Keras Kepala

1602 Words
"Aaaaaaa— hmpphhhh!" Teriakan Zivanna terhenti ketika tubuhnya menyentuh air, menimbulkan cipratan yang cukup tinggi sebelum ia benar-benar tenggelam ke dalam kolam. Air terasa membekapnya, membuat napasnya tercekat. Ia meronta panik, tak sempat berpikir, hingga sepasang lengan kokoh menarik pinggangnya dari dalam air dan membawanya ke permukaan. “Hekkk—! Hekhhh!” napasnya tersengal begitu muncul ke atas. Tangan Zivanna otomatis mencengkeram erat lengan Hakim. “Apa-apaan sih kamu!” semprot Zivanna dengan suara gemetar, air menetes deras dari wajahnya. “Kenapa aku dijatuhin?! Kamu mau aku mati tenggelam, ya?” Hakim tidak langsung menjawab. Ia hanya mengangkat satu alis dengan wajah datar, sebelum menjawab tenang, “Kamu tidak akan belajar kalau terus-terusan bergantung pada saya.” Zivanna mengedip tak percaya. “Oh, jadi ini cara kamu ngajarin? Diceburin duluan?” “Saya jaga dari belakang. Saya tahu batas kemampuan kamu. Ini teknik adaptasi air.” “Ya elah!” Zivanna kembali merengut, mencoba melepaskan diri dari pelukan Hakim, tapi gagal karena kolamnya terlalu dalam untuk berdiri. Hakim masih bersikap tenang, bahkan ketika tubuh Zivanna menciprat-ciprat lagi saat ia mengambang tak stabil. “Rileks. Buka tangan, biarkan air menopang. Jangan melawan.” Dan mulailah pelajaran berenang itu. Di bawah terik matahari yang menyelinap dari sela pepohonan, suara burung bercampur riak air, Hakim yang biasanya berwibawa dan dingin seperti granit, kini berubah menjadi pelatih sabar yang bahkan tak sedikit pun meninggikan suara. Ia menunjukkan posisi tangan yang benar, mengarahkan dagu Zivanna agar tetap menghadap air, dan sesekali menahan tubuh Zivanna dari belakang agar ia tidak tergelincir masuk. “Tarik napas dari mulut. Buang pelan lewat hidung. Ya, begitu. Kamu masih panik. Jangan kaku. Kamu kalau panik itu kayak...” Hakim berhenti, mencari perumpamaan yang tepat. “Kayak apa?” “Kucing jatuh ke akuarium,” gumamnya dengan ekspresi netral. Zivanna mendelik. “Ngatain aku, ya?!” Pelajaran terus berlanjut. Zivanna belajar mengayuh, meluncur, hingga mencoba membalikkan tubuhnya seperti yang diajarkan. Ia memang cerewet, tapi diam-diam memperhatikan semua detail. Hakim pun tetap menjaga jarak yang aman namun sigap menangkapnya setiap kali ia kehilangan keseimbangan. Tak sekali dua kali Zivanna terjatuh ke air, dan setiap itu pula Hakim hadir tepat waktu, menahan, membetulkan, membimbing. Hingga... Plung! Kejadian itu terlalu cepat. Zivanna yang sedang melatih teknik dorong tiba-tiba terpeleset saat kakinya menginjak licin di sisi dinding kolam. Ia panik dan menarik kaos Hakim dengan tenaga penuh hingga sobek sebagian besar dari kerah ke samping, menampakkan d**a bidang dan basah itu. Zivanna berhasil terselamatkan, kembali bersandar di dinding kolam dengan napas memburu. Tapi begitu melihat kaos Hakim... ia membeku. “Eh... aku...” mulutnya terbuka, tapi tak ada yang keluar. Hakim hanya menatap sobekan bajunya, lalu menoleh ke arah Zivanna. Tatapan matanya masih datar, tapi dagunya sedikit mengangkat. “Robek.” “...Maaf.” suara Zivanna nyaris tak terdengar. “Kalau begitu, saya buka saja. Biar nggak ganggu.” Zivanna spontan membelalak. “Eh! Jangan—” Tapi sudah terlambat. Hakim mencabut kaos yang sudah robek dari tubuhnya dan melemparkannya ke tepi kolam. Kini ia hanya mengenakan celana kolam yang pas di tubuh, dan tubuhnya... sangat... sangat... Zivanna buru-buru menunduk lagi, pura-pura mengamati ubin dasar kolam. “Ugh, aku... aku belajar sendiri aja deh sekarang. Jangan deket-deket!” Hakim menaikan alisnya. “Oke.” Ia mundur beberapa langkah, menyandarkan tubuh di pinggir kolam, tetap dalam posisi siaga. Wajahnya tenang, tapi ada senyum kecil di sudut bibirnya. Zivanna pura-pura mengayuh pelan ke tengah, tapi jantungnya tak pelan sama sekali. Dan Zivanna tidak mau berhenti berlatih berenang meski air kolam mulai terasa lebih dingin dan awan menggantung berat di langit, ia terus mengayuh, mengulang teknik napas, mencoba membentuk gerakan sempurna seperti yang diajarkan Hakim. Nafasnya sesekali putus, tapi ia menolak berhenti. Bibirnya mulai membiru, namun gengsinya jauh lebih tebal dari itu. Hakim, yang duduk di tepi kolam dengan tubuh masih basah memperhatikan dengan tatapan datar. Langit mulai menggeram. Aroma hujan basah menusuk udara. Angin menerpa permukaan kolam, membuat riaknya tak lagi tenang. “Zivanna,” panggilnya sekali. Zivanna tidak menoleh. “Keluar. Sudah cukup.” “Belum.” Suaranya tetap keras, walau kini mulai bergetar. “Aku belum bisa putaran penuh.” “Ini bukan soal sempurna atau tidak. Hujan akan turun.” “Hujan nggak pernah bunuh orang.” Hakim mengangkat dagu, menatap langit yang menggelap. Gerimis mulai menitik pelan, lalu cepat berubah deras. Suaranya mengguyur atap pavilion dan menciptakan irama kasar di permukaan air. Zivanna masih mengayuh. Hakim tak beranjak, hanya menatap lekat tubuh mungil itu yang terus bergerak. Hakim sendiri sudah biasa dengan segala cuaca, dia tidak mudah tumbang. Tapi Zivanna? Dia keras kepala hingga akhirnya Hakim melihatnya. Tubuh Zivanna mulai bergetar hebat. Gerakannya melambat. Wajahnya memucat. Bibirnya gemetar tanpa suara. Dan itu cukup bagi Hakim untuk bertindak. Tanpa sepatah kata pun, lelaki itu bangkit, melangkah cepat ke tepian kolam, dan dalam satu gerakan kuat, ia menyelam masuk. Air membelah dalam hempasan seimbang, menyusul langsung ke arah perempuan keras kepala itu. “Zivanna.” suaranya tajam ketika muncul ke permukaan. “Kamu menggigil. Keluar.” “Jangan tarik ak—” Terlambat. Dengan satu lengkungan tangan di pinggang, Hakim meraih tubuh Zivanna dan mengangkatnya ke pelukannya, mengabaikan tubuh mungil itu yang mulai meronta, menolak digendong. “JANGAN! AKU BISA SENDIRI!” “Kamu membeku.” “Aku nggak mau digendong kayak anak kecil! OM HAKIM! Turunin!” jeritnya, memukul-mukul punggungnya saat tubuhnya dilempar ke atas bahu lelaki itu seperti karung yang tetap melawan. Hakim tetap melangkah tenang, mendaki tangga kolam tanpa memedulikan hentakan kecil yang mengenai punggungnya. Hujan deras menyapu tubuh mereka, petir mulai meledak di langit, menciptakan getaran kecil di tanah. Zivanna masih memberontak, tapi kini napasnya tercekat, tubuhnya semakin lemas. “Turunin... hiks... aku malu... diliatin Mbok….” “Simpan malumu untuk lain waktu.” Suara Hakim dalam, namun tetap lembut. Ia menjejakkan langkah tegas melintasi halaman, tak tergoyahkan meski tanah mulai licin. Zivanna pasrah, tubuhnya lemas terselip dalam dingin, tapi juga aman dalam genggamannya. Hujan membasahi mereka tanpa ampun, tapi Hakim tidak menoleh ke belakang. Ia membawa istrinya masuk ke dalam rumah, menembus guntur dan badai dengan tatapan yang hanya tertuju pada satu hal yaitu menyelamatkan gadis yang keras kepala itu, meski dari dirinya sendiri. **** Dan benar saja, apa yang Hakim khawatirkan, terjadi. Zivanna menggigil hebat. Tubuhnya terbungkus selimut tebal, namun tetap tampak pucat. Wajahnya seperti kehilangan warna, bibirnya membiru, dan kedua matanya tak berhenti berkedip pelan seakan menahan kesadaran. Ia terbaring menyamping, namun tetap menatap Hakim dengan pandangan sinis meski samar. “Keluar,” gumamnya lirih, “Aku nggak butuh penjagaan.” Suaranya serak, nyaris tak terdengar, namun nadanya tetap mencoba tajam. Hakim berdiri di ujung ranjang, memandangi perempuan keras kepala itu dengan rahang mengeras dan napas tertahan. Ia menarik napas dalam, lalu perlahan duduk di tepian kasur. Jemarinya yang besar dan kokoh terulur, mengusap kepala Zivanna dengan pelan. Gerakannya jauh dari dingin. Lembut. Seolah menenangkan anak kecil yang kelelahan karena terlalu lama bermain hujan. “Kamu membahayakan diri sendiri. Jangan keras kepala terus. Kalau saya bilang berhenti, ya berhenti. Jangan membantah.” Zivanna hanya memejamkan mata, mencoba mengabaikan usapan itu. Tapi tubuhnya tetap gemetar. Ia menggigit bibir, berusaha menyembunyikan rasa malu dan nyeri yang menjalar di setiap persendiannya. “Aku cuma perlu tidur. Pergi aja. Kayak biasanya, aku selalu sendiri,” desisnya, hampir tak terdengar. Hakim tak bergeming. Tatapannya dalam, sorot matanya tidak memuat kemarahan, melainkan kekhawatiran yang menumpuk. “Saya nggak akan ninggalin kamu, Na.” Zivanna tak menjawab. Ia hanya memejam lebih erat, menggulung tubuhnya di balik selimut. Dalam hati ia memaki pikirannya sendiri tentang bayangan tubuh Hakim yang tadi menggendongnya dengan mudah, suara napas pria itu yang berat dan dekat, serta pelukan kuat yang membuatnya merasa... basah dibawah. Sial. Kenapa justru itu yang diingat? Suara langkah masuk terdengar. Mbok Retno muncul membawa nampan berisi teh hangat dan handuk kecil. “Ini tehnya, Non. Coba diminum biar anget sedikit,” katanya pelan, meletakkan semuanya di nakas lalu keluar dengan cepat setelah melihat Hakim mengangguk pelan. Hakim menarik napas. “Bangun dulu. Minum sebentar.” “Enggak,” gumam Zivanna. “Dingin. Mual. Jangan paksa aku.” Hakim bersabar sejenak. Namun ketika tubuh Zivanna makin membiru, dan bisikan dingin terus keluar dari bibirnya, ia mendekat. “Zivanna.” “Pergi.” Masih dalam lirihnya, tubuhnya menggigil hebat. “Kamu butuh kehangatan.” “Aku udah pakai selimut, Om!” bentaknya, pelan namun penuh tekanan. “Aku cuma perlu istirahat. Jangan drama. Jangan— Ngapain?!” Hakim tak menunggu lebih lama. Ia menghela napas berat, lalu dalam satu gerakan tegas, menarik kaosnya ke atas, dan melemparkannya ke kursi. Tubuh bagian atasnya kini terbuka dengan bidang, kokoh, dan membentuk lekuk otot yang tegas namun proporsional. Bahunya lebar, dadanya penuh, dan guratan perutnya terlihat jelas dalam cahaya lampu kamar yang temaram. Zivanna membuka satu matanya, menatap heran. “Mau... apa kamu?” Tanpa menjawab, Hakim menarik selimut Zivanna, lalu masuk ke dalamnya dan langsung menarik tubuh Zivanna ke dadanya. Kedua lengannya melingkar rapat di pinggang perempuan itu, menjadikannya seperti kepompong hangat dalam pelukan penuh otoritas. Zivanna terbelalak, namun tubuhnya terlalu lemas untuk memberontak. Hanya ada satu reaksi yang nyata: dia membeku... karena hangatnya kulit Hakim menjalari seluruh tubuhnya seperti api yang menyebar perlahan. Kehangatan yang bukan hanya fisik, tapi terasa sangat... hidup. Ia bisa mencium aroma tubuh lelaki itu, maskulin, bersih, bercampur sisa air hujan. Dadanya begitu kokoh hingga ia bisa mendengar detak jantungnya yang stabil, seperti irama yang menenangkan. Zivanna ingin marah. Ingin menolak. Tapi tubuhnya terlalu letih. Terlalu dingin. Terlalu nyaman. Dalam dekap erat itu, ia hanya bisa menyembunyikan wajahnya di d**a Hakim, memejamkan mata, dan mencoba tidak mendengar suara pikirannya sendiri. “Diam dulu, biarkan hangat.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD