Malam semakin dingin, membuat Zivanna semakin nyaman dan memeluk sosok tersebut. Wangi maskulin samar terhirup dari balik kulit hangat yang menyambutnya dengan kehangatan tak tertandingi. Pipinya refleks menggesek d**a bidang itu, terasa keras, hangat, dan liat seperti pahatan batu mahal yang dipanaskan cahaya perapian. Dan dalam setengah kantuknya, Zivanna sempat bertanya lirih dalam benaknya, "Sejak kapan gulingku senyaman ini?"
Ia membuka mata perlahan.
Seketika pupilnya melebar.
Tepat di hadapannya d**a telanjang milik Hakim Rajani Jagatara. Kulit sawo matang yang padat, otot dadanya naik-turun tenang, seirama dengan deru napasnya yang dalam dan dalam sekali. Ada bekas luka samar di sisi kiri, terpatri seperti kenangan peperangan yang tak sempat diceritakan. Zivanna menahan napas, matanya perlahan naik...
...dan mendarat pada wajah pria itu.
Tampan bukan main.
Rahangnya tegas, hidungnya mancung dengan lekuk maskulin yang membuatnya tampak lebih tajam dari karakter pria mana pun yang pernah ia lihat. Alisnya tebal dan teratur, dan mata yang biasanya tajam kini tertutup tenang, seperti singa yang sedang tidur. Napasnya lambat dan tenang, nyaris tanpa suara.
Zivanna menelan salivanya kasar. Tenggorokannya tercekat, bukan karena pilek atau sisa dingin, tapi karena pikirannya sendiri mulai ke mana-mana. “Jangan... jangan mikir yang aneh-aneh, Van...” Ia menggeleng, namun tak bisa menampik bahwa tubuhnya yang hangat kini bergetar karena hal lain yang bukan hipotermia.
Dengan sangat perlahan, ia mencoba menyingkirkan lengan kekar Hakim yang melingkar di pinggangnya. Hati-hati. Jangan sampai membangunkan. Dan ketika berhasil, ia bangkit tergesa, berjalan cepat keluar kamar sambil menahan napas.
Waktu menunjukkan pukul 02.03 dini hari.
Langkah Zivanna mengarah ke dapur. Lampu gantung menyala redup, dan suasana rumah sunyi seperti gereja tua. Angin dari AC menyapu pelan tubuhnya yang hanya dibalut kaos tipis dan celana pendek. Ditambah dengan suara hujan deras di luar, semuanya begitu senyap, begitu dingin.
Zivanna membuka kulkas dan mengeluarkan botol air mineral dingin. Ia tuang ke dalam gelas, dan meminumnya cepat. Tapi tubuhnya justru semakin menggigil. Jangankan mendingin, sekarang giginya gemeretuk.
Ia kembali menaruh gelas dan memutuskan… menjernihkan pikiran. Mungkin nonton film bisa membantu... setidaknya untuk tidak membayangkan otot perut pria itu yang seperti diukir langsung oleh dewa perang.
Ia menyelimuti tubuhnya dengan selimut tipis, lalu menuju ruang keluarga dan menyalakan televisi. Cahaya layar biru memantul di wajahnya yang masih kemerahan. Ia membiarkan dirinya tenggelam di sofa, dengan suara hujan sebagai latar dan rasa hangat aneh yang belum sepenuhnya hilang dari tubuhnya.
Zivanna menggelengkan kepala. Ia butuh pengalihan. Sesuatu yang bisa menenggelamkannya dalam rasa lain selain rasa malu dan detak jantungnya sendiri yang belum kembali normal. Maka ia berdiri, melangkah ke arah lemari penyimpanan kecil di sisi bar rak minuman.
Tangannya menyusuri beberapa botol yang berjejer rapi. Satu botol di tengah yaitu anggun dengan label keemasan dan leher ramping dan terlihat sangat menggoda.
“Cabernet Sauvignon 2014…” gumam Zivanna sambil menyipitkan mata, tersenyum tipis. “Terlalu bagus untuk disimpan, terlalu bodoh kalau diabaikan.”
Ia membuka botol itu dengan lembut, menuangkannya ke gelas kristal tinggi. Warnanya merah rubi pekat, aromanya harum dengan jejak vanila dan kayu ek. Zivanna mengangkat gelas itu ke bibir dan meneguknya perlahan.
“Ahh…” desahnya, puas. Rasa hangat menjalar lembut di tenggorokan, membuat tubuhnya terasa sedikit lebih ringan.
“Zivanna.”
Ia hampir menjatuhkan gelasnya. Menoleh cepat. Dan di sana, berdiri Hakim sudah memakai kaos, rambutnya masih agak acak karena baru bangun.
“Kenapa kamu bangun?” tanyanya pelan.
Zivanna meneguk lagi sedikit anggur, lalu menjawab dengan nada seolah-olah tak terjadi apa-apa. “Sudah merasa lebih baik. Terus aku haus.”
“Dan minum anggur?”
“Haus, Om.”
Hakim melangkah mendekat, lalu duduk setengah membungkuk dan menyentuh pipi Zivanna.
“Masih dingin,” gumamnya.
Zivanna buru-buru menepis tangan itu. “Aku enggak apa-apa,” ucapnya cepat.
“Dengan suhu tubuh begitu, kamu bahkan bisa gagal ikut pendakian nanti.”
“Nanti juga membaik sendiri,” bantah Zivanna, menyilangkan tangan dengan keras kepala.
Hakim menghela napas panjang, kemudian berdiri. Ia mengambil botol anggur yang sama, lalu menarik tangan Zivanna, tidak kasar, tapi juga tidak memberi ruang untuk ditolak.
“Hey— mau dibawa ke mana?” seru Zivanna.
“Bikin kamu hangat.”
Ternyata mereka menuju ruang perpustakaan di lantai satu, ruangan dengan rak-rak kayu tua yang menjulang dan sebuah perapian batu di sudut. Api kecil menyala di sana, melemparkan cahaya hangat ke permukaan karpet Turki yang lembut. Hakim menarik bantalan besar dan meletakkannya di depan perapian.
“Duduk. Hangatkan diri. Mau minum, minum. Tapi jangan bikin saya turun tangan dua kali.”
Zivanna diam. Ia duduk di atas karpet, menarik lutut dan menyelimuti dirinya dengan selimut kecil yang disediakan di sisi sofa.
“Terus kamu sendiri mau ke mana?” tanyanya, menatap Hakim dari bawah, dengan mata bulat yang tak sengaja menunjukkan kekhawatiran.
Hakim menatapnya lama. Lalu mendesah. “Saya temani. Duduk saja.”
Zivanna pura-pura berdehem, menoleh ke arah lain. “Aku bisa sendirian. Kamu enggak usah temani juga berani.”
Hakim terkekeh kecil, suara rendah dan dalamnya terdengar nyaris seperti rayuan yang tidak disengaja. Ia mengambil gelas dari rak atas perapian, menuang anggur untuk dirinya sendiri, lalu duduk tak jauh dari Zivanna.
Zivanna menoleh padanya.
Dan dalam cahaya merah temaram dari api itu, ia melihat pria itu dalam sorot yang baru.
Pria itu……terlalu tenang, terlalu dewasa, terlalu… Panas.
Zivanna menelan ludahnya kasar. “Sialan…” gumamnya dalam hati, matanya buru-buru menghindar.
Lalu ia mengangkat gelasnya sendiri dan meneguk dalam-dalam. Sedikit mabuk lebih baik daripada terlalu sadar akan Hakim yang duduk tak jauh darinya, mencium aroma kayu terbakar, dan menyaksikan api menari di bola mata pria itu.
"Kalau pendakian nanti, harus hati-hati, ini pertama kalinya 'kan?"
Zivanna mengangguk sambil menyesap sisa anggur dari gelasnya.
“Gunung Silawan bukan medan biasa. Apalagi jalur ke Danau Tjenari, kondisinya rawan longsor, ada beberapa titik blank spot komunikasi, dan sering turun kabut tipis yang menyesatkan. Di musim seperti ini, peta topografi bisa saja berubah dalam hitungan jam.”
Zivanna mendengarkan, awalnya serius... lalu pelan-pelan menyipitkan mata.
"Jadi... maksudmu apa? Kamu nyoba nakut-nakutin aku?"
Hakim menggeleng perlahan, namun sorot matanya mengeras. "Bukan menakut-nakuti. Saya hanya..." Ia menatap Zivanna dalam. “Bisakah... kamu tidak ikut pendakian itu?”
Zivanna membatu sesaat. Lalu ia mengangkat dagunya. “Aku pergi bareng Kezia, dia udah biasa naik gunung. Lagian, kita juga pakai pemandu lokal. Santai aja, Kolonel.”
Nada sarkastisnya jelas.
“Jangan terlalu parno deh. Kamu tuh terlalu lebay. Baru juga gunung satu, bukan medan tempur.”
“Zivanna.”
Ia tidak menggubris. “Aku kan juga udah dewasa. Bisa jaga diri. Gak perlu kamu mikirin kayak—”
Tanpa aba-aba, tangan Hakim menarik pergelangan Zivanna dan menarik tubuhnya hingga terduduk di pangkuannya.
“Aaaakkk—! Gila! Kamu kenapa sih?!” jerit Zivanna spontan, tangannya reflek mendorong d**a Hakim, namun tubuhnya tertahan kuat di dekapan pria itu.
Sorot mata Hakim tegas. Tak ada senyum. Tak ada candaan. “Kamu dengerin saya dulu, jangan terus motong,” suaranya berat, menggetarkan udara di antara mereka.
Zivanna terdiam.
“Gunung itu gak seaman yang kamu kira. Dan saya mendapat laporan terakhir, ada sekelompok penyelundup bahan tambang ilegal yang bikin markas sementara di lereng barat. Kalau kamu lewat jalur itu dan mereka merasa terancam... mereka bisa menyerang siapa pun.”
Zivanna masih diam. Dadanya naik turun. Ia tahu Hakim tidak sedang menggertak.
Perlahan, ia menunduk. Tapi tak berani memandang Hakim.
Lalu terdengar helaan napas panjang. “Saya minta, jangan ikut.”
Suara Hakim merendah, tapi tegas. “Tetaplah di sini. Saya sedang cuti, saya bisa bantu apa pun yang kamu mau. Tapi... jangan naik gunung itu.”
Zivanna terdiam. Pandangannya kosong menatap api yang menari di tungku perapian. Tapi batinnya justru... berisik.
Kenapa? Kenapa dia bisa berkata seperti itu? Kenapa dia bilang akan melakukan apa pun yang aku mau?
Tatapan Zivanna malah jatuh ke bibir Hakim.
Ada setetes kecil anggur merah yang belum sempat dibersihkan, menempel di sudut bibir pria itu. Warnanya tampak kontras di kulit kecokelatan Hakim, tepat di bawah lengkungan maskulin hidung yang tampak lebih mancung dalam cahaya perapian.
Zivanna mendadak mematung. Anggur mahal. Dini hari. Hujan deras. Dan seorang kolonel yang terlihat seperti mimpi buruk... atau mimpi basah.
“Ada anggur nempel di bibir kamu.”
Hakim menaikkan sebelah alis. “Biarkan saja. Fokus pada yang saya bicarakan tadi. Pendakian itu rawan. Dan kamu—”
Zivanna masih menatap bibir itu. Bibir yang bergerak pelan-pelan, mengucap kalimat peringatan seperti biasanya. Tapi kali ini, ia tak benar-benar menyimak. Pandangannya tak bisa lepas. Matanya mengikuti lekuknya, lengkungnya, bahkan gerak halus lidah Hakim ketika menelan di sela bicara.
“—kamu harus paham bahwa lokasi itu bukan area sipil. Kalau sudah ada aktivitas tambang ilegal, pasti ada senjata. Kalau kamu—”
“Sayang sekali...” bisik Zivanna tiba-tiba, masih menatap bibir itu. “Sayang sekali anggurnya kebuang cuma nempel di bibir...”
Lalu, sebelum Hakim sempat berkata apa-apa, Zivanna menunduk.
Dan menyatukan bibir keduanya.
Lembut. Ringan. Seperti kelopak bunga jatuh di permukaan cermin. Ucapan Hakim terpotong seketika, lalu perlahan menarik diri dan menatap Hakim dengan ekspresi polos, seolah tak melakukan kesalahan apa-apa.
Hakim terdiam beberapa detik. “Zivanna,” gumamnya dalam. “Apa yang kamu lakukan?”
“Ciuman,” bisiknya dengan wajah yang sudah layu.
Terdengar suara tawa kecil dari Hakim. “Bukan,” ucap Hakim rendah, pelan, dan dalam. “Itu bukan ciuman.”
Zivanna hendak bertanya, namun Hakim sudah mencondongkan tubuhnya. Tangannya menyentuh pelan rahang Zivanna, dan dalam sekejap... “Ini ciuman.”
Bibirnya menyatu dengan bibir Zivanna. Kali ini bukan sekadar tempelan. Bukan kecupan ringan yang malu-malu. Ini... adalah definisi dari ciuman.
Lembut. Penuh. Pasti.
Bibir Hakim menggerakkan bibir Zivanna dengan ritme yang perlahan namun mematikan. Seperti badai yang datang tanpa suara, menyapu semua pertahanan yang Zivanna miliki. Tangannya menahan tengkuk perempuan itu, sementara Zivanna, yang awalnya membeku, perlahan membuka mulutnya sedikit, dan tubuhnya mulai melunak... mengizinkan Hakim masuk lebih dalam.
Lidah Zivanna dijilat lembut, namun tak memberi ampun seperti pusaran arus yang menariknya masuk semakin dalam ke dalam gelombang panas yang tak bisa ia lawan. Ciuman itu bukan hanya dalam, tapi juga rakus, menyusup, menjilat, dan menggoda setiap inci rasa malu yang sebelumnya coba ia pertahankan. Hakim mencumbu dengan kendali mutlak, membuat tubuh Zivanna perlahan bergetar dalam rengkuhan. Helaan napasnya tersengal, pelan berubah menjadi desahan yang tak tertahan, keluar dari sela bibir mereka yang masih terikat basah. Suara lengket dari salivanya yang tertarik turun di antara bibir mereka, menetes diam-diam, sementara jari-jari Zivanna meremas ujung karpet, berusaha keras untuk tidak kehilangan kendali di tengah rasa yang perlahan melumpuhkan nalar.