang Ibu lebih peka untuk merasakan apa yang sebenarnya sedang terjadi pada anak gadisnya itu. "Ibu. Maafkan saya bila ada ucapan yang tidak sesuai dengan keinginan Ibu atau mungkin kata -kata saya menyakiti atau membuat Ibu tersinggung. Saya benar ingin melamar dan menikahi Windu, lusa," ucap Wibisono berusaha meyakinkan Ibu Windu. "Bu. Ibu harus percaya dengan apa yang di ucapkan oleh Pak Wibisono. Windu ikhlas dengan semua ini. Mungkin semua ini adalah takdir untuk Windu," ucap Windu pelan. "Tapi Windu. Ibu hanya tidak ingin kamu tersakiti menjadi istri kedua. Kamu bahkan tidak pernah tahu, dia mencintaimu atau tidak karena dia hanya menginginkan anak," ucap Ibu Windu mengingatkan. Sebagai orang tua, Ibu Windu hanya tidak ingin melihat rumah tangga Windu bemasalah di kemudian hari. Kalau memang ingin di jadikan istri kedua pun harus melalui proses yang benar bukan hanya sekedar di butuhkan saja. "Ijinkan saya menikahi Windu. Biar kami hidup bahagia. Saya janji, syaa tidak akan pernah meninggalkan Windu dan tidak akan pernah menceraikannya," ucap Wibisono tegas. Entah dari mana kata -kata itu hingga ia mampu dan sanggup mengucapkannya dnegan lancar dan lantang. "Say terima lamarannya," ucap Bapak Windu yang tiba -tiba datang dengan berjalan tertatih -tatih. "Bapak ...." ucap Windu pelan yang segera berdiri dan menghampiri Bapaknya. Windu begitu sayang dengan Sang Bapak. Ia rela menjadi tulang punggung demi kesembuhan Bapak yang mengharuskan berobat rutin. Windu pun memgang tangan Bapak dan membantunya berjalan untuk duduk di sofa dekat Ibunya. "Kapan kamu akan menikahi anaku, Windu? Aku tahu kamu orang baik. AKu harap kamu bisa menjaga Windu dan membuatnya selalu tertawa, karena dengan tertawa tandanya Windu bahagia. Kebahagiaan Windu adalah obat sakitku ini. Bahagianya Windu tak pernah muluk -muluk, lelucon receh pun ia bisa tertawa," ucap Bapak Windu menjelaskan kepada Wibisono. Intinya nasihatnya kepada Wibisono agar Wibisono bertanggung jawab atas Windu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD