Alasan

2022 Words
Alisya terdiam menatap ke arah Krystal dan suaminya yang masih saja beradu kata. Setelah menginap dua hari di rumah sakit akhirnya hari ini Alisya sudah di perbolehkan pulang, tapi karena mertua dan suaminya yang masih seperti itu membuat Alisya memilih diam dan hanya memperhatikannya. "Pokoknya nggak bisa, bunda nggak percaya sama kamu." Kata Krystal sekali lagi kepada Gerald. Bukan sekali, entah sudah ke berapa kalinya Krystal mengatakan kata tidak percaya kepada putranya itu dengan tegas. "Tapi bund, kita sudah menikah, nggak mungkin kan kita harus terus tinggal sama bunda, kalau appartemen Gerald yang bikin bunda nggak percaya sama keamanan Alisya, Gerald bakal beli rumah, tapi bukan tinggal di rumah bunda." Suara bantahan dari Gerald di jawabi gelengan keras oleh Krystal, bagaimanapun juga, dirinya tak akan membiarkan menantu baiknya tinggal dengan putra br*ngseknya. "Lebih baik kita turutin bunda aja, lagian aku juga masih kurang tahu tentang kehamilan, takutnya nanti salah makan." Suara Alisya yang terdengar membuat Krystal maupun Gerald menoleh, menatap ke arah Alisya yang kini sudah berdiri dari ranjangnya, semua peralatan yang harus di bawa pulang pun sudah ia bereskan, akan sangat lama lagi kalau menunggu kedua orang itu yang membereskan. "Siapa yang nyuruh kamu beresin semuanya? Kamu lupa? Kamu baru saja di nyatakan pulih." Teriak Gerald tanpa sadar. Meskipun Alisya sedikit terkejut mendengarnya, tapi tetap saja Alisya mencoba untuk bersikap biasa, dirinya ingin memaklumi kalau itu memang sifat suaminya. Karena bagaimanapun menghilangkan kebiasaan yang sering di lakukan cukup sulit dan butuh waktu untuk prosesnya. Berbeda dengan Alisya, Krystal justru terlihat marah dengan Gerald, putranya itu benar-benar bodoh dalam memperlakukan seseorang. "Tuh kan, dia itu baru pulih kamu udah marahin dia lagi, lagian kapan Alisya bener kalau musuhnya kamu?" Balas Krystal seraya menarik putranya agar menoleh ke arahnya dengan kasar. Gerald menatap bundanya yang terlihat benar-benar marah, di banding itu, Gerald lebih memilih untuk menoleh ke arah Alisya yang masih saja menunduk, memainkan kedua tangannya seperti anak kecil. "Kalau gitu kita tinggal di rumah bunda aja." Putus Gerald seraya mendekati Alisya, mengambil tas yang berisi barang-barang yang harus di bawa pulang. "Dasar laki-laki nggak peka, gendong dong istrinya," maki Krystal saat putranya baru saja hilang di balik pintu yang sudah tertutup. Alisya tertawa melihatnya, mengingat bagaimana sifat dan sikap mertuanya ini membuat Alisya berpikir, bagiamana jalan cerita mertuanya itu? Apakah sangat bahagia? "Udah ah bund, Alisya kan nggak lumpuh, nggak perlu di gendong juga." Jawab Alisya seraya mengelus lengan mertuanya dengan pelan. "Tapi gimanapun juga kandungan kamu kan sedang lemah, harusnya suami kamu itu sadar," kesal Krystal tanpa sadar, membuat Alisya terdiam seraya menatap ke arah mertuanya dengan gemas. Pintu yang terbuka tiba-tiba membuat Krystal dan Alisya segera menoleh, menatap ke arah Gerald yang kembali dengan kursi roda yang di bawanya, tanpa basa-basi Gerald menggendong Alisya dan mendudukkannya di kursi roda. "Nggak romantis banget," cibir Krystal seraya melirik ke arah putranya yang hanya mengendikkan bahu, mengabaikan begitu saja bundanya yang entah sejak kapan sudah menjadi bunda istrinya, melupakan fakta jika dirinya lah yang anak kandung. "Nggak perlu gini kok mas," kata Alisya seraya mendongak ke atas, menatap ke arah Gerald yang ternyata juga tengah menatap ke arahnya. Kedua tatapan yang beradu cukup lama membuat Krystal tersenyum tipis, dalam hati dirinya membatin, "ada kemajuan." Krystal mengambil tas tangannya, berlalu dengan sinis dari ruangan, meninggalkan Alisya dan Gerald yang masih saja diam di tempat dengan posisi yang sama. "Udah semestinya kok, lagian kandungan kamu juga lemah, nggak baik kalau terlalu capek." Jawab Gerald seraya tersenyum tipis ke arah Alisya. Alisya pun tersenyum seraya kembali ke posisi semula, Gerald berjalan mendorong Alisya dengan pelan, ia benar-benar akan berusaha sebaik mungkin untuk manjadi seorang suami yang baik, jika dirinya tidak bisa menjadi yang terbaik maka cukup untuk menjadi yang baik. Di luar rumah sakit sudah ada mobil yang akan mereka gunakan untuk pulang, satu untuk Krystal dan satunya lagi untuk Alisya dan Gerald, bagaimanapun juga, Krystal akan terus mencoba yang terbaik untuk membiarkan putranya dan istrinya memiliki lebih banyak waktu untuk berduaan. "Di sana, kamu anterin Alisya pulang, bunda sama supir," kata Krystal seraya menunjuk ke arah mobil hitam yang sudah terparkir rapi di depan sana. "Bund, sepertinya akan lebih baik kalau Alisya bareng bunda, mau bagaimanapun juga, mas Gerald harus ke kantor kan, di sana pasti pekerjaannya jadi menumpuk gara-gara harus cuti nungguin Alisya." Kalimat yang baru saja keluar dari bibir tipis Alisya membuat Krystal dan Gerald kembali fokus pada Alisya, Gerald bertanya-tanya, apa arti pernikahan ini di mata Alisya? "Nggak papa kok, pekerjaan itu nggak penting. Lagian kan kalian pengantin baru, udah semestinya kalau Gerald ambil cuti, kalian harus pergi honeymoon juga dong," kata Krystal tak setuju dengan ajuan kalimat yang baru saja Alisya ucapkan dengan lantang. "Kalian harus segera memilih tempat yang cocok, mau luar negeri atau dalam negeri juga nggak masalah, yang pasti kalian harus pergi honeymoon." Lanjut Krystal dengan nada cerianya, dirinya benar-benar sangat semangat untuk membahas satu kata itu, bagaimanapun juga dulu dirinya tak sempat memiliki waktu untuk melakukannya. "Kenapa kita harus honeymoon? Apa yang harus kita lakukan di sana?" Pertanyaan yang terdengar dari bibir Alisya membuat Krystal menoleh cepat, melunturkan senyumannya dengan tiba-tiba, raut wajah yang mulanya ceria pun tak lagi terlihat. Krystal menatap ke arah putranya dan menantunya bergantian, firasat buruk ia rasakan begitu saja, dirinya takut jika kegagalan rumah tangganya akan turun juga ke putra dan menantunya. "Udahlah, bunda bicara apa sih, kita harus segera pulang biar Alisya bisa banyak istirahat." Kata Gerald dingin, kembali berjalan ke arah mobil yang sudah mereka persiapkan, jangan lupakan dorongan kursi roda yang masih ia lakukan untuk istrinya. Gerald mengangkat istrinya, mendudukkan istrinya di samping kemudi, lalu melipat kursi rodanya dan menaruh di bagasi mobil. Gerald menjalankan mobilnya dengan kecepatan pelan, di pikirannya terus saja terputar pertanyaan dari Alisya tadi. "Di mata kamu apa arti pernikahan ini?" Tanya Gerald pelan, tak sedikitpun menoleh ke arah Alisya. Hening. Suasana hening di dalam mobil membuat Alisya tak nyaman, tak ada suara radio atau musik yang terdengar, yang terdengar di telinganya adalah putaran pertanyaan yang baru saja di katakan suaminya. Bukankah sudah jelas? Kenapa suaminya harus bertanya hal yang sudah di mengerti? Apa pertanyaan itu di gunakan suaminya untuk memperingatkan dirinya jika ini bukanlah pernikahan sungguhan. Mau bagaimana pun, Alisya sudah tahu jelas tentang itu, dan suaminya tak perlu memperingatkannya. "Pernikahan?" Gumam Alisya pelan, ia tak ingin menoleh ke arah suaminya dan menunjukkan jenis pernikahan apa yang ia bayangkan selama hidupnya. "Kalau nggak mau jawab, nggak usah..." "Aku nggak menganggap pernikahan ini sungguhan kok, mas Gerald santai saja." Potong Alisya begitu saja, menoleh ke arah Gerald dengan senyuman lebar yang entah kenapa membuat Gerald merasa tidak nyaman. Gerald terkejut saat mendengarnya, di saat dirinya sudah bertekad untuk menjadi suami yang baik, tapi istrinya tak menganggap pernikahan ini. "Kenapa berpikir seperti itu?" Tanya Gerald begitu saja, mau bagaimana pun jawabannya, dirinya benar-benar penasaran kenapa istrinya menganggap pernikahan yang ia pikir akan berusaha sebaik mungkin, tapi malah seperti itu di mata istrinya. "Mau bagaimanapun pernikahan yang terjadi di keluarga terpandang seperti mas Gerald itu nggak mungkin," jawab Alisya seraya menoleh ke arah Gerald, masih dengan senyumannya. "Tidak mungkinnya itu karena pernikahan yang terjadi itu adalah politik yang saling menguntungkan," lanjut Alisya lagi, seraya memikirkan apa yang ia ketahui tentang pernikahan seperti itu di kalangan atas. "Orang kaya tak pernah berpikir tentang pernikahan dengan Cinta sebagai landasan utamanya, yang mereka pikirkan adalah keuntungan yang akan mereka dapatkan dari pernikahan itu, beserta gabungnya dua perusahaan yang akan menjadi lebih besar." Lanjut Alisya yang berhasil membuat Gerald menoleh, memelankan laju mobilnya, entah kenapa, yang pasti dirinya benar-benar penasaran dengan kelanjutan cerita itu. "Apalagi pernikahan kita yang terjadi karena kesalahan," lanjut Alisya yang berhasil membuat Gerald menginjak rem mobilnya tiba-tiba. Suara klakson mobil dari belakang yang saling bersahutan-sahutan membuat Alisya segera menepuk lengan Gerald, menyadarkan laki-laki itu dari tatapannya yang di arahkan kepadanya. Gerald yang tersadar pun segera melepas injakan kakinya, melakukan kembali mobilnya dengan kecepatan pelan. "Kesalahan?" Pertanyaan dari Gerald membuat Alisya tersenyum, laki-laki itu benar-benar ingin memperlihatkan posisi apa yang pantas untuk dirinya. "Tentu saja. Dari awal, kota menikah karena kesalahan yang membuahkan hasil, jika saja aku tidak hamil pernikahan ini tak akan pernah terjadi." Lanjut Alisya menjelaskan. Gerald menelan ludahnya kasar, memperlihatkan tengkuknya yang bergerak ke bawah seiring berjalannya ludah yang baru saja di telannya. Apa benar pernikahan ini terjadi karena kesalahan? Dari awal Gerald tak pernah terpikirkan hal seperti itu, tapi tak bisa ia pungkiri jika ia memutuskan untuk menikahi wanita di sampingnya karena tahu wanita itu tengah mengandung karena perbuatan bejatnya. "Selain itu, tingkatan kita berbeda, akan sangat tidak memungkinkan untuk kita akan menikah tanpa adanya kesalahan itu, ibaratnya kamu yang berdiri atas sana, dan aku yang berdiri di jalanan, kamu yang memberi dan aku yang meminta." Lanjut Alisya lagi seraya menunjuk ke arah dua orang yang berdiri di samping jalan, satunya seorang pengemis dan satunya lagi seseorang yang memberikan bantuan. Gerald terdiam cukup lama, mencerna dengan baik-baik apa yang baru saja di katakan istrinya, tadi sebelum tahu perbedaan itu, dirinya benar-benar penasaran tapi saat wanita itu menjelaskan perbedaan seperti itu, membuat Gerald tahu, kenapa wanita itu berpikir seperti itu tentang pernikahan mereka. Di dalam hati Gerald ingin menyangkalnya, dirinya benar-benar tak pernah memikirkan hal itu selama ini, baginya semua orang itu sama, kecuali saat ada di gedung tinggi dengan posisi masing-masing. Gerald tersenyum tipis, setidaknya wanita itu tidak membenci dirinya. "Mas Gerald tidak perlu khawatir, saya tidak akan menuntut apapun saat kamu menceraikan ku nanti," lanjut Alisya lagi seraya menatap ke arah Gerald. Mau bagaimanapun dirinya tak pernah berharap akan berhasil seperti seorang Cinderella, karena nyatanya dirinya tetaplah dirinya, tak akan pernah berubah menjadi orang lain. "Kamu bilang seperti itu karena kamu belum tahu cerita tentang pendahulu keluarga bunda kan?" Tanya Gerald seraya menghentikan laju mobilnya di depan sebuah rumah mewah yang beberapa hari lalu menjadi tempat pernikahannya. "Tetua keluarga bunda tak pernah melakukan pernikahan politik, mereka menikah karena cinta, entah itu dari sesama bangsawan maupun rakyat biasa." Lanjut Gerald seraya menoleh ke arah Alisya dengan tersenyum tipis, senyuman pertama yang Alisya lihat tanpa ada hawa dingin dari sekitar tubuh laki-laki yang sudah menjadi suaminya. Alisya duduk di kursi roda dengan tenang, Gerald pun masih setia dengan mendorong kursi roda itu dengan tenang, perbincangan tadi diakhiri dengan diamnya Alisya yang terlihat bingung, tentu saja Alisya tak tahu tentang semua itu. "Bunda dan Ayah sama-sama kaya." Cicit Alisya pelan, membuat Gerald tersenyum mendengarnya. "Nenek Netta punya HotResta, kakek juga punya perusahaan," gumam Alisya lagi tanpa sadar. Mau di pikir sampai mana pun, Alisya tak akan pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi, hidup wanita itu terlalu malang, sekolah sambil bekerja sambilan dan harus menguras otaknya yang tak seberapa itu untuk memikirkannya pun tak akan pernah tahu kisah aslinya. "Selamat datang ke rumah," kata Gerald pelan seraya melihat ke arah Alisya yang juga mendongak menatapnya. "Terima kasih," jawab Alisya seraya ingin berdiri dari duduknya. "Bentar, kita nyalain lilin selamat datang dulu dong, biar kak Alisya betah tinggal di sini." Kata Tasya yang tiba-tiba muncul dengan kue yang ada di tangannya. Alisya tersenyum melihatnya, baginya keluarga ini benar-benar terlalu baik dalam memperlakukan orang rendahan seperti dirinya. "Huft," tiup Alisya cepat saat lilin baru saja menyala karena api yang di buat oleh Tasya. "Ish, kan belum do'a." Gerutu Tasya kesal. "Semoga Alisya betah tinggal di sini, Aamiin." Kata Alisya langsung seraya menutup matanya. "Do'a yang seperti itu akan mudah untuk di lupakan." Kata Gerald ikut tak setuju dengan apa yang dilakukan istrinya. "Mau apapun do'a dan caranya, asal kota tulus pasti akan di ijabah." Balas Alisya tak mau kalah. "Sayang kak Alisya." Kata Tasya seraya berlalu memeluk Alisya dengan sayang. Gerald tersenyum melihatnya, dirinya berdo'a jika alasan Alisya tidak betah itu karena adanya dirinya, maka dirinya memohon biarkan Alisya terus tinggal karena adik serta bundanya, dan anak kita nanti. Untuk hari ini, Alisya merasa lebih baik, suaminya pun bersikap baik padanya, perbincangan yang terus terjadi di dalam mobil benar-benar terasa nyaman, Alisya bahkan tak pernah membayangkan akan merasakan kenyamanan yang seperti itu saat ada bersama pak bosnya yang dingin itu. Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD