Kai Lagi

1548 Words
“Apa yang kamu lihat?” Alan berdiri di depan pintu kamar mandi. Uap air melayang-layang di sekelilingnya memberikan efek dramatis dan jantan secara bersamaan. Matanya sedikit berkilat, namun dengan cepat menghilang dan berganti dengan tatapan lembut penuh kasih sayang. Butiran air menetes dari rambutnya, turun ke dadanya dan menghilang di balik jubah mandinya. Rosie tersentak. Ponsel yang ada di tangannya tiba-tiba terlepas dan jatuh ke bawah. Untungnya, ada karpet halus yang membuat ponsel itu sama sekali tidak terluka. Alan berjalan perlahan mendekati istrinya, lalu membungkuk untuk mengambil ponselnya yang jatuh. Gerakannya tenang dan penuh keanggunan. “Ak-aku,, tadi ponselmu terus menyala. Jadi aku…” Rosie tidak tahu kenapa dia menjadi gugup. Bukankah seharusnya suaminya lah yang gugup? Pesan yang masuk di ponselnya sangat aneh. “Tidak apa-apa. Dia hanya rekan. Aku akan membalas pesannya nanti. Kamu tahu kadang ada beberapa rekan kerja yang memiliki attitude kurang baik. Jadi, aku menegur mereka.” Alan menyela sambil tersenyum lembut, meletakkan ponselnya kembali ke atas nakas, lalu menggandeng Rosie menjauh dari ponselnya. Rosie perlahan menelan ludahnya. Sikap Alan yang tenang ini, entah kenapa, membuatnya semakin gugup dan takut. Namun, semua pertanyaan yang tadi mengusiknya perlahan menghilang setelah mendengar jawaban Alan. Selama ini, Rosie tidak pernah melihat isi ponsel Alan. Dia tidak peduli dengan siapa Alan menelepon atau berbalas pesan. Semua itu karena dirinya sendiri sudah kepayahan dan lemas karena penyakitnya. Meskipun Rosie terkadang penasaran, tapi dengan semua kelembutan yang dia dapat, apa pantas jika dia masih penasaran dengan ponsel Alan? Suaminya itu tidak pernah menggerutu atau lelah merawatnya. Semua itu membuat hatinya tidak sedikitpun terbersit meragukan Alan. Namun, entah kenapa dia tadi memiliki dorongan kuat untuk melihat benda pipih dan canggih itu. Dan isi pesan yang dia baca menimbulkan pertanyaan besar di hatinya. “Apa tubuhmu sudah baikan?” Alan melirik Rosie. Gerakannya lembut dan berhati-hati. Pertanyaan Alan menarik kesadaran Rosie. Dia mengangguk tipis. “Baguslah kalau begitu. Pergi mandi, aku sudah menyiapkan air hangat untukmu. Ayo!” Alan membawa Rosie ke kamar mandi, menutup pintunya dengan lembut, sebelum kembali meraih ponselnya, dan membalas pesan Kai. Rosie merasakan saraf yang tadinya tegang menjadi rileks setelah berendam. Harum aromaterapi ditambah dengan bom busa membuat semua pikiran buruk yang tadi mengganggunya hilang. Setelah lima belas menit, Rosie keluar. Alan sudah tidak terlihat, tapi Rosie menangkap setelan baju rumah yang disiapkan Alan di atas kasur. Tanpa sadar, kedua sudut bibir Rosie terangkat. Diapun bergegas memakainya, sedikit berdandan, lalu keluar. Baru saja membuka pintu, Rosie dikejutkan dengan kehadiran Mary. “Nyonya, aku membawakan air hangat dan beberapa keping kue jahe.” Rosie melirik nampan yang dibawa Mary. Sedikit kilat muncul di matanya, namun hanya sekilas. Jika tidak dilihat dengan cermat, tidak akan ada yang menyadarinya. “Terima kasih, Mary.” Rosie tersenyum tipis. Dia membuka pintu lebih lebar dan mempersilakan Mary masuk. “Apakah Anda membutuhkan yang lain , Nyonya?” tanya Mary sambil meletakkan nampan di atas meja. “Tidak, terima kasih. Apakah suamiku sudah berangkat?” “Belum, Nyonya. Tuan Alan masih berada di ruang kerjanya.” Rosie mengangguk. “Terima kasih, Mary. Kamu boleh kembali. Aku akan memakannya perlahan.” Setelah Mary menutup pintu, Rosie tidak bisa menyembunyikan rasa jijiknya. Tatapannya berubah tajam saat melihat termos itu. Untungnya, dia masih menyimpan sisa air semalam. Dengan tenang, Rosie membawa termos ke kamar mandi dan membuang isinya ke dalam wastafel. Baru saja melangkah keluar, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dan Alan pun muncul. Rosie sontak terkejut dan gugup. Dan reaksi pertamanya adalah batuk hebat. Ya, karena terkejut, Rosie tersedak dan itu membuatnya batuk. “Uhuk! Uhukk!! Uhukk!!” Rosie memegang dadanya yang sesak dan tangan yang lainnya menutup mulutnya. Rosie merasa sebuah lapisan tipis menutup tenggorokannya dan itu membuatnya tidak bisa bernafas dengan baik, sangat menyiksa. Alan bergegas datang dan memijat lembut ipunggungnya. Wajahnya tampak cemas. Setelah beberapa saat, batuk pun reda. Meskipun begitu, Rosie belum bisa bernafas dengan lega. Jika dia memaksa memasukkan oksigen banyak-banyak, tenggorokannya akan gatal dan dia akan kembali batuk dengan hebat. “Lebih baik?” Alan masih tampak cemas. Tangannya juga tidak berhenti mengelus punggung Rosie dengan lembut. Rosie mengangguk pelan. Nafasnya masih tidak beraturan. Wajahnya masih merah dan keringat tipis muncul di dahinya. Setelah bisa bernafas dengan baik, Rosie bertanya, “Kenapa belum berangkat?” “Ada yang tertinggal.” Alan menunjuk jam tangan yang tergeletak di atas nakas. “Sudah sarapan?” Alan menggeleng. “Ayo makan bersama!” ajaknya sambil memasang jam tangan, lalu menggandeng Rosie keluar. Di atas meja makan, sudah tersedia beberapa lauk dan sayur. Semuanya dibagi menjadi dua bagian, satu untuk Alan dan satu lagi untuk Rosie. Untuk Alan, koki memasak menu-menu yang memang disukainya. Sedangkan untuk Rosie, semua menunya lebih ringan dan tanpa bumbu berlebih untuk membuat tenggorokannya nyaman. Teringat dengan kata-kata ibu mertuanya kemarin, Rosie tidak bisa menahan rasa mual. Bisa-bisanya dulu dia merasa itu adalah bentuk kasih sayang Hilda untuknya. Ternyata semua itu hanya kedok untuk bisa memberikan racun padanya. Huh! Alih-alih mengambil jatah menu yang sudah dimasakkan koki, Rosie justru mengambil roti tawar. “Kenapa tidak memakan nasi?” Alis Alan berkerut samar. “Tiba-tiba saja aku ingin makan roti dan selai. Sudah lama aku tidak memakannya.” “Makanlah yang bergizi agar tubuhmu semakin kuat.” Hanya senyum kecil yang ditampilkan Rosie. “Iya, kamu jangan khawatir!” Setelah itu, Rosie berpura-pura sibuk menikmati roti selai. Dia bahkan mengambil dua lembar lagi agar kenyang lebih lama. Selain itu, dia takut Alan akan membuatnya memakan menu di depannya. Rosie tidak bisa membiarkan itu terjadi. Sibuk dengan pikirannya sendiri, Alan tidak banyak berkomentar. Dia membiarkan saja tingkah Rosie. “Sayang, mengenai percakapan kita kemarin….” Suara Alan membuat Rosie menoleh. Sontak, dia memelankan kunyahannya, dan memusatkan fokusnya. Alan menelan ludahnya, mengelap bibirnya, lalu melanjutkan, “Aku akan membicarakannya dengan mama.” Hampir saja Rosie mengangguk, namun seketika itu juga dia ingat dengan rencana jahat Hilda padanya, dan rasa dingin menjalar di punggungnya. Bagaimana jika Hilda juga memiliki rencana terhadap pernikahan kedua ini? Bagaimana jika calon yang dia ajukan ternyata bersikap buruk padanya? Dan berbagai pertanyaan sontak bermunculan. Semuanya bersifat negatif. Mungkin, sebaiknya dia sendiri yang memilih calon istri baru Alan. Dengan begitu, dia bisa terhindar dari rencana jahat Hilda. Setidaknya, dia bisa mengurangi oknum atau cecunguk suruhan Hilda. Dan siapa tahu, dia akhirnya memiliki rekan untuk membantunya terlepas dari jeratan rencana Hilda di rumah ini. “Sayang, setelah aku pikir-pikir, aku sepertinya mengenal beberapa perempuan cantik yang bisa mendampingi kamu sekaligus menjadi temanku. Tolong, ijinkan aku yang memilih.” “Apa kamu yakin?” Tampak jelas jika Alan keberatan. Rosie bahkan bisa melihat tanda tanya besar di dahi sang suami. “Tentu saja, serahkan semua padaku.” “Lalu, bagaimana dengan mama? Bukankah sudah ada nama yang akan dikenalkan padaku?” “Kalian ‘kan, belum saling mengenal. Lagipula, itu masih omongan sepihak dari mama. Kita berdua belum memberikan jawaban apa-apa. Menurutku tidak masalah.” Alan menatap istrinya lekat-lekat. Pupilnya bergerak, mencari sesuatu yang tampak ganjil di wajah Rosie. Namun, istrinya itu tampak serius dan teguh. Tidak ada keraguan sedikitpun di sana. Alan akhirnya bisa pasrah. “Baiklah, kamu atur saja.” Senyuman lebar sontak terlihat di wajah Rosie. “Terima kasih, Sayang.” Tentu saja Rosie tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Dirinya akan mulai membuat daftar nama-nama perempuan yang berpotensi untuk menjadi kandidat istri kedua suaminya. Piring Alan telah kosong. Dia meminum air putihnya, lalu berdiri. “Aku akan mengambil tasku di ruang kerja, lalu berangkat.” Mulut Rosie masih penuh. Jadi, dia hanya mengangguk. “Hmm, oke.” Alan menunduk untuk mencium pipi cekung Rosie. Dengan langkah lebar, dia berjalan menuju ruang kerjanya. Rosie menatap punggung Alan yang menjauh sambil memikirkan siapa-siapa saja yang akan dia kenalkan pada sang suami. Pria itu memiliki postur yang tinggi. Rambutnya pendek dan rapi. Wajahnya halus. Meskipun agak pendiam, tapi hatinya lembut dan sikapnya penyayang. Sosok sempurna seperti itu, terlihat hilang separuh sempurnanya karena dirinya yang penyakitan. Helaan nafas terdengar dari bibir Rosie. Perempuan itu berpikir keras dan akhirnya menemukan satu nama yang cocok untuk sang suami. Dengan wajah berbinar, Rosie mendatangi Alan di ruang kerjanya. Hampir saja dia mengetuk pintu saat dia menyadari jika pintunya tidak tertutup rapat. Rosie bersiap membukanya, namun gerakannya berhenti karena mendengar perkataan Alan. “Rosie berencana mengenalkan temannya padaku. Aku tidak tahu siapa. Dia belum memutuskan. Mama jangan mengatakan apapun lagi pada Kai.” Wajah Rosie sontak berubah suram. Tangannya mengepal dengan erat. Dari celah pintu, Rosie melihat Alan sedang menghadap jendela, membelakangi pintu sambil menelepon. Rupanya suaminya sedang mengadu kepada mamanya. Dan yang membuatnya jantungnya berdebar kencang adalah ternyata Hilda mengenal Kai. Ada hubungan apa antara Alan, Kai, dan Hilda??? “Kalau begitu, biar aku yang mengurus Kai. Mama santai saja dan tunggu kabar selanjutnya.” Tubuh Rosie bergetar. Niatnya untuk berbicara dengan Alan sontak menghilang. Dia gegas berbalik dan berjalan menjauh. Bahkan, dia sedikit berlari, takut jika Alan menyadari keberadaannya. Semakin Rosie berpikir, semakin dia yakin untuk mengenalkan temannya sendiri kepada Alan. Untung saja, dia bergerak cepat menolak usulan Hilda. Jika tidak, bisa-bisa nasibnya di rumah ini tidak diketahui. Dan yang terpenting lagi, dia harus bergerak cepat sebelum Hilda. Sementara itu, Alan menoleh ke belakang. Dia melihat pintu yang sedikit terbuka. Keningnya berkerut. Apa mungkin dia lupa menutup pintu dan membiarkan pintunya terbuka seperti ini? Namun, saat dia melongok keluar, dia tidak melihat siapapun.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD