Madu atau Racun

1375 Words
“Hai, La! Maaf ya, mengajakmu bertemu mendadak. Sudah lama?” Rosie menyalami, lalu menempelkan pipinya pada salah satu teman wanitanya itu sebelum duduk di depannya. “Tidak kok, aku baru datang. Aku juga belum memesan apapun.” Lala menyambut tangan Rosie dengan senyum lebar. “Duduklah, sengaja aku memilih tempat agak dalam agar lebih nyaman berbincang denganmu. Aku harap kamu tidak keberatan.” “Tentu saja tidak. Ayo kita pesan dulu!” Rosie mengangkat tangannya dan seorang pelayan datang. Setelah mencatat pesanan kedua perempuan itu, dia kembali ke dapur. “Matamu tampak menakjubkan. Indah sekali. Operasimu berhasil ya.” Rosie memperhatikan mata Lala yang memang tampak indah. “Ini pertama kalinya aku lihat matamu. Ternyata memang cantik. Pantas saja mantan suamimu itu tidak mau melepasmu.” Lala tersenyum kecut. “Tidak mau melepas, tapi aku disakiti terus. Siapa yang mau hidup dengan laki-laki seperti itu?” Rosie mengangguk. Mereka memang bertemu di rumah sakit. Sama-sama pasien. Bedanya, Rosie mengantri di poli penyakit dalam sedangkan Lala di poli mata. Letak poli yang berdekatan menyebabkan mereka sering berinteraksi. Awalnya, hanya sekedar basa-basi dan kenalan. Lambat laun, mereka bertukar kontak. Meskipun tidak pernah intens berkirim pesan, tapi diam-diam, Rosie memperhatikan story yang dibagikan Lala, dan begitu juga sebaliknya. Lala adalah seorang perempuan yang baik dan sopan. Penampilannya sederhana juga anggun padahal dia termasuk putri keluarga berada. Senyumnya manis dan enak dilihat. Selain itu, Rosie merasa mereka cocok berteman. Itu sebabnya, nama Lala muncul saat dia memikirkan adik madunya. Selain itu, Rosie merasa suaminya akan menyukai Lala. “Aku sudah lama tidak melihatmu. Sepertinya kamu sudah tidak perlu kontrol setelah operasi waktu itu,” ucap Rosie di sela-sela menikmati teh wangi hangat yang dia pesan. “Ya, aku bersyukur bertemu dokter yang baik dan cekatan. Mataku akhirnya bisa berfungsi kembali dengan normal,” jawab Lala setelah menelan salad. “Syukurlah.” “Kamu sendiri bagaimana?” Lala meletakkan sendoknya dan menatap Rosie. Rosie tersenyum tipis. “Ya, masih begini saja.” Lala menghela nafas. Diraihnya tangan Rosie lalu menggenggamnya erat. “Jangan khawatir, kamu pasti bisa sehat lagi.” “Terima kasih.” Rosie menunduk. Jantungnya berdebar sedikit kencang, merasa jika ini adalah saat yang tepat untuk menanyakan kesediaan Lala. “Setelah ini, apa rencanamu?” “Entahlah, Kak. Mungkin aku ingin fokus dengan diriku dulu. Kamu tahu ‘kan, suamiku dulu seperti apa. Rasa-rasanya, aku trauma berdekatan dengan seorang pria.” Lala terkekeh, tapi Rosie tahu kalau hatinya penuh luka. “Mantan suamimu itu memang bukan orang baik.” “Ralat, Kak. Dia baik, hanya saja,,,,,, posesif.” “Posesif yang menakutkan. Ke mana-mana harus lapor. Setiap pindah tempat harus memberi kabar. Kalau lupa sedikit langsung curiga, marah dan main pukul. Itu yang kamu sebut baik?” Rosie mendengkus. Lala kembali terkekeh. Saat itu, tubuhnya memang dipenuhi dengan lebam-lebam karena keposesifan tunangannya. Suatu saat, mereka bertengkar hebat dan membuat mata Lala terluka parah dan ditinggalkan begitu saja. Untung saja dia tiba di rumah sakit tepat waktu. Jika tidak, Rosie tidak tahu apakah Lala masih bisa melihat. Rosie yang terbiasa dimanjakan oleh Alan. Mendengar cerita Lala yang mengharukan membuatnya iba. Ditambah dengan sifat-sifatnya yang positif, Rosie memberanikan diri melamar Lala untuk suaminya. “Apa kakak yakin?” Lala menatap Rosie dengan tatapan heran, terkejut, dan tidak percaya. “Kenapa harus ragu?” Rosie menyingkirkan piringnya yang sudah kosong. Dia melipat kedua tangannya di atas meja dan menatap Lala dengan serius. “Aku yakin dengan setiap kata yang aku ucapkan. Kamu sendiri tahu kondisiku. Aku kesulitan membahagiakan suamiku. Jadi, aku mengajakmu bertemu sekarang untuk menanyakan hal ini. Apa kamu bersedia menjadi adik maduku dan bersama-sama membahagiakan Alan?” “Kak, ini….” Rosie mengulurkan tangannya, menggenggam tangan Lala untuk meyakinkan perempuan itu. “Kamu tidak harus menjawabnya sekarang. Aku tahu kamu perlu berdiskusi dengan kedua orang tuamu. Kalau dari aku sendiri, aku siap. Alan juga siap. Bahkan mama mertuaku sudah sangat siap. Kami hanya menunggu jawabanmu. Kalau kamu setuju, tidak sampai enam bulan, pesta akan diadakan. Tidak perlu khawatir, kamu tetap akan mendapatkan pesta besar, dan menikah dengan sah; baik negara maupun agama. Aku tidak akan mengurangi sedikitpun hak-hakmu. Pikirkan dengan baik.” Rosie tersenyum lebar, tapi siapapun bisa melihat ada rasa sakit terselip di sana. “Aku pamit dulu. Kabari aku apapun jawabanmu. Oke?” Setelah itu, Rosie berdiri dan berjalan keluar. Tubuhnya yang kurus dan tipis terlihat begitu rapuh. Namun hatinya yakin dan mantap dengan isi pertemuannya siang ini. Dia berdoa semoga Lala setuju dengan lamarannya. Di masa depan, hanya perempuan itu yang bisa menjadi temannya. Ya, meskipun hatinya berat berbagi suami, tapi dia juga membutuhkan seseorang agar bisa bertahan melawan Hilda dan para pesuruhnya. Lala menatap kepergian Rosie dengan tatapan yang dalam dan penuh arti. Setelah punggung kurus itu menghilang, Lala mengeluarkan ponselnya dan mengirim pesan pada seseorang. Tidak lama kemudian, seorang pria tampan datang menghampirinya, mencium mesra pipinya, lalu duduk di sampingnya. “Bagaimana?” tanya Alan tidak sabar. “Ternyata istrimu itu memang bodoh ya, Mas.” Lala tertawa renyah. Satu tangannya menutup mulutnya agar tawanya tidak pecah. “Bisa-bisanya dia melamar aku agar bisa menikah denganmu. Apa dia begitu putus asa?” “Ck, jangan bicara begitu!” Alan menyipitkan matanya tampak tidak setuju dengan kalimat Lala. Lala, alias Kaila, alias Kai sontak menghentikan tawanya. “Kamu masih mencintainya, Mas? Kamu lupa kalau aku sedang mengandung anakmu?” “Tidak, bukan begitu. Aku mana mungkin masih mencintai wanita berpenyakitan seperti dia. Tapi, aku juga tidak suka kamu merendahkan dia. Sudahlah, biarkan saja dia. Bukankah dengan begini, kita juga yang diuntungkan? Tidak perlu repot-repot mengatur rencana rumit, dia sendiri yang mendatangi kamu.” Kaila menghela nafas lega. “Iya juga, Mas,” jawabnya sambil merebahkan kepalanya di bahu Alan. “Sepertinya, kita harus berterima kasih karena keluguan istrimu.” “Hmm, aku sendiri tidak menyangka jika dia memikirkan kamu. Bukankah kalian sudah lama tidak bertemu?” “Iya, sudah satu bulan lebih. Sejak aku pura-pura kontrol selepas operasi, aku sudah tidak bertemu dengannya. Alan sangat mencurigakan kalau dia masih melihatku di rumah sakit sementara semua tindakan yang aku perlukan sudah dilakukan.” “Untung saja saat itu kamu terpikir untuk mendekati Rosie secara pribadi.” Alan mengangguk. Tangannya mengambil serius roti isi dan memakannya. “Enak, kamu pintar memilih menu.” Kaila melirik. “Itu bukan pesanan ku. Istrimu yang memesan itu.” Tenggorokan Alan mendadak kering dan dia kesulitan menelan makanan. Tidak ingin mendapat sindiran halus, Alan segera menjawab, “Kamu juga secepatnya akan menjadi istriku.” “Iya, Mas. Aku sangat bahagia. Mbak Rosie bilang pernikahannya tidak lebih dari enam bulan lagi.” “Lama sekali,” sahut Alan lirih. “Besok, aku akan menjawab lamarannya dan meminta untuk dimajukan saja. Kalau menunggu enam bulan, perutku sudah membesar.” “Iya, kamu atur saja. Dia sendiri sudah menyerah dengan keadaannya. Aku yakin Rosie akan setuju kalau kamu meminta pernikahan maju bulan depan.” “Bagaimana dengan mamamu? Apa dia sudah tahu?” “Aku langsung meneleponnya setelah kamu mengabari aku Rosie meminta bertemu. Aku yakin mama sudah bisa menebak arahnya. Dia pasti sedang berbahagia sekarang.” “Akhirnya, penantian kita berakhir bahagia, Mas.” Kaila mendongak. Matanya yang indah bergetar menatap wajah Alan yang rupawan. Kaila adalah putri teman arisan Hilda. Sejak pertama kali bertemu, dia sudah tertarik pada sosok Alan yang tinggi, tampan, pendiam, tapi ramah saat disapa. Selain itu, predikat Alan yang sebagai pemilik perusahaan jasa ekspedisi membuatnya berkali-kali lipat lebih tampan. Tidak disangka, ternyata saat itu Hilda menyerahkan undangan pernikahan Alan dan Rosie. Rencana untuk mendekati Alan pun sirna. Satu tahun kemudian, dia menikah dengan seorang pengusaha tekstil terkenal, Dion. Namun, pernikahan mereka tidak bahagia. Kaila yang senang berbelanja tidak sejalan dengan Dion yang lebih suka di rumah dan berkebun. Kaila sering mempermasalahkan Dion yang tidak mau menemaninya ke pusat perbelanjaan. Hasilnya, pertengkaran demi pertengkaran terjadi. Suatu hari, secara tidak sengaja, dia bertemu kembali dengan Alan. Dengan bermodalkan nekat, Kaila bermaksud merayunya. Siapa sangka jika kondisi ranjang Alan gersang. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Kaila. Mereka pun semakin sering bersama dan akhirnya berbagi kehangatan. Sedangkan untuk Dion, Kaila memiliki rencana sendiri untuk menyingkirkan suaminya. “Kita memang beruntung. Saat aku baru menyadari kehamilanku, Rosie mencari seseorang untukmu. Jalan takdir kita ternyata semulus ini,” ucap Kaila sambil mengeratkan pelukannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD