Hening.
"Kamu mendesain rumah Pak Warsito itu sepuluh tahun yang lalu. Namun konsepmu sudah sangat modern dan matang. Dengan bantuan teknologi saat ini, aku yakin, ide-idemu akan lebih berkembang. Lagi pula kamu desainer yang belum terkenal, jadi lebih murah gajinya. Itu pertimbangan utama saya mengajakmu bekerjasama." Tirta menjelaskan pertimbangannya merekrut Padma.
"Masih terlalu aneh," Padma tidak percaya.
"Yang aneh itu kamu. Kenyataan terpampang di depan matamu, tapi tidak bisa kamu lihat. Sebaliknya ilusi yang di belakangmu, mati-matian kamu percayai. Bangun, Mpeng. Bangun. Mau berapa lama lagi kamu baru sadar?" Tirta bertepuk tangan tepat di depan wajah Padma.
"Sadar? Memangnya aku pingsan apa?" Padma membelalakkan mata.
"Pertanyaan itu hanya kamu sendiri yang bisa menjawabnya. Aku tanya sekali lagi. Kamu menerima tawaran saya atau tidak? Saya tidak akan bertanya dua kali."
Terima... jangan... terima... jangan...
"Oke. Aku terima." Padma mengangguk mantap. Ia sudah sesumbar pada Dimas, bahwa Dimas hanya akan melihat kebahagiaannya. Untuk bisa berbahagia, minimal ia harus berpenghasilan bukan?
"Oke. Berarti kita sudah deal. Aku akan membawamu melihat-lihat perumahannya dulu. Dengan begitu kamu bisa mencari ide-ide untuk konsep interiornya." Tirta menghentikan kalimatnya. Ia melihat Danang datang menghampiri.
"Mbak Ma, semen-semennya sudah selesai dilansir." Danang melapor pada Padma dan Tirta. Ia lega karena akhirnya Padma bisa kembali ke toko. Dengan begitu ia bisa menjauhkan sang atasan dengan Padma dari pertengkaran yang tidak perlu.
"Suruh Pak Santo dan Pak Nurdin menunggu sebentar. Saya akan membawa Krem--Padma melihat-lihat perumahan baru." Padma mendelik mendengar Tirta nyaris menyebutnya Krempeng di hadapan Danang.
"Baik, Mas. Perlu saya siapkan mobil tidak? Atau Mas mau naik motor seperti biasa?" ujar Danang sopan.
"Tidak perlu, Nang. Kami akan jalan kaki saja. Ayo, Ma." Tirta mengedikkan kepala. Isyarat agar Padma mengikuti langkahnya.
"Tapi, Mas. Perumahannya kan agak jauh. Luas sekali lagi. Nanti Mbak Padma kecapekan," pungkas Danang ragu.
"Tidak apa-apa. Padma suka jalan kaki kok. Iya 'kan, Padma?" Tirta melirik Padma yang mengangguk ragu. Sebenarnya ia tidak yakin bisa berjalan jauh. Semenjak tubuhnya menggemuk, ia memang tidak pernah lagi berolah raga karena satu dan lain hal.
"Ya sudah, ayo kita mulai jalan. Pelan-pelan saja." Tirta berjalan pelan. Padma mengikuti langkah-langkah santai Tirta. Sepanjang jalan Padma melihat pembangunan rumah-rumah dengan berbagai tipe. Rata-rata sudah dalam taraf finishing. Setelah kurang lebih dua puluh menit berjalan, Padma mulai berbicara. Keringat telah bermanik di dahinya.
"Rumah-rumah di sini type apa saja, Mas?" Padma membiasakan diri bersikap formal. Sebentar lagi Tirta akan menjadi atasannya.
"Semua type kami punya. Mulai dari type 45, 54, 60, 70 sampai 120. Tapi khusus proyek yang akan kamu kerjakan adalah type 70 dan 120. Type-type di bawahnya rata-rata hampir sold out semua."
Itu artinya ia akan memegang proyek rumah-rumah mewah. Karena rumah dengan type 70 dan 120 itu segmentasi pasar upper class. Luasnya saja 150 meter persegi dengan dimensi 10x12 meter atau 8x15 meter.
Sejurus kemudian Padma merasakan ponsel di dalam tasnya bergetar. Setelah melihat notifikasi WA, Padma pun membukanya. Ia sontak berdecak saat membuka chat dari Wilma. Wilma adalah tetangga sebelah rumahnya. Air muka Padma keruh tatkala melihat Wilma mengirim gambar Dimas dan Puspita yang sedang shopping di butik tas ternama. Tidak berselang lama, Wilma langsung meneleponnya.
"Lo udah liat 'kan gambar yang gue kirim? Ini gue, Ririn dan Yesi lagi di mall. Terus kami nemu pemandangan beginian. Nih, Ririn mau ngomong."
"Makanya dari dulu kami semua ngajakin lo fitness, tapi lo-nya cuma dateng sesekali. Lihat 'kan akibatnya? Laki lo malah diembat sama pelakor cilik? Kenapa sih lo males banget ke gym? Gue aja lebih tua lima tahun dari lo, body gue nggak kalah sama abege belasan taun. Yesi dan Wilma juga. Nah elo. Badan lo malah lebih gemuk dari tante gue. Makanya jadi perempuan itu--"
"Gimana gue mau ikut kalian fitness kalo belum pergi aja kalian semua udah ngebully gue terus?"
Hening.
"Setiap gue fitness lo semua ngatain gue terus. Mulai dari outfit gue nggak cocoklah. Bikin kaki gue jadi nggak ada bentukan antara paha ke betis lah. p****t gue jadi nampak makin lebar dan sebagainya. Gue ini gemuk. Makanya outfit apaan pun itu nggak akan bisa bikin gue nampak langsing. Belum fitness aja mental gue udah down tau?" Padma mengeluarkan isi hati yang sudah sekian lama ia pendam. Teman-temannya ini selalu membuatnya rendah diri, dengan segala ucapan seenak jidat mereka.
"Gue minta mulai hari ini jangan ada yang memberitahu gue tentang apa pun yang mereka lakukan. Gue udah resmi cerai dari Dimas. Jadi antara gue dan dia nggak ada hubungan apa-apa lagi. Gue tutup teleponnya ya. Gue sibuk." Padma menutup ponsel geram. Ia capek terus dibully kanan kiri dengan alasan demi kebaikannya. Kebaikan apa kalau setiap kata yang keluar dari mulut-mulut mereka menyakiti hatinya.
"Ehm, ayo kita jalan lagi. Pelan-pelan saja. Matahari juga belum tinggi-tinggi amat kok. Pun sebentar lagi kita akan sampai. Atur saja napasmu. Jalannya santai saja." Suara bariton di sampingnya menyadarkan Padma. Astaga, ia sudah membuka rahasianya yang memalukan. Padma tidak menjawab. Ia malu karena aibnya sudah diketahui Tirta. Namun tak urung ia mengikuti juga langkah-langkah ringan Tirta. Sepuluh menit berlalu. Mereka akhirnya tiba di perumahan yang Tirta maksud. Syukurlah. Kalau harus berjalan lebih jauh lagi, rasanya ia tidak sanggup. Kakinya sudah tidak mau bekerjasama untuk melangkah.
"Itu perumahannya. Kita jalan dari sini saja." Tirta membawa Padma ke jalan yang baru dibuat.
"Kamu tahu tidak, kalau kita berjalan kaki setidaknya 30 menit setiap hari, akan membuat jantung kita sehat. Lewat sini." Tirta membawa Padma masuk ke dalam rumah contoh.
"Nah, kalau kita menambahnya dengan aktivitas fisik selama 150 menit entah dengan jalan cepat, bersepeda, atau menari saja, itu akan lebih baik. Jika digabungkan dengan mengonsumsi lebih banyak sayur, buah dan makanan nabati, kamu pasti bisa menjadi langsing."
"Mimpi. Mustahil aku bisa selangsing dulu," ucap Padma sedih. Ia tahu apa yang Tirta katakan mustahil bisa terwujud.
"Selangsing masa remajamu mungkin tidak. Tapi langsing sesuai usiamu, itu sangat mungkin. Aku berani mengatakan semua ini karena aku sudah membuktikannya sendiri. Ayo, kita naik tangga ini.
"Naik tangga? Aku capek, Mas." Padma keberatan. Betisnya rasanya sudah kram.
"Ayo kita naik. Pelan-pelan saja. Nanti kita istirahat di atas. Asal kamu tahu saja, setelah kamu resmi bekerja, kita akan melakukan aktivitas fisik seperti ini setiap hari." Padma ternganga. Bisa jalan ngesot dirinya lama-lama.