Demi laporan, aku jadi pulang telat. Sebenarnya sudah biasa aku pulang malam, hanya saja ekspektasiku sebelumnya aku ingin pulang lebih awal. Rencana belanja dengan Mama jadi batal.
Memang, sejak aku koas, aku sering menekankan ke Mama jangan terlalu berharap padaku soal janji keluar bersama. Mama pun maklum. Tadi Mama juga sudah mengabari kalau beliau jadinya keluar bersama Papa. Ya sudah, biar mereka kencan berdua.
“Akhirnya, beres juga.” Aku menghela napas panjang, lalu menggerak-gerakkan tangan yang terasa pegal. “Habis ini bisa pulang.”
Rasanya lega luar biasa karena laporan telah selesai. Aku bahkan sudah mengumpulkan laporan itu di meja Dokter Arga sekalipun orangnya tidak ada. Padahal, dia bilang di rumah sakit sampai malam. Entah sedang di mana dia saat ini.
“Jangan-jangan dia udah pulang? Kalau sampai iya, bener-bener niat menindas!” aku ngedumal pelan.
Ruangan Dokter Arga kosong, tetapi sepertinya belum semuanya pulang. Tadi saat aku masuk, ada satu dokter yang sedang sibuk di depan komputer. Saat ini dia tidak ada, besar kemungkinan sedang ke toilet.
“Aku foto, deh, buat bukti.” Aku baru saja menyalakan kamera ketika tiba-tiba aku dibuat salah fokus pada figura yang dipajang di sudut meja.
Dari posisi aku berdiri saat ini, aku tidak bisa melihat dengan jelas siapa orang di foto itu. Pasalnya, posisi figura itu nyaris satu garis lurus denganku. Namun yang pasti, foto itu adalah dua laki-laki. Satu lebih tinggi, tetapi jedanya tidak terlalu jauh.
“Apa itu foto Dokter Arga dan adiknya, ya? Eh, kok bajunya kaya kenal—”
“Ehm!”
Deheman itu membuatku berjengit kaget. Aku langsung mundur begitu melihat Dokter Arga datang.
“Jam delapan lebih dua menit—”
“Sejak lima menit yang lalu saya sudah sampai sini, Dok,” balasku cepat.
“Limat menit? Selama itu kamu ngapain saja di sini? Saya juga keluar belum ada lima menit.”
Aku meringis. Sepertinya aku ketahuan kalau bohong.
“Saya telat semenit, ding.” Akhirnya aku mengaku. “Harusnya enggak masalah, kan, Dok? Toh Dokter baru saja dari luar. Mau saya ngumupulin jam delapan tepat, atau bahkan lebih tiga menit sekalipun, toh sampai detik ini belum diperiksa.”
“Ya. Oke.”
Senyumku langsung mengembang. “Ya sudah, Dok. Saya kembali ke bawah dulu. Terima kasih—”
“Tunggu, Ris!”
“Iya?”
“Duduk dulu.”
“Hah? Duduk?”
“Iya.”
Aku melirik sekitar, dokter yang tadi belum juga kembali. Sebelum disuruh dua kali, akhirnya aku menarik kursi dan duduk tepat di depan Dokter Arga.
“Ada apa, ya, Dok?”
Jujur, aku mendadak was-was. Aku takut kalau-kalau Dokter Arga membawa segudang celah untuk memarahiku.
“Kenapa kamu panik sekali?”
“M-memangnya iya? E-enggak, kok. Saya enggak panik.”
“Suaramu bahkan terbata, masih mengaku enggak panik.”
Aku meringis, lalu menunduk.
“Saya cuma mau tanya sesuatu. Memang ini agak pribadi, tapi saya tetap perlu tanya. Tenang, Fikri dan Salma pun saya tanya.”
“Fikri dan Salma?” Aku kembali mendongak. “Apakah ini soal umur kami yang sedikit lebih banyak daripada teman koas yang lain?”
“Selisih umur itu biasa. Ada yang ketuaan atau kemudaan, itu banyak dijumpai. Saya lebih menyoroti tahun masuk kalian jadi mahasiswa baru dan tahun masuk koas. Fikri mengaku ada kendala kesehatan pasca lulus, jadi koas terlambat. Sedangkan Salma ada kendala administrasi, jadi membuat dia telat mengurus. Anak koas yang saya bimbing periode sebelumnya juga akan saya tanya jika dirasa ada jeda waktu signifikan dengan peserta lain. Alasannya macam-macam. Bisa juga karena rotasinya lama. Bagaimana denganmu? Jeda lulus dengan koas relatif singkat, artinya kamu lama di S1-nya. Apa kamu lulus telat? Tolong jangan tersinggung.”
Aku langsung menggeleng. “Saya enggak tersinggung, kok. Saya punya alasan kenapa saya lama ambil S1-nya.”
“Kenapa?”
“Saya bukannya menyengaja lulus telat, Dok, tapi saya pernah cuti dua semester.”
“Kenapa?”
“Saya kecelakaan, cidera parah, dan sempat koma. Saya juga sempat enggak bisa jalan, dan pemulihannya lumayan lama. Jadi, saya cuti sampai dua semester. Selain itu, mental saya juga kena. Agak sulit kalau mau langsung lanjut kuliah.”
Mata Dokter Arga seketika menyipit. Ini seperti dia memintaku menjelaskan secara lebih detail, tetapi tanpa mengatakannya.
“Ya, kan, saya enggak bisa jalan, Dok. Pasti stress-lah. Soalnya sehari-hari isinya merepotkan orang rumah. Mau apa-apa repot.”
“Bukan karena hal lain lagi?”
“Maksudnya?”
“Barangkali ada. Atau pertanyaan saya sudah terlalu pribadi?”
“Ah, stress saya juga dikarenakan sahabat saya meninggal. Saking sedihnya, saya sampai menangis berhari-hari. Enggak selera makan sampai kurus banget. Terus, karena saya sempat koma, jadi saya enggak bisa lihat dia untuk terakhir kali. Rasa kehilangan saya semakin menjadi-jadi.”
“Kalian satu mobil waktu itu?”
“Oh? Kok Dokter Arga tahu kalau kecelakaan mobil?”
“Saya hanya menebak. Atau motor?”
“Mobil. Saat itu kami naik di mobil yang sama. Dia yang mengemudi mobilnya.”
“Kamu mau cerita lebih lengkap?”
“Untuk apa, Dok?” aku celingukan. “Ini sudah malam. Lalu apa pula urgensinya?”
Bukannya ini aneh? Kenapa Dokter Arga harus penasaran soal bagaimana aku kecelakaan? Bukankah cukup dengan dia tahu alasan kenapa aku lama lulus?
“Jangan salah paham. Saya tanya karena kelihatannya kecelakaan yang kamu alami itu parah. Barangkali saya bisa memasukkannya ke dalam penelitian.”
“Memang bisa?”
“Kenapa tidak bisa? Banyak hal yang bisa dijadikan bahan penelitian. Tinggal cari pendekatan yang menarik dan bermanfaat untuk kemajuan dunia kedokteran.”
Aku menggaruk pelipisku. “Kalau saya menolak, apa boleh, Dok? Jujur, saya masih agak trauma kalau cerita itu. Bisa-bisa, saya langsung nangis.”
“Ya sudah. Tidak apa-apa.” Dokter Arga mengangguk paham. “Kalau gitu, kamu boleh keluar.”
“Baik, Dok.”
Aku segera berdiri, lalu mengangguk sejenak. Baru setelah itu, aku balik badan dan buru-buru pergi dari ruangan Dokter Arga.
Tapi tunggu … kenapa aku merasa ada yang aneh dengan pertanyaan Dokter Arga? Apa benar hanya karena dia tiba-tiba tertarik untuk meneliti? Atau ada hal lain?
***
Keesokan hari …
“Silakan angkat tangan, siapa yang ingin ikut? Maksimal dua orang. Kalau lebih, akan saya pilih berdasarkan performa kalian sejauh ini.”
Suasana ruangan mendadak hening. Kupikir akan banyak yang angkat tangan, tetapi ternyata tidak ada sama sekali. Aku sudah memastikan sekali lagi, benar-benar tidak ada yang mengangkat tangan.
Ngomong-ngomong, Dokter Arga baru saja memberi tahu bahwasanya akan ada seminar yang dilaksanakan di Yogyakarta. Seminar ini seminar besar dan rutin dilakukan setahun sekali. Dia bilang, pesertanya dipilih dan mendapat undangan. Dan tahun ini dia mendapat undangan itu.
Masing-masing peserta boleh mengajak maksimal dua orang untuk ikut. Bisa rekan kerja, bisa anak koas. Dan ya, Dokter Arga berniat mengajak dua orang dari kami— anak didiknya.
“Tidak ada?” tanya Dokter Arga sembari menatap kami berenam satu per satu. “Luar biasa. Saya kira akan rebutan karena seminar ini bukan sembarang seminar. Banyak ilmu yang akan kalian dapat di sini. Bahkan setelah menjadi dokter pun, kesempatan untuk ikut seminar ini bisa dibilang cukup kecil.”
“Dok, maaf!” Faisal mengangkat tangannya. “Sebelumnya bukan kami tidak mau ikut, tapi ini terlalu mendadak. Sedangkan masih banyak yang harus kami selesaikan di sini. Lalu, tadi Dokter Arga menyinggung soal peserta harus menyiapkan tiga esai yang berbeda selagi masih dalam satu tema, yaitu bedah. Jika acaranya dua hari lagi, sepertinya kurang waktu. Apalagi besok sudah harus berangkat. Saya ingin, tapi saya kurang yakin.”
“Justru itu. Saya ingin lihat siapa di antara kalian yang punya keinginan belajar sangat tinggi. Jika merasa tidak mampu, tidak masalah.”
“Akomodasi ditanggung pribadi, Dok?” tanya Salma.
“Kamu berharap saya yang bayarin? Oke.”
“E-enggak gitu, Dok.” Salma meringis. “Saya ingin tahu lebih detail.”
“Saya bercanda. Yang menanggung akomodasi jelas rumah sakit ini. Tempat tinggal dan makan terjamin. Laki-laki atau perempuan, bisa menyesuaikan. Rumah sakit tidak akan bangkrut hanya karena membayar tiga kamar yang berbeda. Itu kalau memang ada dua orang yang mau ikut saya.”
Aku menunduk, berpikir. Sejujurnya, aku sangat ingin ikut. Karena lewat acara ini pasti ada banyak hal yang bisa kudapatkan nantinya. Selain ilmu, juga pengalaman, bahkan bisa jadi dapat relasi.
Namun, bagaimana aku harus membuat tiga esai dengan tema bedah dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam, di saat jadwal koas juga padat? Aku bisa paham kenapa teman-teman sangat ragu untuk unjuk diri.
“Sudah? Betul-betul tidak ada? Saya kasih waktu satu menit. Jika tetap tidak ada yang angkat tangan, saya akan mengajak teman saya. Saya menawari kalian karena saya pikir ini bagus untuk kalian mencari pengalaman—”
“Saya mau, Dok!” akhirnya, aku angkat tangan. “Saya ikut!”
Salma menatapku, dan aku langsung mengangguk.
“Ayo ikut, Ma.”
“Enggak sanggup, jujur. Masih banyak yang harus aku kerjain. Mana nanti aku jaga malam.”
“Satu lagi kuota tersisa. Silakan pertimbangkan.”
Sampai satu menit berlalu, tetap tidak ada yang mengangkat tangan. Aku menatap Dokter Arga, dia mengangguk beberapa kali.
“Baiklah. Hanya Risa?”
Hening. Tidak ada yang menjawab.
“Fikri si ketua kelompok. Tidak mau ikut?”
“Saya jaga malam sama Salma, Dok. Saya juga ada tugas dari Dokter Bono.”
“Bagaimana dengan Jani dan Mita?”
Mereka sama-sama meringis. “Maaf, Dok. Belum sanggup.”
“Faishal?”
“Maaf, Dok.”
“Oke. Kalau gitu, nanti jam dua kamu ke ruangan saya.” Dokter Arga menatapku. “Saya ajak kamu ketemu Dokter Budi untuk urus administrasi. Termasuk urus surat izin. Selama seminar, kamu tidak perlu cari pengganti. Rumah sakit yang akan urus.”
“Baik, Dok.”
Dokter Arga akhirnya pergi setelah mengakhiri pertemuan pagi ini. Begitu pintu ditutup, semua anggota kelompok mendekat padaku.
“Ris, serius?” tanya Fikri.
“Jujur, aku enggak yakin. Tapi kapan lagi dapat pengalaman kaya gini?”
“Diniatin kencan aja, Kak Ris. Biar semangat,” balas Jani.
“Gila aja, Jan!”
Jani terkekeh pelan. “Aku kalau mampu bikin tiga esai kurang dari dua puluh empat jam, pasti unjuk diri. Tapi sumpah, lagi stress berat sama yang lagi dikerjain. Jadi, enggak bisa. Mungkin di stase lain, aku akan coba. Itu juga kalau ada.”
“Kayaknya Dokter Arga ini sengaja kasih tahunya mepet. Enggak mungkin dia baru aja diundang,” ujar Faisal, tampak yakin.
“Bener! Sama mau ngetes keseriusan kita sekalian,” balas Mita.
“Ya udah, ya udah. Doain aku, ya. Malam ini aku akan lembur. Aku yakin bisa bikin tiga esai sekaligus.”
“Semangat, Ris!” Salma menepuk pundakku.
“Hm … ya, ya, ya.”
Akhirnya, kami berenam bubar. Aku dan salma jalan beriringan menuju ruangan kami.
“Ris …” Salma tiba-tiba menyenggolku.
“Hm?”
“Cie, yang mau kencan.”
“Idih! Bisa-bisanya!”
“Beneran, lho, ini. Asoy geboy, mengulang kembali kenangan di Jogja—”
“Salma! Jangan ungkit lagi momen itu!”
“Iye, iye. Sensi amat, lu!”
Baru saja aku dan Salma tiba di ruangan, ternyata sudah ada pesan masuk dari Dokter Arga.
Manusia Jerapah
Besok sore saya jemput di depan rumah
Kirim alamat rumahmu sekarang
Aku langsung melongo setelah membaca pesan itu. “Lah! Jemput depan rumah? Kok jadi kaya kencan beneran?”
***