Perkenalan

1356 Words
“Tumben kamu ngajak makan di luar. Kamu juga menyewa ruangan pribadi. Sepertinya ada acara penting,” ujar Alan setelah memastikan Rosie duduk dengan nyaman. Setelah itu, dia sendiri duduk di depannya. Wajahnya terlihat bahagia. Senyumnya lebar dan tidak ditutupi. “Apa ada acara khusus? Kakakmu minta ketemu, mungkin?” lanjutnya. Rosie hanya tersenyum. “Kamu akan tahu sebentar lagi,” jawabnya tanpa ingin menjelaskan lebih lanjut. “Apakah pesanannya bisa diantar sekarang?” tanya seorang pelayan yang bertugas melayani mereka dengan sopan. Rosie mengangkat tangannya. “Tidak, jangan dulu. Kami masih menunggu seorang tamu.” “Baik.” Alan mengamati suasana restoran dari jendela. Mejanya hampir penuh, tapi suasananya sama sekali tetap tenang dan nyaman. Lukisan-lukisan besar digantung. Lampu-lampunya tinggi dan terbuat dari kristal. Dan juga, seragam pelayannya tampak berkelas. “Sayang, restoran ini sepertinya mahal. Kamu yakin mau makan di sini?” “Iya, tidak apa-apa. Aku ingin sesekali mengajakmu makan di tempat seperti ini.” Alan menghela nafas. “Aku akan bekerja keras agar bisa sering mentraktirmu di sini.” Senyumnya menghilang dan dia tampak sangat serius. Kedua tangannya menggenggam erat tangan Rosie. Rosie pun tertawa. “Sayang, aku bahagia apapun keadaanmu. Dengan suami yang perhatian dan pekerja keras, aku sudah sangat puas.” Tepat saat itu, pintu dibuka. Rosie dan Alan sontak menoleh. Di sana, berdiri seorang wanita cantik dengan dress selutut dengan aksen bunga kecil-kecil, membuatnya tampak anggun sekaligus rapuh. Mata Alan berkilat dan jakunnya bergerak-gerak. Namun, dia segera menguasai diri. “Maaf, apa aku mengganggu?” Lala bertanya canggung. Rosie menarik tangannya. Bibirnya menampilkan senyum yang ramah. “Tidak, tentu saja tidak. Masuk saja.” Rosie berdiri diikuti oleh Alan. “Lala, ini suamiku Alan. Sayang, ini Lala, temanku yang aku ceritakan.” Alan dan Lala bersalaman. Baru saja tangan mereka bersentuhan, Alan segera menariknya. Wajahnya tampak tegang dan senyumnya kaku. Begitu juga dengan Lala. Perempuan itu juga terlihat canggung. Rosie melihatnya, tapi dia hanya mengira jika Alan hanya masih belum terbiasa dengan perempuan lain. Dia sama sekali tidak menyangka jika dua orang itu hanya berakting. “Ayo duduk!” Setelah itu, Rosie menekan bel dan meminta pelayan untuk menghidangkan makanan. “Aku sengaja mengajak kalian berdua kemari untuk bisa berkenalan. Bagaimanapun juga, kalian harus saling mengenal sebelum menikah.” “Rosie…” Alan mengangkat kepalanya, menatap Rosie seolah keberatan. “Tidak apa-apa.” Rosie tersenyum. “Keputusanku sudah bulat. Karena kondisiku sendiri yang tidak memungkinkan, maka aku melakukan ini. Kamu jangan merasa terbebani. Lagi pula, aku hanya setuju kalau kamu menikahi Lala, bukan yang lain. Jadi, ini memang solusi terbaik untuk kita. Bagaimana menurutmu, La?” Lala yang sejak tadi hanya menunduk, kini mengangkat wajahnya. Setelah menghela nafas, dia berkata, “Kamu tahu sendiri bagaimana kondisiku dulu. Kamu tahu bagaimana mantan suamiku memperlakukan aku. Dan aku percaya kamu tidak akan membuatku mengalami hal buruk itu lagi.” Lala melirik Alan sekilas sebelum kembali menunduk. Rosie tersenyum puas, lalu menatap suaminya. “Lihat! Aku mencarikan perempuan yang baik, sopan, dan lembut untukmu. Aku tidak akan salah memilih. Kita saling cocok. Dan aku berharap kita bertiga bisa berbahagia.” Alan hanya menghela nafas, tanpa banyak berkomentar. Dia terlihat pasrah dengan keputusan sang istri. Kedatangan pelayan membuat percakapan mereka berhenti. Setelah semua makanan dihidangkan, mereka pun mulai menyantapnya. “Aku masih ingat kamu menyukai makanan pedas. Tapi maaf, aku tidak memesannya kali ini. Aku ingin tubuhmu benar-benar siap untuk menerima kehidupan baru.” Rosie menatap Lala dengan rasa bersalah. Lala tersenyum lebar. “Tidak apa-apa. Ini sudah cukup.” Dalam hati, dia tertawa lebar. Untung saja tidak ada makanan pedas. Jika tidak, dia tidak tahu bagaimana harus menolaknya. Dia sedang hamil. Tidak mungkin memakan sesuatu yang bisa membuat perutnya panas. Dia sungguh beruntung. “Lala ini temanku di rumah sakit, Sayang. Dulu, dia pernah menikah dan mengalami KDRT. Suaminya suka marah dan memukulnya. Terakhir, dia mengalami luka parah hingga matanya terluka. Syukurlah sekarang dia sudah sehat dan berpisah dari suaminya.” Rosie mulai menerangkan siapa Lala kepada Alan. “Dengan sifatmu, aku yakin kamu bisa melindunginya, melindungi ku,” sambungnya. Alan menatap istrinya dengan tatapan rumit, lalu beralih kepada Lala. Perlahan, dia mengangguk. “Aku akan berusaha yang terbaik.” “Sayang, makanlah yang banyak. Beberapa hari ini, kamu hanya memakan roti.” Alan meletakkan beberapa potong daging di atas piring Rosie. “Terima kasih.” Rosie menerimanya dengan senyuman. “Kamu juga harus makan yang banyak. Jangan sampai sakit.” “Tentu. Aku akan menjaga diriku agar bisa merawatmu.” Alan mengelus rambut Rosie, lembut dan penuh perhatian. Kaila, di depan mereka, hanya bisa melihat dan menahan diri, memasang senyuman termanis yang dia bisa. “Rosie, dengan suami lembut seperti ini, apa kamu yakin dengan idemu ini?” “Tentu saja, kenapa tidak?” Rosie lalu menoleh ke arah Alan, menatapnya dengan lembut, lalu menggenggam tangannya. “Karena suamiku sangat baik, aku tidak tega membiarkannya menderita karena aku. Oleh karena itu, aku memintamu untuk menjadi istrinya. Apa kamu keberatan?” Kaila berpura-pura ragu, menatap nanar ke arah Rosie dan Alan bergantian. “Kami tidak akan memaksa jika kamu tidak nyaman.” Alan menyahut. Tatapannya datar seolah dia tidak membutuhkan Kaila, namun dalam hati, dia tertawa menyadari kemampuan beraktingnya. “Aku…” Kaila tidak tahu harus menjawab apa. “La, kita akan menjalaninya perlahan. Semua akan baik-baik saja dan semua orang akhirnya akan bahagia,” sahut Rosie. Tentu saja Kaila setuju. Dia sudah mencintai Alan dan bahkan sedang mengandung anaknya, tapi tidak mungkin dia menjawabnya dengan lugas. Jadi, dia memilih untuk mengangguk pelan Rosie tersenyum lebar mendengarnya. Senyuman sangat lebar untuk menutupi dadanya yang sesak. Siapa yang sanggup berbagi suami? Siapa yang bisa melihat suaminya menggandeng wanita lain? Rosie tidak sekuat itu. Tapi, dia tidak punya banyak pilihan. Rosie menyelesaikan makannya dengan cepat, lalu bergegas pamit ke toilet. Rosie membasuh wajahnya beberapa kali. Saat mendongak, dia bisa melihat wajahnya yang kurus dan tirus, juga matanya yang lelah. Dia bahkan bisa melihat tulang selangkanya yang terlihat menakutkan di sela-sela kerah bajunya. Perempuan itu menghela nafas melihat penampilannya yang menyedihkan. Keluar dari toilet, Rosie tidak langsung kembali ke ruangannya. Kakinya yang kurus dan panjang melangkah menuju balkon. Angin malam bertiup menyapanya, mengibarkan rambutnya, mengirim rasa dingin di kulitnya. Tiba-tiba, rasa gatal menggerogoti tenggorokannya, menyebabkan batuk hebat. “Uhuk! Uhuk!!” Wajah Rosie memerah. Air mata memenuhi sudut matanya. Otot-otot tenggorokannya menegang. Sakit, tenggorokannya seakan disayat setiap kali dia batuk. Belum lagi dadanya yang mendadak sesak. Rosie sampai membungkuk untuk meringankan sakit tenggorokan dan dadanya. Ya Tuhan, sampai kapan dia begini? “Minum dulu.” Tiba-tiba saja, sebuah botol berisi air mineral berada di depan wajahnya. Rosie melirik di sela-sela batuk. Seorang pria tinggi dengan mata cokelat yang indah, namun kosong menatapnya. Tanpa ragu, Rosie mengambil botol tersebut dan meminumnya. Batuk pun reda. Perlahan, Rosie mengambil nafas panjang untuk mengisi paru-parunya. “Terima kasih,” ucap Rosie. Suaranya terdengar serak dan lelah. “Jangan terlalu lama di balkon. Angin malam bisa membuat batukmu kambuh. Lebih berhati-hatilah.” “Iya, sekali lagi, terima kasih.” Rosie tersenyum sopan, lalu berbalik. Saat hendak melewati pintu balkon, dia berbalik. “Saya belum mengenal nama Anda.” Pria tinggi dengan mata cokelat itu menoleh. Tatapannya terpaku pada wajah Rosie yang kurus dan tirus. Setelah beberapa saat, dia menjawab, “Dion. Namaku Dion.” “Terima kasih, Pak Dion. Saya Rosie.” “Aku tahu,” jawab Dion singkat lalu berbalik dan menjauh lebih dulu, menyisakan Rosie yang tertegun. “Apa aku pernah mengenalnya? Tapi, sepertinya tidak.” Karena merasa pria itu tidak berbahaya, Rosie memutuskan untuk kembali ke ruangannya sebelum batuk kembali menyerangnya. Hanya beberapa langkah dari pintu ruangannya, tiba-tiba pintu terbuka dan seorang pelayan keluar dengan membawa nampan. Dia tersenyum sementara Rosie mengernyit. “Maaf, apakah ada pesanan yang salah di ruangan itu? Kebetulan, saya yang memesannya tadi.” “Oh, tidak ada, Nyonya. Hanya saja, nona muda tadi meminta tambahan menu untuk orang hamil.” “Hamil?” “Benar, Nyonya. Permisi.” Merasa tugasnya selesai, pelayan itupun pergi. Pikiran Rosie tidak tenang. Apakah dalam beberapa menit ini, Lala dan Alan sudah begitu dekat sampai membahas kehamilan? Bukannya Rosie tidak suka, ini fantastis! tapi ini terlalu,,, tiba-tiba.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD