Pagi itu, Rosie bangun dengan semangat. Banyak rencana yang sudah tersusun rapi di benaknya. Kemarin, dia mendapat kiriman termos yang dia beli beberapa hari lalu. Mary menatapnya penuh curiga, tapi Rosie sama sekali tidak peduli.
“Kakakku memang cukup perhatian. Kamu tidak perlu repot menyiapkan isi termosnya. Lihat! Dia juga mengirim alat memasak air portable untuk memudahkan aku.”
Rosie tersenyum lebar, lalu menyimpan semua barangnya di dalam kamar. Dia sudah kehilangan kepercayaan kepada para pelayan di rumah. Dan pagi ini, dengan bersenandung, Rosie mulai merebus air dan menyimpannya di dalam termos saat sudah mendidih.
“Kamu sepertinya sedang berbahagia.” Pintu kamar tiba-tiba terbuka dan Alan masuk sambil menyimpan ponsel di sakunya.
“Kamu belum berangkat?” Rosie refleks melihat jam.
“Masih ada setengah jam lagi. Aku mau mengajakmu sarapan.”
“Oke, aku akan menyimpan ini dulu.”
Setelah membereskan mejanya, mereka berdua pun keluar. Sesekali, Rosie melirik Alan. Ada banyak pertanyaan berkecamuk dalam hatinya terutama perihal rencana kehamilan Lala yang dia dengar semalam. Namun, hingga di meja makan, tidak ada kata yang keluar dari mulutnya. Rosie percaya kepada suami dan sahabatnya.
“Sayang, setelah aku pikir-pikir, kenapa kita tidak memajukan tanggal pernikahanmu?” tanya Rosie di sela-sela sarapan.
Tangan Alan berhenti bergerak. Sejak semalam, dirinya dan Lala sudah membahas tentang ini. Namun, dia masih memikirkan alasan yang tepat yang tidak membuat istrinya curiga. Siapa sangka ternyata nasib baik berpihak padanya?
Alan sontak menelan makanannya. “Apa kamu yakin?”
“Ya, tentu saja.”
Rosie sudah memikirkannya matang-matang. Sejak tahu jika Alan dan Lala ternyata cocok dan segera ingin memiliki momongan, Rosie pikir tidak ada salahnya jika rencana pernikahan ini dimajukan.
“Bagaimana kalau bulan depan?”
Alan terbatuk. “Bulan depan?” tanyanya dengan tidak percaya.
Rosie mengangguk. “Semakin cepat kalian menikah, aku bisa semakin cepat fokus dengan kesehatanku. Lagi pula, aku tidak ingin membiarkanmu menunggu lebih lama.”
Alan menatap istrinya tanpa kedip. Terkadang, dia merasa takjub dengan kemandirian dan kecerdasan sang istri.
Namun dalam hal ini, kenapa Rosie seperti orang bodoh?
‘Apa dia begitu mencintaiku jadi tidak berpikir panjang dan percaya begitu saja? Dia pasti memiliki perasaan dalam untukku.’
Alan berdehem sebentar, menyesuaikan posisi duduknya, lalu berkata, “Aku percayakan saja semuanya padamu.”
“Bagus sekali!” Rosie berteriak kegirangan. Wajahnya tersenyum cerah. Namun, jika saja Alan melihat lebih dekat, dia pasti bisa melihat kesedihan di balik semua itu.
Selesai sarapan, Alan pergi ke ruang kerja untuk mengambil tasnya sementara Rosie hendak ke perpustakaan.
Tiba-tiba, dia mendengar jeritan Rosie. Gegas, dia berlari keluar dan mendapati istrinya itu berdiri dengan tubuh gemetar. Di depannya, Mary terpaku dengan wajah terkejut dan tegang.
“Apa yang terjadi?” Alan mendekat dan menyadari jika lantainya basah. Termos, gelas, dan piring pecah, berserakan di atas lantai.
“Sa-saya tidak sengaja…” Wajah Mary pucat dan bibirnya bergetar.
“Tidak apa-apa. Tidak apa-apa, Mary. Ini bukan salahmu. Aku hanya terkejut karena tersiram air panas jadi aku berteriak sekeras itu.” Rosie memaksa bibirnya untuk tersenyum.
Saat itulah Alan menyadari jika tangan Rosie tampak merah dan melepuh. Pantas saja dia menjerit sekencang itu. Siapa yang tidak kesakitan tersiram air panas?
“Apa??? Mary, apa yang sudah kamu lakukan pada istriku???” Alan mendekat dengan wajah merah padam. Tanpa berpikir panjang, Alan mendorong pelayan itu menjauh dari Rosie, lalu berdiri di sampingnya untuk membelanya.
Mary terhuyung. Beruntung dia memakai sepatu datar. Jika tidak, bisa dipastikan dirinya akan jatuh jika memakai sepatu tinggi.
“Tuan! Tuan, maafkan saya. Saya sungguh tidak sengaja. Saya sudah berhati-hati..” Wajahnya bertambah pucat dan matanya bergerak-gerak penuh ketakutan.
“Berhati-hati tapi sampai nampanmu jatuh dan melukai istriku?? Sepertinya, definisi berhati-hati milikmu berbeda dengan standar ku.”
“Sayang, jangan memarahi Mary seperti itu.” Rosie berusaha memeluk lengan Alan. Namun, baru saja dia mengangkat tangannya, dia sudah kesakitan.
“Aduh!” Rosie mengerang. Dia menggigit bibirnya untuk menahan rasa sakit.
Melihat istrinya kesakitan, Alan jadi tidak tega. “Kamu tidak apa-apa?”
Alan mendekat, mencoba memegang tangan Rosie. Saat itulah, dia menyadari jika wajah istrinya itu dipenuhi dengan keringat.
‘Dia pasti sangat kesakitan.’
Alan merasa hatinya teriris melihat istrinya yang sakit-sakitan kini bertambah sakit karena air panas yang dibawa Mary.
“Tuan, sungguh saya tidak sengaja. Saya hanya ingin membawa air hangat ke dalam kamar, tapi nyonya menolak. Entah bagaimana tiba-tiba nampan saya terbalik. Termos nya jatuh. Air jahe panas mengenai tangan nyonya. Dan…”
“Air jahe panas???” Wajah Alan semakin memerah. Dia tidak bisa membayangkan air panas dengan gula dan jahe mengenai tangan Rosie yang tipis dan kurus ini. Istrinya bisa dipastikan sangat menderita!
“Sayang, jangan marah seperti itu. Sudah ya. Anggap saja ini nasib sialku.”
Alan menoleh. Matanya yang dipenuhi amarah sontak melembut saat menatap istrinya. “Kamu terlalu baik, Rosie. Apa kamu tidak tahu jika jahe sendiri bersifat panas? Lihat tanganmu!”
Rosie menunduk. Tangannya memang berwarna merah. Rasanya sungguh sakit. Tanpa sadar, Rosie meringis.
Tatapan Alan kembali kepada Mary. Telunjuknya terarah kepada pelayan satu itu. “Aku tidak mau tahu, kamu harus pergi dari rumah ini! Aku tidak ingin mempekerjakan pelayan bodoh yang bahkan tidak becus membawa nampan. Pergi!!”
Suara Alan menggelegar. Wajahnya teguh dan tidak bisa diganggu gugat. Keputusannya sudah bulat.
Alan lalu menunjuk seorang tukang kebun dan petugas keamanan yang kebetulan melihat kejadian ini, lalu berkata, “Kalian, seret dia keluar!”
Kedua pria itu sontak berjalan mendekati Mary dan menyeretnya dengan paksa.
“Tidak, tidak! Tuan, percayalah padaku! Aku tidak bersalah. Nyonya, nyonya tolong aku. Aku adalah pelayanmu. Nyonya…” Mary menjerit sampai suaranya mengecil dan akhirnya menghilang.
Rosie tersentak. Dia tidak menyangka Alan memecat Mary dengan tidak terhormat seperti ini.
Sebenarnya, kejadian ini memang bukan salah Mary. Sejak beberapa hari ini, dia memang memikirkan cara untuk menyingkirkan Mary. Dia sudah lelah bermain kucing-kucingan dengan pelayan satu itu.
Tadi, Rosie sengaja menyenggol nampan itu, merancang kecelakaan untuk dirinya sendiri di saat Alan masih berada di rumah. Lalu, dia akan membiarkan Alan memberikan hukuman untuk Mary. Setelah itu, dia akan mengusulkan pelayan lain untuknya. Tidak disangka Alan langsung mencarinya tanpa ampun.
Dalam hati, Rosie tertawa lega. Dengan begini, hilang sudah satu kecoa di dalam rumahnya.
“Siapkan mobil! Kita ke rumah sakit.” Alan meraih tubuh Rosie dan hendak menggendongnya. Namun, Rosie refleks menjauh. Entahlah, semenjak mengetahui hubungan alam dan Lala, Rosie seakan alergi jika bersentuhan dan terlalu dekat dengan mereka.
“Tidak perlu. Ada obat salep di sini. Aku obati di rumah saja. Kamu tidak perlu khawatir.”
“Tapi tanganmu…”
“Alan, kalau kamu khawatir, panggil saja dokter kemari. Aku lelah berurusan dengan rumah sakit terus-menerus.” Rosie memasang wajah sendu. Selain memang dia malas ke rumah sakit, dia juga sebisa mungkin menghindari suaminya. Berada di dekat suaminya sungguh membuatnya tidak tahan.
Luka di tangannya ini, Rosie sebelumnya sudah menyiapkan obat. Tidak mungkin dia berperang tanpa membawa senjata, bukan?
“Baiklah kalau itu maumu. Ayo duduk dulu. Aku akan memanggil dokter.”
Rosie menurut saja. Dia duduk, lalu meminta seorang pelayan mengambilkan kotak obat di kamarnya.
Dokter datang tidak lama kemudian. Melihat obat yang ada, dia tidak mempermasalahkan sama sekali.
“Kalau begitu, saya akan meresepkan vitamin dan mineral agar kesembuhannya semakin cepat.” Dia menyerahkan secarik kertas kepada Alan, lalu pamit.
Setelah menyuruh sopir memberikan obat dalam resep, Alan kembali menemui istrinya.
“Bagaimana? Sudah lebih baik?”
“Iya, terima kasih. Kamu memang yang terbaik.” Rosie tersenyum lembut kepada Alan.
Suasana di rumah cukup tegang. Tidak sedikit karyawan yang melihat insiden pagi ini. Rosie bisa melihat beberapa orang merasa iba dan yang lain merasa lega.
Mary memang terkesan arogan kepada pelayan lain. Rosie bisa melihat itu. Mungkin karena dia dipilih langsung oleh Hilda, jadi dia merasa di atas angin. Tapi itu dulu.
Mary telah disingkirkan. Kini saatnya Rosie memikirkan cara untuk menyingkirkan koki kecoa itu juga. Dia sudah dibodohi selama bertahun-tahun. Tidak mungkin Rosie akan tetap membiarkan itu terjadi. Secepatnya!