8. Dasar Jerapah!

2009 Words
“Gimana koasnya, Ris? Lancar?” tanya Papa ketika malam ini kami berdua ngobrol di halaman belakang. Ada satu piring pisang coklat di depan kami, tak lupa pula ada dua gelas teh manis yang masih mengepul. Tak terasa, tiga minggu pertama koas sudah kulalui dengan baik. Sejauh ini aman. Ya, meski lengkap dengan teguran— baik itu halus maupun keras. Lengkap pula dengan serentetan lembur dan jam tidur yang super duper berantakan. Dan ini masih baru dimulai. Tak apa. Aku sudah berjanji akan menikmatinya. Susah atau senang akan kulalui dengan hati yang lapang. “Alhamdulillah lancar, Pa. Aman aja sejauh ini.” Sebenarnya, Papa sudah ingin ngobrol denganku sejak beberapa hari yang lalu. Aku tahu, beliau pasti ingin bertanya ‘kabar’. Bagaimanapun, beliau melihat sendiri betapa aku sering pulang malam, bahkan larut. Sayangnya, beberapa hari ke belakang momennya selalu tak tepat. Kebetulan hari ini aku pulang jauh lebih awal dari biasanya. Jadi, malam ini beliau langsung mengajakku bicara. Dan memang benar tebakanku. Beliau langsung menanyakan kabar. Aku rasa, beliau mengkhawatirkanku. “Teman enak, Ris? Atasan gimana? Eh, apa namanya?” “Dokter Pembimbing?” “Nah, itu. Yang kamu sebut senior galak itu, ya?” “Itu mah sebutan asbun aja, Pa. Aslinya dokter pembimbing itu tetap atasan. Ya mereka yang bimbing aku sehari-hari.” “Kok kata gantinya mereka? Bukan dia?” “Soalnya banyak orang, Pa. Pembimbing harian itu enggak satu orang aja. Ganti-ganti. Tapi ada satu yang utama. Dia yang bertanggung jawab penuh atas koasku di stase pertama.” “Oh … gitu, ya? Papa enggak paham. Ya, apa pun itu istilahnya, apa mereka baik?” “Baik, kok. Ya ada, sih, yang agak-agak. Tapi overall baik.” “Kalau yang utama, gimana? Yang katamu bertanggung jawab penuh itu.” “Baik juga, sih.” “Sih?” mata Papa menyipit. “Kok terdengar janggal?” “Baik, tapi galak.” Aku meringis. “Marah-marah terus. Mana kalau marah itu agak ngeri.” “Kok terus? Apa kamu sering bikin kesalahan?” “Sebenarnya enggak sesering itu, Pa. Tiga minggu ini aku beberapa kali dimarahi, yang satu dimarahi habis-habisan. Jadi agak membekas aja. Ya emang aku salah, sih. Soalnya menyangkut nyawa pasien. Aku yang kurang hati-hati.” “Tapi marahinnya enggak di depan teman-temanmu, kan?” “Enggak, kalau itu. Biasanya dipanggil ke ruangan dia, atau minimal banget disuruh menepi. Ini bagus, sih. Soalnya aku pernah— eh sering lihat dokter pembimbing kelompok lain marahinnya di depan umum. Ya enggak di depan pasien juga, sih, Pa. Tapi teman-teman sejawat. Kalau dokter pembimbing utamaku ini enggak pernah.” “Beneran bagus kalau gitu. Artinya, dia masih jaga martabat anak bimbingnya. Soal marah-marah, kalau ada alasan, harusnya enggak masalah.” “Tapi kelompok lain ada yang kelihatan baik dan lembut juga, sih, Pa. Kebetulan aja aku kebagian yang pedes.” “Sampai ninggiin suara atau enggak?” “Sesekali, iya. Tapi ninggiinya bukan yang bentak-bentak. Lebih kaya nadanya nekan gitu, lho! Jadi nusuk sampai ulu hati.” Papa tersenyum. “Terus kamu sakit hati?” “Iyalah! Aku pasti nangis setelahnya. Tapi sembunyi-sembunyi, sih.” “Apa perlu Papa marahin dia?” “Eh, ya jangan! Nanti dikira aku anak-anak yang dikit-dikit ngadu sama orang tua.” Papa kembali tersenyum. “Papa cuma bercanda, Ris.” Hening sejenak. “Alasan kenapa dulu Papa nanya kamu sampai berulang kali soal niatmu ambil kedokteran, ya, ini. Dunia kedokteran itu keras. Keras banget, malah. Selain keras, juga prosesnya panjang. Bayangin aja, lulus S1 itu belum apa-apa. Masih ada koas, UKMPPD, internship, baru bisa jadi dokter. Itu pun baru dokter umum. Nanti kalau mau spesialis ada sekolahnya lagi. Bener-bener sepanjang itu. Apalagi baik Papa atau Mamamu bukan dokter. Ibarat kata, koneksi kamu jelas kurang. Belum lagi kalau ada bullying dan semacamnya.” Bagian ini benar adanya. Dulu, saat kelas tiga SMA, Papa bolak-balik memastikan apa benar aku akan mengambil kedokteran. Beliau sudah menawari ambil jurusan lain, tetapi aku bersikeras ingin menjadi dokter. Sejak saat itu aku sudah tahu kalau Papa sangat khawatir padaku. Sejak saat itu pula aku tahu kalau dunia kedokteran memang keras. Namun, semua itu kalah dengan tekadku. Aku benar-benar ingin menjadi dokter. Tidak bisa diganggu gugat. “Pokoknya, sejauh ini aman, Pa. Emang aku enggak menutup mata kalau kasus bullying itu ada, tapi bersyukurnya aku enggak kena dan di sekitarku pun emang enggak terjadi. Aku enggak mau ditindas. Sekalipun enggak ‘pure blood’, aku akan buktiin kalau aku kuat.” “Baguslah kalau gitu. Temanmu juga baik, kan? Pertanyaan ini jadi kejeda.” “Baik, kok, Pa. Papa tahu Salma, kan? Dia satu kelompok sama aku. Dia doang yang kenalan lama. Lainnya orang baru semua. Tapi bagusnya, kenalan baru enak-enak orangnya. Ya, misal ada crash dikit masih okelah.” “Papa lega dengernya.” “Pokoknya, Papa enggak perlu khawatir. Meski berat, jadi dokter itu keputusan yang aku pilih secara sadar dan matang. Aku akan bertanggung jawab sampai akhir.” Papa mengangguk. Tangan belau juga tiba-tiba terulur, menepuk pelan kepalaku. “Meski sibuk, tetap dijaga kesehatannya.” “Pasti, Pa.” “Enggak usah cinlok. Nanti ribet.” “Idih! Cinlok sama siapa? Temen-temenku berondong, Pa. Ada, emang, yang seumuran. Tapi tetap aja enggak mau. Enggak sempet mikirin cinta-cintaan. Mikirin laporan aja enggak habis-habis. Udah ngerjain serius juga ada aja salahnya. Selain laporan, ada presentasi jurnal. Belum lagi, masih hadapin pasien yang kadang rewelnya minta ampun. Mana sering dilampiasin ke dokter koas. Riweh banget, Pa. Enggak sempet cinlok-cinlok-an. Ewww!” “Kamu, ini! Papa cuma ngomong dikit, kamu balesnya udah kaya rel kereta. Persis Mamamu.” “Ya orang aku anak Mama. Lagian, rewel gitu juga Papa enggak betah LDR.” “Kamu ngeledek Papa?” “Emang aku salah?” Papa tidak membalas, tetapi senyum beliau terbit sekalipun sangat tipis. Itu sudah menjawab semuanya. “Papa sama Mama jangan terlalu khawatirin aku. Aku udah gede dan aku beneran baik-baik aja. Kalau ada apa-apa, aku pasti ngomong, kok. Minimal banget ke Mas Juna. Jadi, aman.” Papa menghela napas panjang, lalu mengangguk. “Ya. Ya udah.” *** “Terima kasih banyak, Dokter Risa. Saya senang sekali. Dokter Risa sangat ramah.” Aku hanya terus tersenyum ketika salah stau pasienku memuji. Namanya Bu Murtiah, atau Bu Tiah. Beliau sudah paruh baya. Harusnya seumuran Mama, atau mungkin lebih sedikit. “Sama-sama, Bu. Saya ikut senang karena Ibu sudah pulih.” “Saya cepat pulih karena dokternya baik.” “Ah, Ibu bisa aja.” “Beneran, lho!” “Biar enggak kambuh, dijaga, ya, Bu, pola makannya.” “Iya, Dokter. Saya usahakan.” Tiba-tiba saja, ada seseorang datang mendekat. Dia laki-laki. Aku langsung mengangguk pelan untuk basa-basi. Aku tahu, laki-laki ini adalah anak Bu Tiah. Bu Tiah sendiri yang memberi tahuku saat pertama kali beliau rawat inap. “Bu, untuk selanjutnya Ibu tinggal urus administrasi terakhir, ya. Dokter Bono bilang Ibu sudah boleh pulang. Saya diminta untuk menyampaikan.” “Baik, Dok.” Bu Tiah tersenyum lebar. “Tapi kalau saya minta diantar ke parkiran apa boleh? Sambil kita ngobrol sedikit.” Mendengar itu, aku langsung terdiam. Memang aku sedang tidak sibuk, tetapi aku tidak nyaman jika terlalu dekat dengan pasien. “Parkiran itu jauh, Bu. Saya ada urusan habis ini. Bagaimana kalau hanya sampai anak Ibu selesai urus administrasi dan nebus obat?” “Oke, oke. Bisa.” Bu Tiah bangun dibantu anaknya. Anaknya ini agak pendiam, tetapi aku sadar kalau beberapa kali dia mencuri pandang padaku. “Terima kasih banyak karena sudah merawat Ibu saya dengan baik, Dok,” ujar anak Bu Tiah saat Bu Tiah melangkah keluar lebih awal. Dan ini adalah kali pertama kami terlibat obrolan. “Sudah sepantasnya, Pak. Bu Tiah nyaman juga karena perawat di sini baik-baik. Bukan hanya karena saya.” “Apa saya terlihat setua itu sampai Dokter manggil saya dengan sebutan Pak?” Aku hanya tersenyum, tak membalas. Kalau tidak Pak, aku harus memanggil dia apa? Akhirnya, aku memutuskan untuk segera berlari kecil menghampiri Bu Tiah. Si anak yang sampai detik ini belum kutahu namanya, langsung mengurus administrasi. “Bu, kita duduk di sini saja.” “Iya, iya. Boleh.” “Ibu nanti minum obatnya yang rutin, ya. Banyak minum air putih hangat dan banyak gerak juga. Tapi jangan sampai kelelahan. Secukupnya aja.” Bu Tiah tersenyum. “Baik, Dokter Risa. Ngomong-ngomong, anak saya namanya Randi. Dia kerja di BUMN. Posisinya sudah bagus banget. Bulan lalu habis dipromosiin.” Ah! Aku tahu ke mana arahnya. Jadi benar kata kakak tingkatku dulu. Terkadang memang ada pasien yang baper sendiri dengan kebaikan para dokter. Padahal, kami hanya berusaha untuk perofesional dalam bekerja. “Oh … iya, iya.” “Dokter Risa mau kenalan sama dia? Kenalan aja dulu. Anaknya memang agak pendiam, tapi dia aslinya enggak pendiam kalau udah kenal. Mau, ya?” Aku berdehem pelan, lalu tersenyum. “Bu, sebelumnya maaf, ya. Saya ini masih koas. Masih awal-awal pula. Masih banyak yang harus saya lalui kedepannya. Jadi, untuk saat ini, saya belum ada rencana ke arah yang Bu Tiah inginkan.” “Randi bisa menunggu—” “Kami saja belum kenal, Bu. Masa iya Bu Tiah yakin kalau anak Ibu pasti mau nunggu?” “Tapi dia udah mau kalau kenalan dulu sama Dokter Risa. Saya udah tanya dia.” “Tapi, Bu—” “Aku udah selesai, Bu.” Kalimatku terhenti karena anak Bu Tiah sudah kembali. Aku melirik, lalu tersenyum sekenanya. “Ayo kita pulang, Bu.” “Bentar, dong. Kamu katanya mau kenalan sama—” “Dokter Risa!” Aku agak kaget ketika tiba-tiba namaku dipanggil. Panggilan itu ternyata berasal dari Dokter Arga. Aku langsung tersenyum lega. “Bu, maaf. Saya dipanggil Dokter Arga. Dia pembimbing saya. Saya lupa, setelah ini ada urusan penting. Obrolan kita sampai di sini dulu, ya.” “Tapi, Dok—” “Semoga semakin pulih, Bu Tiah. Saya senang sekali bisa membantu Ibu. Permisi ….” Aku mengangguk sopan, lalu pergi meninggalkan Ibu dan anak yang memiliki maksud terselubung. Begitu tiba di depan Dokter Arga, aku langsung menunduk sejenak. “Terima kasih, Dok.” “Terima kasih untuk apa?” “Itu, keluarga pasien ada yang modus. Untungnya Dokter manggil saya. Jadi saya ada alasan buat kabur.” “Oh. Mau dikenalkan dengan anaknya itu?” “Kok Dokter Arga tahu?” “Itu hal yang cukup sering terjadi. Dokter perempuan atau laki-laki, pasien enggak pandang bulu. Kalau cocok, ada saja modus-nya.” “Risiko jadi dokter cantik.” “Apa kamu bilang?” “Hah?” Aku langsung melipat bibir. Aku baru sadar kalau aku sudah keceplosan. Soal memuji diri sendiri ini betul-betul hanya candaan. Dan harusnya aku paham kalau aku tidak boleh mengeluarkan candaan ini ke sembarang orang. Ini juga kelepasan, tidak benar-benar sengaja bertingkah narsis. “Kamu merasa dirimu cantik?” “Saya b-bercanda aja. Oh, iya. Jadi ada apa tadi? Kenapa Dokter Arga manggil saya?” aku buru-buru mengalihkan pembicaraan. “Laporan yang kemarin saya bilang paling telat dikumpulkan besok siang, saya ajukan. Paling telat dikumpulkan sore ini. Kalau tidak bisa, ambil kasus baru.” “Lah? Kok bisa gitu? Sore ini saya masih ada—” “Kamu sift sampai sore, ya? Baiklah, saya kasih kelonggaran. Saya tunggu maksimal jam delapan. Kalau belum selesai, besok mulai dengan kasus baru. Kamu buat laporan baru.” Setelah mengatakan itu, Dokter Arga langsung pergi. Aku sendiri kini sudah melongo terheran-heran. “Eh, Dok! Tunggu!” aku segera mengejar Dokter Arga. “Kalau besok pagi gimana? Saya berangkat jam tujuh pagi. Akan saya kerjakan malam ini di rumah. Tolonglah!” “Daripada kamu ngejar saya, kalau kamu merasa saat ini ada waktu luang, kerjakan yang sudah ada. Kecuali kalau kamu memang tertarik dengan kasus baru dan mulai dari awal. Jangan ikutin saya lagi. Nanti orang mengira kamu naksir saya.” “Hah?” Aku berhenti. “N-naksir?” Dokter Arga terus berjalan dengan langkah lebarnya. Kini, tanganku sudah mengepal erat-erat. “Dasar jerapah! Sehari enggak bikin aku senewen apa meriang? Awas aja nanti kalau ada kesempatan akan aku bales!” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD