Aruna berlari tanpa arah yang jelas, hanya mengikuti jalan setapak yang menurun curam. Dadanya naik turun, napasnya terengah-engah. Ranting-ranting semak merobek lengannya, membuat perih, tapi ia tak peduli. Yang ada di pikirannya hanya satu: Radit. Setiap kali suara benturan terdengar dari belakang, hatinya seperti diremas. Ia ingin kembali, tapi teringat wajah Radit yang penuh ketegasan saat mendorongnya pergi. Kata-katanya masih terngiang, “Kamu harus selamat. Demi kita.” Tangannya gemetar. Air mata jatuh satu per satu, mengaburkan pandangan. Ia tak tahu seberapa jauh sudah berlari, hingga akhirnya kakinya terantuk batu dan tubuhnya terhempas ke tanah. Lututnya berdarah, tapi ia bangkit lagi, memaksa kaki untuk terus melangkah. Namun, semakin jauh ia pergi, rasa bersalah justru makin

