Mas, sepertinya kita sudah terlalu jauh. Aku tidak ingin melihat Titi menjalani pernikahan itu." Ucap Sarah dengan berani. Dia merasa bahwa selama ini memang tidak pernah ada untuk putrinya itu. Bukan karena alasan keduanya sibuk dan tidak memiliki waktu saja, ada alasan yang membuat dirinya sulit sekali ingin mendekatkan diri dengan Titi.
William menatap kesal lalu kembali sibuk dengan aktivitasnya.
Sarah yang merasa tidak dipedulikan pun berjalan mendekati suaminya. "Mas, bisakah kamu tidak egois?" Ketusnya dengan nada sedikit keras.
Ya sejak kemarin, Sarah selalu mengingat apa yang dikatakan oleh Titi. Memang selama ini dirinya tidak pernah bisa tegas sebagai istri maupun orang tua. Bukan maksudnya untuk membantah dan melawan kemauan suaminya. Tapi kali ini dia merasa, kalau William sudah sangat kelewatan. Bahkan demi ambisi dan obsesinya, dia rela mengorbankan putri semata wayangnya itu.
William menatap tajam sang istri, "Kamu ini lagi kenapa si? Bukan seperti kamu yang biasanya. Udah ya, aku tidak ingin membahas masalah ini lagi. Lagian aku sudah membuat keputusan." Ketusnya.
Titi yang baru saja sampai tepat di depan kamar orang tuanya, hendak ingin mengentuk pintu, namun terlihat sedikit ragu. Dia bermaksud ingin membujuk papa dan mamanya agar berubah pikiran. Setidaknya ini adalah permintaan pertama dan terakhirnya. Akan tetapi, samar-samar malah mendengar seperti seseorang sedang menangis. Dia sedikit mempertajam pendengarannya kearah pintu.
Entah mengapa air mata Sarah malah membasahi wajahnya, "Apa karena Titi bukan darah daging kita, Mas! Makanya kamu sesuka hati begitu saja mengorbankannya?" Ucapan Sarah barusan mampu membuat suaminya kembali berjalan menghampiri sang istri.
DEG
Seperti sedang tersambar petir dia mendengar dengan jelas ucapan wanita yang merupakan mamanya sendiri. 'Apa aku salah mendengar?' Dia masih tidak bisa mempercayai ucapan tersebut. Sambil terus menggeleng-gelengkan kepalanya, entah mengapa air matanya tumpah begitu saja. Karena hal itu jadinya dirinya mengerti mengapa orang tua yang sudah dianggapnya sebagai orang tua terbaik yang telah merawat dan mendidiknya sehingga menjadi sosok seperti Titi yang sekarang, bukanlah orang tua biologisnya.
Titi masih bungkam sambil menutup mulutnya, dia masih ingin mendengarkan obrolan kedua orang tuanya dari balik pintu tersebut.
"Kenapa kamu malah membahas masalah ini? Walaupun Titi bukan darah daging kita, dia tetap putri kita. Jangan lagi kamu pernah membahas tentang ini. Aku tidak ingin Titi mengetahui tentang hal ini selamanya. Apa kamu mengerti!" Ucapnya dengan penuh penekanan.
'Ternyata aku benar-benar bukan anak papa dan mama. Pantas saja selama ini aku merasa asing. Mereka tidak pernah berusaha untuk mendekatiku untuk memberikan kasih sayang. Tapi kenapa aku harus mengetahui tentang semua ini sekarang? Aaaaarrrgh!' perasaan Titi saat ini sukar untuk diartikan. campur aduk, serba salah dan tidak tau harus gimana kedepannya. Tapi dia merasa selama ini, semua yang dinginkan bahkan dibutuhkannya selalu saja dipenuhi oleh orang tuanya.
Secara perlahan-lahan dia mulai berjalan mundur, sambil terus menahan tangisnya pecah. Seketika kepalanya terasa berat, Titi berlari dengan cepat menuju kamarnya. Sesampainya disana, dia yang sudah tidak mampu lagi untuk membendung tangisnya, menangis sambil terisak-isak.
***
Keesokan harinya,
kepalanya masih terasa sangat berat, kedua matanya sembab, kelihatan seperti habis menangis semalaman. Untuk menentukan hidupnya pun dirinya sudah tidak bisa lagi. Menikah seperti yang sudah direncanakan adalah hal yang memang harus dilakukannya tanpa bisa dibantah lagi.
TOKTOKTOK
"Ti, ini mama. Bisakah mama masuk?"
"Sebentar, ma."
Titi beranjak dari kasurnya lalu berjalan menuju kamar mandi untuk mencuci wajahnya sebentar, lalu bergegas berjalan menuju ke pintu untuk membukakan pintu kamarnya.
"Ada apa, ma? Tumben banget." Ucapnya.
Mamanya memperhatikan wajah anaknya yang tampak lelah, "Kamu habis menangis ya, Ti?"
"Keliatan banget ya, Ma." Balasnya sambil tersenyum hambar.
Sarah berjalan mendekati putrinya, lalu memeluknya erat, "Maafin mama ya, maaf karena mama tidak pernah bisa tegas selama ini. Tidak pernah mengerti keinginan kamu, tidak bisa menjadi mama yang terbaik untuk kamu. Selalu saja mengecewakan kamu." Ucap Sarah sambil menangis.
Titi tidak tega melihat orang yang disayanginya menangis seperti itu, seketika rasa sakit hatinya menghilang. Dia mengusap-usap punggung mamanya. "Mama nggak salah apa-apa kok. Cuma memang Titi aja yang tidak sadar kalau selama ini mama...."
'Ternyata bukan orang tua kandung Titi.' Batinnya lirih.
"Mama kenapa Ti?"
"Mama sudah memberikan kasih sayang yang begitu besar untuk Titi. Udah belain Titi dan selalu ada. Mungkin Titi aja yang tidak bersyukur menjadi anak mama." Balasnya.
"Kamu anak yang sangat baik, Ti. Selalu menuruti semua keinginan papa kamu. Ya walaupun kali ini permintaan papa kamu sudah sangat kelewatan menurut mama." Secara perlahan Sarah melepaskan pelukannya. Dia menatap putrinya dengan intens dan sedih, "Sebaiknya kamu kabur aja keluar negeri. Mama masih mempunyai uang tabungan yang selama ini memang mama simpan untuk kamu." Ya Sarah selama ini menyimpan uang atas nama orang lain, untuk jaga-jaga bila suatu saat terjadi sesuatu yang tidak diinginkan seperti saat ini.
Titi menggeleng dengan mantap, "Nggak ma, makasih tawarannya. Titi udah membuat keputusan, Titi akan tetap menikah." Ucap Titi dengan tegas.
Sarah membelai rambut anaknya, "Ti, kamu tidak perlu berkorban lagi sayang. Mumpung masih ada waktu. Mama tidak ingin menyesal nantinya dan melihat kamu menderita setelah menikah."
Titi menghela nafas dengan berat, lalu tersenyum, "Makasih ya ma untuk selama ini, Titi beruntung banget punya mama yang ternyata sayang banget sama, Titi. Mama tau kan kalau papa sudah membuat keputusan tidak akan bisa dibantah oleh siapapun? Termasuk Titi, ma. Titi sayang sama papa dan mama. Titi janji akan selalu membahagiakan kalian berdua. Mungkin ini salah satu caranya."
Sarah sudah tidak mampu untuk berkata-kata lagi, dia tersentuh, dia merasa menyesal mengapa selama ini dirinya tidak berusaha untuk dekat dengan Titi. Ternyata putrinya itu mempunyai hati yang sangat baik. "Mama hanya ingin kamu bahagia." Balasnya lalu kembali memeluk Titi.
"Ada apa ini?" William terlihat bingung dengan keadaan dihadapannya. Dia merasa pasti ada hal yang tidak dia ketahui, dia menatap tajam kearah istrinya. "Apa yang kamu katakan dengan Titi?" Tanyanya penuh curiga.
Seketika keduanya melepaskan pelukan, Titi merasa saat ini papanya pasti ingin memarahi mamanya, dia berjalan mendekati papanya, "Mama hanya sedih karena Titi mau menikah secepat ini, pa. Tidak ada yang lain ya kan ma?"
"Benar begitu?" ucapnya masih tidak percaya sambil terus menatap tajam istrinya.
Sarah berjalan mendekati suaminya, "Iyalah, ibu mana coba yang tidak akan sedih. Putrinya satu-satunya akhirnya akan menikah, secepat ini lagi. Rasanya masih kemarin kamu kecil, eh sekarang udah besar saja, Ti." Balasnya.
"Memang tidak ada yang tau kedepannya seperti apa, papa pun akan sangat kehilangan kamu di sini. Tapi kan kamu masih bisa sering-sering berkunjung kesini. Malam ini kita bersenang-senang diluar bertiga ya. Selama ini, papa tidak punya waktu untuk kamu bukan? sebenarnya itu bukan keinginan papa. Semoga kamu mengerti ya, Ti." Ucapnya.
Makan malam diluar, hal yang tidak pernah terjadi selama ini. mungkin ini momment kali pertama dan terakhirnya sebelum dirinya menikah. Rasa bahagia yang dirasakannya, tidak bisa dia ungkapkan lagi. Dengan penuh semangat dia mengangguk, "Iya, pa!" Jawabnya antusias.
Titi memang belum mengetahui hidupnya akan seperti apa ketika menikahi lelaki yang angkuh seperti Arya. Namun, disisi lain dia merasa sangat bahagia karena orang tuanya malah semakin mendekat dengannya. Mungkin dia merasa menikah itu sudah merupakan suratan takdirnya.